Selamat Jalan Sahabat* 1 Nov 07 18:57 WIB Oleh Windo Putra Wijaya
"Orang-orang yang besar rela dikorbankan di jalan Allah yang Mahabesar, karena mereka telah menjual dirinya secara tunai dan menerima pembayaran arwahnya di majlis transaksi atas dasar perjanjian. " (Dr. Aidh Al-Qarni) Bermula dengan basmalah Sahabat. Masih jelas dalam ingatanku. Di suatu sore, kita berbincang tentang kampung kita. Bercerita tentang episode kehidupan kita. Ya, sekedar perbincangan ringan menunggu senja tiba. Waktu itu, nuansa religius yang mulai menggeliat membuat kita sedikit tersenyum, setelah sebelumnya kita sempat bersedih, mengingat budaya westernisasi yang lebih dahulu menyapa tanah kelahiran kita. Tapi sedikitpun tak kulihat keluh kesah di wajahmu. Aku tahu persis, itu tidak ada dalam kamus kehidupanmu. Sesuatu yang kadang membuatku harus belajar lebih banyak darimu. Sahabat... Dulu kita sepakat, hidup ini adalah perjuangan. Dan perjuangan tidak akan pernah lepas dari pengorbanan. Korban materi, fisik bahkan perasaan. Kau pun bercerita betapa susahnya berdakwah dengan orang-orang terdekat. Perasaan kadang turut bermain. Tapi, lagi-lagi tak terlihat keluh kesah di wajahmu. "Toh, yang di tuntut adalah berbuat. Masalah hasil, biarlah Allah, Rasul dan orang-orang beriman yang melihat dan menilainya, " jelasmu waktu itu. Dari itu, kita pun satu pendapat bahwa yang di tuntut dari kita adalah bergerak dan bergerak. Roda dakwah ini hanya akan terus berputar oleh orang-orang yang kuat. Orang-orang yang meyakini bahwa setiap amal kebaikan yang ia lakukan, akan menjadi pemberat timbangan kebaikannya di hari kiamat, kelak. Orang-orang yang tidak mempedulikan apa kata orang, yang penting dia yakin dan paham bahwa apa yang ia lakukan adalah kebaikan. "Bukankah perbuatan selalu berbanding lurus dengan pemahaman, " selorohmu. Ah, lagi-lagi aku harus belajar banyak darimu. Sahabat... Aku yakin kau orang hebat. Minimal, itulah penilaianku sa'at itu. Kau yang secara khusus tidak pernah belajar di sekolah agama, kadang jauh lebih agamis dibanding aku yang sudah bongkotan mengenyam pendidikan di pesantren. Namun, kau selalu mengatakan bahwa aku jauh lebih baik darimu dalam hal agama. Kau selalu mengatakan bahwa aku adalah inspirasimu dalam bertindak. Semoga itu bagian dari do'amu untukku. Sahabat... Kau ingat, kita pun berkisah tentang sahabat. Ya, Sahabat Rasulullah Saw.. Kita berkisah tentang Abu Bakar Ra. Yang selalu menemani Rasul dalam suka dan duka. Bercerita tentang Ali bin Abi Talib Ra. Yang di usia belia sudah berani menggantikan posisi tidur Rasul, kala di kepung oleh kafir Quraisy pada malam hijrah. Dan berbincang tentang Talhah bin Ubaidillah Ra. Yang rela tubuhnya penuh luka, demi melindungi Rasul dalam perang Uhud. Kita bangga dengan semua itu, kisah-kisah heroik yang di ceritakan oleh sejarah kepada kita. Aku ingat, kau terlihat bahagia. Tersenyum. Akupun tersenyum. Sahabat... Itulah cerita kita sore itu. Sore yang sudah tak kuingat lagi kapan persisnya. Yang pasti, itu sudah terjadi beberapa tahun yang lalu. Sa'at kita masih bisa bersua. Ya, bersua dan berbincang. Sesuatu yang sudah tidak mungkin kita lakukan lagi. Berita tentang kecelakaan yang merenggut nyawamu, cukup membuatku tertunduk lemas, sedih. Karena kita belum sempat mewujudkan impian kita bersama. Bergandeng tangan menyemai islah untuk kampung tercinta. Selamat jalan sahabat. Ide-idemu, cita-citamu kuyakin tidak akan sia-sia. Bukankah yang di tuntut hanyalah berbuat, itu yang selalu kau bilang. Dan sengaja ini kutulis, sekedar kontemplasi sejenak, mengingat cita-cita mulia yang kau asakan. Dari itu, semoga ada manfaat buat yang membacanya. Semoga ini menjadi bagian dari transaksimu dengan Dzat yang segala maha. Teriring do'a semoga kau di terima di sisi-Nya. Sekian. Puji bagi Allah *Mengenang sahabat tercinta, Budi (Wafat 3 Agustus 2007). Kan ku coba semaksimal mungkin tuk menggapai cita-cita kita. Teriring doa semoga kau di terima di sisi-Nya.