Simpul-simpul Rezeki
oleh Muhammad Rizqon Kamis, 19/03/2009 13:40 WIB 
Pada mulanya, kami tidak berniat untuk berpartisipasi sebagai peserta pada 
hajatan Islamic Book Fair ke-8 tanggal 28 Februari hingga 8 Maret 2009 lalu. 
Namun, seorang sahabat yang telah membooking 3 stand beberapa bulan sebelumnya, 
membagikan satu stand untuk kami. Akhirnya, kami pun berpartisipasi sebagai 
peserta untuk kategori multi-produk (non-buku) dengan menempati satu stand 
sahabat kami yang berukuran 3 x 3 meter itu.

Berbeda dengan hajatan Islamic Book Fair tahun-tahun sebelumnya, kali ini 
peserta yang menjual produk non-buku ditempatkan pada lantai dua gedung Istora 
Bung Karno, Senayan. Dengan digunakan lantai 2 sebagai ajang pameran, maka 
otomatis stand yang disediakan oleh panitia lebih banyak dibanding tahun-tahun 
sebelumnya.

Alhamdulillah, hasil penjualan yang kami peroleh dari hajatan Islamic Book Fair 
tersebut mampu menutupi ongkos-ongkos yang kami keluarkan untuk membayar stand 
dan operasional pameran. Semua itu adalah kemudahan dari Allah. Saya sendiri 
sangat merasakan bahwa apa yang kami peroleh adalah sebagian dari tanda 
kemurahan Allah SWT atas karunia rezeki yang Dia miliki.

Namun ternyata, ada beberapa peserta yang mengalami nasib tidak seberuntung 
kami. Ada yang merasa tekor alias keuntungan yang diperoleh tidak mampu menutup 
biaya operasional yang dikeluarkan. Mereka merasakan hajatan Book Fair tahun 
2009 lebih sepi dibanding tahun-tahun sebelumnya. Meski pengunjung yang datang 
mencapai jumlah yang ditargetkan panitia, namun perolehan hasil penjualannya 
tidak sebanding dengan jumlah pengunjung yang datang.

Kami pun memaklumi bahwa kondisi krisis kali ini boleh jadi yang menjadikan 
daya beli pengunjung menurun sehingga jumlah transaksi pembelian yang 
dilakukannya tidaklah begitu besar. Katakanlah seorang pengunjung yang dulunya 
mampu membeli banyak buku atau non-buku, kali ini hanya membeli satu buku atau 
satu produk non-buku. Syukur dia masih melakukan transaksi pembelian. Saya 
yakin, tidak sedikit yang hanya sekedar melihat-lihat saja (sight seeing) 
karena keterbatasan keuangan.

Adapun lokasi stand yang berada di lantai dua, menurut kami bukanlah merupakan 
penyebab signifikan atas terjadinya penurunan penjualan yang dialami oleh 
sebagian sahabat kami. Meski ada beberapa pengunjung yang merasa "kehilangan" 
akan stand non-buku saat mereka berkeliling di lantai satu, namun mereka yang 
telah terbiasa berkunjung di arena Islamic Book Fair dan berniat berbelanja 
produk non-buku, pasti dengan mudah bertanya kepada panitia atau peserta 
pameran atau orang-orang sekitar arena pameran.

Kami hanya bisa mengambil hikmah, bahwa keuntungan atau kerugian dalam berniaga 
adalah hal yang biasa. Namun semua itu tidak luput dari kesiapan dan strategi 
penjualan dari masing-masing peserta. Peserta yang mampu menyajikan produk yang 
menarik, kualitas terbaik, mengikuti tren yang berkembang di masyarakat, dan 
berani memberikan diskon besar untuk pengunjung pameran, maka produk mereka 
itulah yang mampu memikat hati pengunjung sehingga mereka merasa sayang untuk 
tidak membeli produk yang ditawarkannya.

Melihat kondisi beberapa sahabat yang mengalami ketidakberuntungan itu, kami 
makin mensyukuri apa yang kami peroleh. Kami merasa bahwa apa yang kami peroleh 
itu adalah semata-mata kemurahan dari Allah SWT.

Terbayang saat beberapa pekan sebelum hajatan Islamic Book Fair dilangsungkan, 
kami mengalami sedikit kesulitan keuangan berkait dengan persiapan dana untuk 
pendaftaran sekolah anak kami dan sumbangan biaya operasi buat orang tua yang 
mengalami patah tulang akibat jatuh dari tangga. Kami sempat hilang harapan 
karena tidak memiliki sumber penghasilan lain guna menutupi keperluan tersebut. 
Akhirnya kami menguatkan optimisme dan menyandarkan harapan sepenuhnya kepada 
Allah SWT bahwa Insya Allah melalui hajatan Islamic Book Fair ke-8, Allah SWT 
akan membukan pintu rezeki-Nya bagi kami.

Ketika harapan itu terpenuhi, semakin yakinlah kami bahwa sebenarnya Allah SWT 
itu selalu beserta dengan hamba-Nya. Allah SWT lebih dekat dari siapapun dan 
selalu memberikan hal terbaik untuk hamba-Nya.

Hanya saja, seringkali kita tidak menyakini akan kebesaran Allah SWT tersebut. 
Atau kita menyakini namun dengan cara yang tidak bijak. Bentuk dari 
ketidakbijakan itu antara lain kita tidak mengoptimalkan ikhtiar, baik dengan 
mengerahkan tenaga dan pikiran, berdoa, bersedekah dengan amal kebaikan atau 
harta, dan segala cara yang mampu melahirkan keridhoan-Nya.

Itulah barangkali yang disebut simpul-simpul rezeki. Secara fisik kita 
dianjurkan memperbanyak pintu-pintu usaha/bisnis yang menjadi pintu masuk 
aliran keuangan, dan secara non-fisik kita dianjurkan memperbanyak amal 
kebaikan yang kadang dianggap sepele karena tidak mendatangkan uang secara 
kasat mata. Sahabat kami yang merasa rugi selama pameran, tentu bukan berarti 
tidak memperoleh limpahan rezeki. Selama ia menerimanya dengan ikhlas, Insya 
Allah, cepat atau lambat rezeki yang diharapkannya itu akan segera 
mendatanginya.

Di masa krisis ini, banyak sekali orang yang kehilangan harapan dan stress. 
Utamanya, stress karena masalah finansial. Seorang family kami pun ada yang 
mengalami stress karena tuntutan kehidupan yang kian berat. Membelanjakan uang 
puluhan juta setiap bulan, baik untuk cicilan rumah di perumahan elit, cicilan 
mobil, biaya sekolah dua orang anak di sekolah ternama, biaya fashion dan gaya 
hidup, dan biaya-biaya lainnya-- dulu mampu dikeluarkannya dengan mudah. Namun 
sekarang, hal tersebut dirasakannya cukup berat karena sumber keuangan makin 
tergerus akibat krisis.

Beberapa anggota keluarga menyarankan untuk membuka usaha lain selain usaha 
yang digelutinya sekarang. Artinya, sumber rezeki harus diperluas dengan 
membangun sumber penghasilan lainnya, tidak hanya hanya bertumpu pada satu 
sumber saja. Hal yang disayangkan, dulu mereka sempat memiliki bisnis (suami 
punya PT sendiri, isteri memiliki 9 kios), namun kini mereka tidak memiliki 
semua itu dengan alasan karena fokus di bisnis Multi Level Marketing.

Ironis, dulu ia yang banyak mengkuliahi orang, kini banyak meminta masukan dari 
orang-orang. Dulu ia yang tampil optimis, kini banyak berkeluh kesah. Apa makna 
semua ini? Barangkali itu adalah teguran dari Allah SWT atas sedikit 
kesombongan mereka selama ini. Kesombongan bahwa hanya bisnis (MLM)-nya lah 
yang akan mampu menghantarkannya pada kesuksesan dunia dan menganggap bahwa 
bisnis selainnya adalah bisnis kecil dan kurang bisa dihandalkan. Apalagi bagi 
yang tidak memiliki bisnis dan hanya menjadi karyawan biasa. Bagaimana mau 
menjadi kaya? 

Hal sebenarnya yang terjadi, sesungguhnya mereka kehilangan Tuhan mereka. 
Mereka lupa bahwa rezeki adalah hak prerogatif-Nya. Dan yang sering dilupakan, 
Allah SWT memberikan rezeki bukan sekedar dengan harta. Dengan keimanan, 
kemudahan untuk beramal kebaikan, keringanan untuk bersedekah, dan tergeraknya 
langkah untuk mendekatkan diri pada Allah SWT. Jika manusia hanya berpatokan 
bahwa rezeki adalah harta semata, maka sesungguhnya dia hanya memahami satu 
simpul dari rezeki. Itu pun tidak sepenuhnya benar karena boleh jadi harta yang 
diperoleh hanya "sekedar singgah" sebelum sampai ke alamat sesungguhnya.

Banyak hikmah yang bisa saya petik. Aneka kejadian di atas menambah kesadaran 
saya akan makna rezeki dan simpul-simpulnya. Satu sisi kita harus yakin akan 
jaminan rezeki, dan pada sisi lainnya kita harus berusaha menjaga keberadaan 
dari simpul-simpul itu.

Waallahu a'lam bishshawaab.

rizqon...@eramuslim.com

muhammadrizqon.multiply.com

Kirim email ke