Saya sependapat dengan Pak Magnis dalam hal: Rekonsiliasi yang dilakukan di Afrika Selatan adalah lain dengan Rekonsiliasi yang akan dilakukan di Indonesia. Saya juga sependapat derngan Pramoedya Ananta Toer yang menolak kritik Goenawan Mohamad (GM) yang mengkritik Pram yang katanya tidak mau bercermin pada Nelson Mandela. Pram mmenjawab singkat: “Saya bukan Nelson Mandela” Titik. Memang, ironisnya, kaum Oporkaki PKI yang mengemis Rekonsiliasi pada pihak Pemerintah (yang menurut istilah Pak Magnis “Pemerintah pewaris Orde Baru”= saya setuju nama yang bagus ini). PKI adalah pihak yang dikalahkan dengan mewariskan Korbaan 65. Korban 65 yang masih hidup, jumlahnya masih jutaan dan tidak ada satu organisasipun yang berhak mewakili atas nama Korban 65 meskipun dalam kenyataan ada organisasi yang mengatas namakan dirinya sebagai pembela korban 65 tapi mereka (organisasi tsb) sama sekali tidak representatif mewakili Korban 65, tidak sah dan tidak diakui oleh sebagaian terbesar Korban 65. Dan di sinilah letak ironisme yang menjengkelkan tapi juga yang bikin ketawa banyak orang. Mereka menghina dirinya menjadi dua kali lipat, persis seperti yang dimaksudkan pak Magnis: Sudah kalah minta hadiah. Yang seharusnya menuntut balas malah minta belas kasihan dari sang pelaku. Karnanya saya pernah tulis mahluk itu sebagai penuntut :REKON SILIT BERAK yang kemudian saya dinista oleh seorang anti komunis laiannya sebagai “tulisan kotor tidak bermoral”. Padal sasaran saya adalah orang-orang tertuduh Komunis (yang sesungguhnya juga pernah jadi Komunis). Dan lahirlah sebuah ironi yang yang lain lagi: Yang anti Komunismembela Komunis(meskkipun bekas atau yang berhasrat membersihkan diii dari bekas Komunis). Di sinilah memang, sulitnya kalau kita hanya bisa melihat kejernihan di atas awan biru muda tanpa setitik noda, sedangkan di bumi tempat kita berpijak, hanya tampak kekotoran tanpa bisa melihat secercah kejernihan pun atau ke atas, melek, ke bawah, buta. Apa yang tak ingin dilihat, semuanya gelap dan hitam. Apa yang ingin dilihat semuanya terang dan jernih. Begitu pula pada sementaram orang yang ingin melihat “rekonsiliasi”macam apapun selalu terang dan jernh meskipun rekonsiliasi itu sesungguhnya akan menghujamkan dirinya ke lumpur kehinaan dan kecelakaan di depan mata maupun dikemudian hari. Alasannya? Setiap hari akan saya berikan alasannya asalkan ditanggapi secara serius dan bukan sekedar nimbrung ambil mudahnya saja. ASAHAN AIDIT From: F.Magnis-Suseno Sent: Tuesday, April 05, 2016 4:48 AM To: diskusi-k...@googlegroups.com Subject: RE: [alumnas-OOT] Penyelesaian pelanggaran HAM
Bung Salim, Sulit untuk mengabaikan "tantangan" Anda. Padahal saya sendiri juga tidak mempunyai pandangan yang jernih. Tapi saya sumbangkan saja beberapa catatan. 1. Tidak mungkin pelaku menawarkan rekonsiliasi kepada kurban. Padahal pemerintah kita adalah pewaris pelaku. Suatu rekonsiliasi mengandaikan pertama, bahwa kurban diakui sebagai kurban dan pelaku sebagai pelaku dan kedua, bahwa kurban mendapat rehabilitasi dan dan restitusi. Baru kalau itu terjadi, kurban, tak pernah pelaku, dapat, tetapi tidak harus, menawarkan rekonsiliasi. Sebaliknya, kalau pelaku pewarisnya menawarkan rekonsiliasi itu tak lain suatu penghinaan tambahan. 2. Di Afrika Selatan situasi lain. Yang menang adalah para kurban, Atas nama para kurban Nelson Mandela - amat mengagumkan - menawarkan rekonsiliasi kepada para pelaku. 3. Di Jerman situasi lain lagi. Para pelaku – Hitler dan semua yang terlibat dalam kejahatan-kejahatan luar biasa yang dilakukan terutama antara 1939 dan 1945 itu - sudah terdiskreditasi: Karena Hitler Jerman hancur, kehilangan seperlima wilayahnya, menderita kelaparan, dibagi dua negara kurang berdaulat (Barat dan Timur). Sesudah malapetaka seperti itu relatif mudah mengaku bahwa para penghancur Jerman juga melakukan kejahatan-kejahatan amat mengerikan. Di Jerman pun mereka yang terlibat kejahatan hanya sangat lambat sampai di bawa ke pengadilan. 4. Tetapi di Indonesia para pelaku menang. Dan berhasil membangun negara. Berhasil membuat Indonesia negara stabil dan terhormat di dunia. Berhasil sangat mengurangi kemiskinan dari sekitar 60% menjadi 12% (1997). Lagi pula bagi sebagian masyarakat sukses pemerintahan Orde Baru berkait dengan penghancuran kaum komunis. Berbeda dengan di Jerman, di Indonesia tak/belum ada kesepakatan nasional bahwa pembunuhan-pembunuhan dan kejahatan lain pasca-G30S memang merupakan kejahatan. Beda lagi dengan Jerman: Sekarang sudah lewat 50 tahun. Di Jerman "de-nazifikasi" dimulai langsung oleh tentara Amerika/Inggris yang menduduki Jerman, dengan persetujuan cukup luas rakyat Jerman (yang menyaksikan kehancuran yang dikerjakan Hitler), dan mulai tahun 50-an diteruskan – sangat lamban – oleh sistem yudisial RFJ sendiri. 5. Yang menurut saya di Indonesia teramat penting bukan pengusutan kejahatan 50 tahun lalu (para tahanan terakhir baru lepas 1978, jadi 38 tahun lalu) melainkan pewujudan kesadaran: Bahwa apa yang terjadi itu sesuatu yang amat mengerikan, jahat dan memalukan. Dalam kesadaran itu penting bahwa itu tidak berarti rehabilitasi PKI. Itu masalah politik, masalah lain. Betapa pun jahatnya PKI (kalau memang jahat), pembunuhan terhadap ratusan ribu, kemungkinan besar jutaan rakyat sebagai pembalasan, segala macam penangkapan, penahanan, pemerkosaan, penghancuran eksistensi, stigmatisasi sampai sekarang tidak dapat dibenarkan. Tentang itu mesti bisa tercapai suatu kesadaran. Bukan PKI direhabilitasi. 6. Maka yang saya harapkan dari pemerintah adalah pengakuan bahwa sudah waktu untuk mengaku bahwa dalam reaksi terhadap G30S terjadi kejahatan-kejahatan amat mengerikan , himbauan pada seluruh bangsa Indonesia untuk menyadari hal itu, rehabilitasi dan ganti rugi (dalam batas-batas yang mungkin, jelas, ganti rugi hanya dapat sebagian kecil), serta juga pernyataan bahwa semua warga bangsa yang tidak berani pulang dari LN ke Indonesia akan diterima baik dan dikembalikan kewarganegaraan. 7. Sekarang pertanyaan: pada jalur hukum atau tidak? Saya menganggap argumentasi Pak Teddy sangat meyakinkan. Bukankah kita negara hukum? Akan tetapi dalam kasus kejahatan-kejahatan pasca-G30S hal-hal berikut dapat dipertimbangkan: · Rekonstruksi kejahatan-kejahatan itu sesudah 50 tahun sudah sangat sulit. · Banyak pelaku sudah mati. · Kejahatan itu dilakukan sebagai bagian suatu kebijaksanaan Kopkamptib (Suharto) sehingga para pelaku lokal merasa bahwa apa yang mereka lakukan sudah beres/sesuai dengan etika kebangsaan. Benar, seharusnya mereka tahu bahwa etika apa pun tidak dapat membenarkan apa yang mereka lakukan, akan tetapi kesadaran itu dalam masyarakat berkebudayaan kolektivistik hampir belum ada sama sekali. · Ditambah kemungkinan bahwa kalau kasus-kasus itu dibawa ke pengadilan – bisa ribuan, puluhan ribu barangkali – bukannya masyarakat kita menjadi sadar bahwa hal itu seharusnya tidak terjadi, melainkan perpecahan dan eksplosi emosi dan kebencian justru lebih mungkin. 8. Karena itu saya cenderung mendukung kalau pemerintah, untuk kejahatan pasaca G30S, bukan untuk semua pelanggaran HAM di masa lampau, tidak memakai jalan hukum, melainkan membatasi di pada tindakan-tindakan seperti yang saya sebut sub nr. 6 di atas; namun kata rekonsiliasi jangan dipakai dulu. Jakarta, 5 April 2016 Franz Magnis-Suseno -- Anda menerima pesan ini karena berlangganan grup "diskusi kita" di Google Grup. Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim email ke diskusi-kita+unsubscr...@googlegroups.com. Untuk opsi lebih lanjut, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.