-----Original Message----- Makan Dua Hari Sekali Tangerang, Warta Kota
Keluarga Idup (44), warga Kampung Sewan
Bedeng RT 01/02, Kelurahan Mekarsari, Kecamatan Neglasari, Kota
Tangerang, terpaksa harus makan dua hari sekali. Untuk mengirit minyak tanah,
keluarga itu minum air mentah. Kesengsaraan keluarga dengan empat anak itu
semakin terasa setelah harga BBM naik. Penghasilan Idup sebagai kuli
angkut pasir kian terpuruk, begitu pula istrinya Selih (32) yang bekerja
sebagai buruh cuci.Sebelum harga BBM naik, keluarga itu masih bisa makan sehari
sekali dan Idup masih bisa ngopi dua kali. "Sekarang sudah tak bisa lagi.
Dengan uang Rp 3.000 sudah tidak bisa membeli apa-apa lagi," ujar
Idup meratapi nasibnya. Ia pun menuding pemerintah buta dan tuli. Menurutnya,
para penggede tak peduli terhadap kehidupan orang-orang seperti dirinya yang
jumlahnya jutaan. Idup dan keluarganya tinggal di Kampung Sewan
Bedeng RT 01/02, kampung kumuh di bantaran Kali Cisadane, tak jauh dari pintu
irigasi Pintu Air X. Kampung itu dipadati rumah gubuk yang ditempati para kuli
angkut pasir dan buruh cuci. Seperti kebanyakan rumah gubuk di kampung
itu, rumah Idup juga tak berjendela. Udara segar hanya bisa masuk dari
sela-sela anyaman dinding gedek. Gubuk berukuran 3 m x 3 m yang disewa Rp
50.000 per bulan itu pun hanya punya satu ruangan yang difungsikan sebagai
ruang tamu, kamar tidur, dan dapur sekaligus. Pasangan Idup dan Selih memiliki empat orang
anak. Anak pertama dan kedua, Gustiawan (15) dan Yuliana (13), terpaksa
berhenti sekolah di kelas IV SD. Keduanya kini dititipkan kepada neneknya,
lantaran Idup dan Selih tak sanggup memberi makan. Hanya dua anak yang tinggal
bersama mereka, yakni anak ketiga Julendra (11) yang duduk di kelas V SD dan
anak keempat Faisal (3). "Julendra juga terancam berhenti sekolah,
karena sejak bulan Juni sampai Oktober dia belum bayar SPP. Bagaimana kami bisa
bayar uang sekolah yang sebulan Rp 5.000, kalau makan aja susahnya bukan
main," kata Selih. Ketika Warta Kota menyambangi
rumah kecil berdinding gedek dan beratap anyaman daun kelapa itu, kemarin, Idup
bertelanjang dada duduk murung menatap anak laki-lakinya Faisal asyik melahap
nasi putih tanpa lauk. Sesekali tangan Idup menuangkan air putih ke piring
plastik bocah itu agar nasinya tidak menggumpal. Di belakang kedua orang itu, Selih duduk
bersandar lemari kayu usang sambil mengurut kedua kakinya. Mata perempuan itu
terus menatap ayunan tangan si bocah menyuapkan nasi ke mulutnya. Belum habis nasi di piring Faisal, tiba-tiba
kakaknya Julendra menyeruak masuk. Tanpa bicara apa-apa, si kakak merebut
piring plastik di depan adiknya. Piring itu dibawanya menjauh ke sudut ruangan.
Setelah sejenak melirik ke kanan dan ke kiri, tanpa ragu Julendra menyuap nasi
yang tinggal setengah itu ke mulutnya. Melihat piringnya direbut, Faisal tak bereaksi
apa-apa. Dia bangkit dan menjangkau gelas di belakangnya. Ia lalu mengisi gelas
dengan air yang diambil dari dalam ember plastik warna hitam. Usai menenggak
habis isi gelas, bocah itu berbaring di atas kasur tipis yang dibentangkan di
lantai semen. Bau tak sedap merebak dari setumpuk kain gombal yang dijadikan
alas kepala si bocah. "Iya begini deh. Saya dan bapaknya
anak-anak mengalah nggak makan hari ini. Habis nasinya nggak cukup buat
berempat. Biar aja anak-anak duluan yang makan. Kalau saya dan bapaknya masih
kuat nggak makan sampai besok," ujar Selih disusul anggukan lemas suaminya
Idup. Kompor nganggur Sebagai buruh cuci, Selih mengaku tak bisa
berbuat banyak. Penghasilannya yang cuma Rp 30.000 setiap bulan, tak pernah
cukup untuk sekadar hidup layak. Sementara penghasilan Idup yang jadi kuli
angkut pasir pun tak jelas. Sekali menurunkan pasir, ia dibayar Rp 3.000. Jika
banyak orderan, Idup paling banter bawa pulang uang Rp 9.000. Tapi Idup
lebih banyak menganggur. "Sebelum BBM naik, kami sekeluarga hanya
makan sehari sekali dengan nasi putih dan kerupuk. Sesekali pakai tempe juga.
Bapaknya anak-anak juga masih bisa ngopi paling nggak dua kali sehari. Tapi
sekarang, saya dan bapaknya anak- anak kadang baru makan dua hari sekali.
Ngopi juga kalau ada orang yang ngasih. Kalau anak-anak sih kami
belain makan sekali sehari. Nasi putih aja. Lauknya seketemunya. Biar nggak
kering, nasinya dicampur air," ujar Selih. Idup lalu meneruskan cerita kelam hidup
keluarganya. Sambil menunjuk kompor minyak tanah usang yang tergolek di sudut
ruangan, ia berkata, "Kompor itu udah lama nggak nyala. Saya nggak kuat
beli minyak tanah karena harganya naik terus. Sekarang aja satu liter Rp 2.
900. Sama harganya dengan upah saya sekali nurunin pasir." Kalau pun ada uang, lanjut Selih, ia dan
suaminya hanya mampu membeli setengah liter minyak tanah yang digunakan untuk
menanak nasi. "Saya cuma berani menggunakan minyak tanah untuk masak nasi.
Agar mengirit minyak tanah, kami nggak pernah masak air minum. Kalau mau minum,
ambil saja air di sumur pakai ember. Anak-anak saya juga biasa minum air
mentah. Kata mereka lebih enak, rasanya adem. Syukurnya sih mereka nggak pernah
sakit," kata Selih. Selih dan Idup kemudian terdiam. Mata mereka
menerawang ke langit-langit rumbia yang jika hujan pasti bocor di sana-sini.
"Saya dari dulu mau pindah kontrakan. Tapi uangnya nggak ada. Tinggal di
sini susah banget. Kami tidur berempat berdesak-desakan di atas satu kasur.
Kadang kepala saya mentok ke kompor. Kalau nggak kaki saya harus dilipat
semalaman. Belum lagi kalau hujan, atap pasti bocor. Tidur terpaksa harus
gantian, karena kasurnya kebasahan," kata Idup. Pasangan suami istri itu lalu menanyakan dana
kompensasi BBM. "Katanya ada bantuan dari pemerintah buat orang miskin.
Kok sampai sekarang kami nggak kebagian. Boro-boro dapat duit, didata saja nggak.
Bagaimana nih Pak Walikota, kok yang miskin makin tambah miskin aja," kata
Selih lirih. (Has) SPONSORED LINKS YAHOO! GROUPS LINKS |
- [Ar-Royyan-2578] FW: Do We Care With It ? Januardo Henry Salvetti
- Re: [Ar-Royyan-2578] FW: Do We Care With It ? agus rasidi
- RE: [Ar-Royyan-2578] FW: Do We Care With It ? IND, Kurniawan, Yahya