Kiriman Milis Tetangga . . .
 
Wassalam
Adjie
- - - -
 
 
Lebih Nyaman tanpa Televisi?
 
SEBUAH keluarga muda dengan suami-istri sarjana dan keduanya sudah lama bekerja tapi di rumah mereka tak ada televisi. Barangkali inilah sebuah kecuali. Karena, televisi saat ini sudah menjadi kebutuhan utama masyarakat dari segala tingkatan di kota maupun di desa. Ketika ditanya mengapa di rumah tak ada televisi, mereka menjawab ringan. "Ternyata kami bisa hidup lebih nyaman justru tanpa televisi."
 
Jawaban singkat itu justru membuat saya berfikir. Mungkin mereka benar. Toh kebutuhan akan berita dan informasi bisa mereka dapatkan dari koran atau majalah yang terpilih. Hiburan, baik yang audio maupun yang visual bisa diperoleh melalui VCD yang juga terpilih dan diputar melalui perangkat multimedia. Mereka berdaulat dan menentukan sendiri cara berkomunikasi dengan dunia luar. Mereka juga menentukan sendiri cara memasuki dunia hiburan. Sedangkan televisi, meskipun juga menyajikan acara-acara yang mereka butuhkan ternyata membuat hidup mereka kurang nyaman. Mengapa? Pertanyaan ini bisa saya jawab sendiri setelah selama dua hari siang-malam saya menjadi penonton setia acara yang disiarkan oleh dua stasiun televisi.
 
Riset amatiran ini membuat saya sungguh yakin keluarga muda yang saya ceritakan tadi benar. Bahwa pada dataran sikap dan akal yang wajar tayangan televisi kita memang membuat orang bisa kehilangan kenyamanan hidup. Saya pun jadi makin sadar, hanya karena kepentingan bisnislah maka televisi ada. Ya, kepentingan bisnis yang bermental steril dan amat menomorsatukan akumulasi keuntungan terus-menerus. Untuk mencapai tujuan itu kepentingan bisnis sangat agresif bahkan ofensif dalam memperluas wilayah pasar. Dan mereka punya pasukan sangat mahir yang bernama iklan.
 
Ya, iklan. Lihatlah misalnya, iklan rokok yang mendominasi tayangan televisi. Iklan rokok makin hebat, baik kualitas maupun intensitasnya. Belum lagi iklan rokok di luar layar televisi. Dan terbukti mereka telah sukses menciptakan bangsa ini menjadi bangsa perokok terbesar di dunia.
 
Dari tayangan iklan di televisi kita mendapat gambaran industri rokok (yang telah melahirkan orang Indonesia terkaya di dunia) sedang menuntun puluhan juta generasi muda kita menjadi konsumen nikotin dengan cara yang demikian cerdas dan memikat. Dan kita seakan tak peduli pendapat para ahli bahwa rokok adalah jendela untuk mengenal dunia narkoba. Juga kita yang mengaku muslim tidak peduli bahwa merokok sangat diajurkan untuk ditinggalkan (makruh). Apakah karena industri rokok punya peran penting dalam perekonomian kita, dan tanpa industri rokok perekonomian Indonesia akan lebih terpuruk? Jawaban "ya" seakan menjadi nalar yang harus kita telan setelah kita menyaksikan tayangan iklan rokok yang dahsyat itu. Kondisi ini memang membuat siapapun yang punya pikiran logis merasa tidak nyaman. Dan iklan permen? Iklan ini dibuat dengan membangun sensasi kenikmatan luar biasa, di luar nalar, yang dijanjikan kepada konsumen. Orang dijamin akan memperoleh sensasi kebahagiaan luar biasa hanya dengan mengulum sebutir permen. Nalar? Memang tidak, kecuali orang yang mimpi dalam dunia sensasi. Dan memang mimpi kosong itulah yang dibangun dengan biaya triliunan dalam bisnis iklan.
 
Demikian juga iklan mi, susu, sabun, pasta gigi, dan semuanya. Semua penuh sensasi yang membuat orang yang ingin hidup sewajarnnya jadi merasa kurang nyaman. Untung, atau sayang, orang jenis ini sekarang sudah menjadi mahluk langka sehingga sensasi dan provokasi iklan bisa terus merajalela. Bukankah sudah nyata jauh lebih banyak orang yang asyik menikmati tayangan iklan (termasuk iklan pembalut dan kondom) dari pada mereka yang merasa risi dan merasa tidak nyaman.
 
Di luar masalah iklan tayangan televisi juga didominasi oleh orientasi cari untung. Rate atau jumlah penonton adalah kata kunci. Untuk mendongkrak rate, apa saja dilakukan. Sinetron yang penuh kekerasan, dengan pertumpahan darah yang sangat kejam, eksploitatif terhadap dunia anak-anak sampai menyerempet-nyerempet masalah akidah terus ditayangkan. Kuis gampangan dengan hadiah milyaran terus disajikan, tak peduli hal ini merupakan pornografi sosial yang hanya akan membuat penonton menjadi pemimpi. Panggung dan kehidupan gemerlap disodorkan setiap saat tanpa empati sedikitpun terhadap penonton yang mayoritas terdiri atas orang-orang miskin.
 
Dan berita-berita kriminal disajikan dengan mengekploitasi sensasi kejahatan dan kekejaman. Kelihatan sekali penayangan berita kriminal diusahakan bisa menggambarkan kembali peristiwa yang seungguhnya. Dengan kata lain mereka mau membawa penonton menyaksikan kembali tindak kejahatan yang mereka beritakan. Maka jadi lengkap; di satu sisi televisi kita menyodorkan dunia mimpi dan dunia gemerlap yang merupakan pornografi sosial, pada sisi lain mereka menampilkan dunia kejahatan dan kekejaman yang biasanya terjadi di masyarakat pinggiran.
 
Ah, rasanya pasangan muda itu benar. Hidup tanpa televisi bisa lebih nyaman. Tanpa televisi berarti tanpa rayuan dan provokasi yang berlebihan, yang mendorong-dorong kita menjadi pembeli. Kita juga akan bebas dari tayangan pornografi sosial yang menyebalkan.
 
Tapi nanti dulu. Bagaimana dengan puluhan juta orang yang sudah terbina oleh rezim televisi? Sekarang mereka sudah menganggap televisi sebagai kebanggaan bahkan kiblat kehidupan mereka. Mereka menikmati iklan dan sajian lain dengan amat khusuk. Dan mungkin mereka tidak bisa mengerti bahwa ibarat makanan, tayangan televisi memang enak meskipun lebih banyak narkobanya.
 
(Ahmad Tohari )
 

Kirim email ke