Memilih Pemimpin Gaya Rasulullah
Hampir di setiap pemilihan pemimpin negara baik presiden, gubernur, pemimpin
mahupun pemimpin rendahan lainnya di Indonesia selalu berakhir dengan
kontroversi. Instruksi Mendagri, Hari Sabarno untuk membatalkan pelantikan
Abdul Ghafur, Gubernur terpilih Provinsi Maluku Utara merupakan salah satu
bukti kukuh bahwa telah tenjadinya praktek 'money-politics' dalam proses
suksesi tersebut. Begitu juga terpilihnya Ir. Abdullah Puteh, M.Si sebagai
Gubernur Aceh periode 2000-2005 beberapa waktu yang lalu telah mengejutkan
banyak pengamat politik dan bahkan masyarakat awam yang sama sekali tidak
tahu menahu tentang politik. Kenapa ini terjadi? Keterkejutan dan
kontroversi terpilihnya pemimpin yang tidak memenuhi selera rakyat banyak
adalah mutlak disebabkan oleh penyelewangan amanah yang diemban para wakil
rakyat untuk menjatuhkan pilihan yang tepat, tanpa pilih kasih dan didorong
oleh faktor-faktor "X" lainnya. Kita tidak ingin "kontroversi" perhelatan
suksesi ini berulang kembali di Indonesia.
Untuk itu, tulisan ini ingin memberi beberapa pesan dan sekaligus masukan
kepada wakil rakyat dalam memilih pemimpin mendatang mereka tidak mengulangi
kesalahan-kesalahan pendahulu mereka sehingga pemimpin terpilih mendatang
betul-betul disayangi, disegani, dan memenuhi aspirasi majoritas masyarakat.
Begitu juga dengan kriteria-kriteria yang harus dimiliki oleh para pemimpin
terpilih juga akan direkomendasikan dalam tulisan ini.
Pertimbangan dalam Memilih
Terpenuhi tidaknya selera masyarakat terhadap pemimpin terpilih mendatang
adalah sangat ditentukan oleh anggota para wakil rakyat itu sendiri. Memang
semua rakyat ingin mengamanahkan kepemimpinan itu kepada orang-orang yang
kapabel, amanah, jujur, dan bertanggung jawab, namun akibat ketidakjujuran
para wakil rakyat baik terhadap dirinya sendiri mahupun terhadap rakyat yang
diwakilinya, sering mengakibatkan pimpinan terpilih itu tidak memenuhi
selera rakyat banyak. Hal ini, biasanya, terjadi akibat praktek Kolusi,
Korupsi, dan Nepotisme (KKN) yang telah mendarah-daging (be a blood
relative) menghantui wakil rakyat kita. Realitas ini, persis seperti telah
diklaim oleh Gordon Tullock (1976), seorang pendukung 'Teori Suara Rakyat'
(Public Choice Theory), bukan 'Teori Suara Partai' (Partisan Theory), dalam
bukunya, The Vote Motive" sebagai berikut: "Bureaucrats are like other
men.if bureaucrats are ordinary men, they will make most (not all) their
decisions in terms of what benefits them, not society as a whole" [Para
birokrat itu sama seperti manusia lain ...jika para birokrat adalah manusia
biasa, maka mereka akan membuat kebanyakan (bukan semua) keputusan untuk
keuntungan mereka, bukan untuk keuntungan rakyat secara keselurahan].
Walaupun tuduhan Tullock di atas hanya ditujukan terhadap para birokrat
Amerika Serikat yang tidak berpegang teguh pada Islam, namun sungguh sangat
menyedihkan bahwa tuduhan Tullock ini juga telah dipraktekkan oleh
wakil-wakil rakyat kita, padahal mereka mempunyai background keislaman yang
sangat kuat. Untuk menafikan tuduhan Tullock di atas berlaku di negara
Muslim pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya, maka para wakil rakyat
perlu membuktikan bahwa mereka mampu memilih orang yang tepat, amanah, jujur
dan bijaksana di masa-masa mendatang, sehingga dalam menerajui
kepemimpinannya itu akan lebih mengutamakan kepentingan rakyat banyak
(altruism) di atas kepentingan pribadi (selfishness), ahli famili, partai
dan golongannya.
Agar para wakil rakyat kita mampu memuaskan majoritas aspirasi masyarakat
dengan memilih pemimpin mendatang yang benar-benar mampu menjadi pengayom
(custodian) dan panutan/idola (model) rakyat, maka ada beberapa hal penting
yang harus diperhatikan para wakil rakyat, sebagai berikut:
Pertama, sebagai pemegang amanah rakyat dan sekaligus amanah Rasul dan Allah
swt, para wakil rakyat dalam menjatuhkan pilihannya haruslah memilih
orang-orang yang terlayak dan terbaik diantara calon-calon yang diajukan.
Kalau tidak, maka para wakil rakyat telah melakukan sebuah "pengkhianatan
yang tak termaafkan" (unforgiving betrayal) baik terhadap rakyatnya mahupun
terhadap Rasul dan KhaliqNya. Hal ini selaras dengan sabda Rasulullah saw
yang dikutip Ahmad Ibrahim Abu Sin (1991) dalam bukunya, "al-Idarah fi
al-Islam", yang masing-masing, berarti: "Siapa yang dipertanggungjawabkan
untuk mengurus urusan umat Islam lalu melantik seorang lelaki, sedangkan
terdapat lelaki lain yang lebik layak darinya, sesungguhnya ia telah
mengkhianati Allah dan Rasulnya" (al-Hadist); dan "Dan sesiapa yang melantik
seseorang untuk memimpin sepuluh orang diantara kamu, sedangkan dalam
kumpulan tadi masih ada orang yang lebih layak tetapi tidak kamu lantik,
sesungguhnya kamu telah mengkhianati Allah, Rasulnya, dan seluruh masyarakat
Islam. Dan sesiapa yang mati dalam keadaan ia menipu rakyatnya, ia tidak
akan dapat mencium bau syurga" (al-Hadist).
Kedua, untuk dapat memilih pemimpin yang tepat, maka para wakil rakyat harus
mengenal secara dekat dan detail (closer and in-depht identifications)
terlebih dahulu para calon pemimpin yang akan dipilihnya dan "bek lagee bloe
mie-oeng lam karoeng" (red. Bahasa Aceh: Jangan seperti beli kucing dalam
karung). Perkara ini seperti ditulis Imam Ibn Taymiyah (1979) dalam bukunya
"al-Siayasah al-Syari'ah" bahwa hal yang paling penting diperhatikan sebelum
memilih pemimpin adalah mengenal pribadi orang yang akan dipilih/dilantik
dengan tugas yang akan diembannya". Dan cara ini selalu dipraktekkan
Khalifah Umar bin Khattab ra dalam memilih Gubernurnya.
Ketiga, para wakil rakyat haruslah memilih pemimpin tidak berdasarkan sikap
pilih kasih, hubungan darah (kekerabatan), dan statusnya (kedudukan) dalam
masyarakat. Hal ini seperti nasehat yang terkandung dalam surat Khalifah Ali
bin Abi Talib ra kepada Asytar bin Nakhai ketika dilantik menjadi Gubernur
Wilayah Mesir sebagai berikut: ".dalam melantik pegawai-pegawai baru
hendaklah kamu melantik mereka secara pilihan, bukan pilih kasih dan
kedudukan dan hindarilah daripada melantik orang yang dikasihi karena mereka
boleh membawa kezaliman dan pengkhianatan. Utamakanlah orang yang suka
memperbaiki tingkat kemahiran dan perkhidmatan mereka kepada masyarakat.
Pilihlah daripada golongan pemalu dan warak serta mulia akhlaknya dan tidak
tamak kepada pangkat dan kemulian serta lebih teliti dalam setiap tindak
tanduknya".
Keempat, sebagai pemegang amanah rakyat, para wakil rakyat harus memilih
pemimpin yang amanah dan dilakukan melalui saluran dan proses amanah pula.
Ketidakamanahan baik para wakil rakyat yang memilih mahupun para pemimpin
yang dipilih adalah merupakan awal dari keruntuhan moral penguasa sehingga
akan mendegradasikan, bahkan menghilangkan kepercayaan rakyat di bawah
kepemimpinan mereka. Bahkan yang lebih dahsyat lagi bahwa hilangnya sifat
amanah wakil dan pemimpin rakyat merupakan awal daripada kiamat dunia. Hal
ini seperti ditegaskan Hadist berikut yang berarti: "Rasulullah saw
bersabda: 'apabila amanah telah hilang dan tidak diamalkan lagi oleh
manusia, tunggulah kiamat akan tiba'. Para sahabat bertanya, 'bagaimana
amanah boleh hilang? Rasulullah menjawab, apabila sesuatu jawatan dipegang
oleh orang yang bukan ahlinya." (al-Hadist).
Terakhir, dalam menjatuhkan pilihannya, para wakil rakyat hendaklah tidak
memilih para calon pemimpin yang mendatangi apalagi membujuk mereka dengan
berbagai 'imbalan', 'bonus', 'hadiah' atau apapun namanya untuk mendapat
jabatan itu. Hal ini seperti kata-kata Rasulullah saw: "Demi Allah swt, aku
tidak sekali-kali akan menyerahkan sesuatu tugas kepada orang-orang yang
datang memintanya atau mereka yang tamak terhadap jabatan itu".
Walaupun yang meminta jabatan itu adalah sanak saudara para wakil rakyat itu
sendiri, mereka harus secara tegas menolaknya. Ini seperti ditunjukkan
Rasulullah saw ketika Abbas bin Muthalib, pamannya sendiri datang memohon
agar dirinya dipilih sebagai salah seorang gubernur pada masa itu, dengan
berkata: "untuk jawatan ini, demi Allah, wahai pamanku, tidak sekali-kali
akan kuserahkan kepada mereka yang memohon atau yang tamak kepadanya ...dan
wahai paman Nabi! Berhati-hatilah dengan soal kepemimpinan. Sesungguhnya ia
amatlah berat". Nabi juga pernah menolak Abu Dzar al-Ghiffari, salah seorang
sahabat yang telah dijamin Rasulullah saw masuk syurga untuk menjadi salah
seorang gubernurnya, karena menurut Rasulullah saw Abu Dzar tidak
berkemampuan dan tidak memiliki kelayakan yang sesuai untuk jabatan itu.
Begitu juga dengan sikap Umar bin Khattab ra yang menolak permohonan para
sahabatnya agar melantik Abdullah bin Umar, anaknya sendiri yang dikenal
warak dan adil itu untuk dipilih sebagai salah seorang gubernur dengan
berkata: "dari keluargaku (Umar) cukuplah saya seorang sahaja yang akan
dihisab nanti". Tegasnya sifat Umar bin Khattab ra agar para wakil rakyat
itu tidak memilih sanak familinya sebagai pemimpin, maka beliaupun berkata
bahwa: "sesiapa yang melantik seorang kenalan atau sanak saudara mereka
untuk memegang jabatan kerajaan bermakna ia telah mengkhianati Allah swt dan
Rasulnya". Apatah lagi yang meminta jabatan itu adalah mereka yang
menjanjikan 'imbalan jasa', hadiah atau apapun namanya, maka para wakil
rakyat harus menolak tegas permintaan mereka sekeras-kerasnya karena tanpa
menerima imbalan jasa itu, para wakil rakyat telahpun menerima gajinya
sendiri.
Penolakan untuk menerima hadiah ini jelas seperti dikatakan Rasulullah saw
bahwa: "sesiapa yang dipercayakan rakyat untuk memilih para pemimpin dan
pegawainya dan mereka dibayar gaji atas kerja-kerja yang dilakukannya,
kemudian mereka menerima hadiah berarti mereka telah melakukan perbuatan
khianat", dan "si pemberi dan si penerima sogok kedua-duanya dalam neraka"
(al-Hadist).
Dengan memahami beratnya tugas dan besarnya amanah yang diembankan
masyarakat ke atas pundak wakil rakyat mereka, sebelum menjatuhkan
pilihannya para wakil rakyat/anggota dewan hendaklah mengenal secara lebih
dekat dan lebih detail para calon pemimpin yang diajukan dan juga tidak sama
sekali bergeming apalagi dipengaruhi dengan janji manis atau imbalan jasa
yang ditawarkan mereka sehingga tidak mempengaruhi objektivitas suksesi.
Mudah-mudahan dengan menyadari besarnya amanah rakyat yang diembankan
mereka, para anggota dewan dapat menggunakan saluran dan proses pemilihan
yang amanah pula sehingga pemimpin terpilih adalah orang yang paling tepat
untuk diberikan amanah dalam menerajui kepemimpinan kita di masa-masa
mendatang. (bersambung)
Siapa yang Harus Dipilih?
Dengan merujuk pada ke-lima pesan dan masukan yang harus diperhatikan para
anggota dewan/wakil rakyat dalam memilih pemimpin mendatang, seperti telah
dijelaskan di atas, agar para wakil rakyat dapat mengamanahkan estafet
kepemimpinan kepada individu yang tepat, amanah, bertanggung jawab, jujur,
arif, dan bijaksana, sehingga dapat memenuhi aspirasi dan sekaligus tidak
akan mengecewakan majoritas masyarakat, maka pemimpin yang akan dipilih itu
haruslah, diantaranya, memiliki sifat-sifat berikut:
Pertama, calon yang dipilih itu hendaklah kapabel dalam ilmu pemerintahan.
Kapabilitas pemimpin terpilih tidak hanya terbatas pada kemahiran di bidang
politik sahaja, tetapi harus meliputi semua aspek kehidupan umat seperti
aspek ekonomi, dan budaya serta kemahiran untuk menciptakan hubungan
pemimpin dengan masyarakat, pemimpin dengan atasan, dan hubungan antar
sesame masyarakat dengan pernuh keharmonian. Hal ini seperti firman Allah
swt yang bermaksud: ".sebaik-baik pekerja adalah orang yang kuat dan jujur"
(Q.S. al-Qasas: 26). Dengan adanya kemampuan tersebut, pemimpin terpilih
akan mampu melaksanakan tugasnya dengan baik.
Kedua, pemimpin terpilih itu harus bersifat jujur, amanah, dan adil sehingga
dalam setiap sepak terjang politiknya, pemimpin tidak bersifat pilih kasih
terhadap rakyat jelata. pemimpin harus menyayangi dan menghargai rakyatnya
sama rata sebagaimana ia menyayangi dan menghargai setiap anngota tubuh
dirinya, dan bahkan menempatkan kepentingan masyarakat banyak di atas
kepentingan pribadinya. Siapa sahaja yang melanggar hukum harus ditindak
dengan hukuman yang yang berkeadilan tanpa membedakan status, keturunan,
kekayaan, dan jasanya kepada rakyat dan negara.
Karena sifat pilih kasih baik dalam memprioritaskan peruntukkan
kesejahteraan mahupun dalam menegakkan hukum kepada rakyatnya akan
menyebabkan kehilangan kepercayaan rakyat terhadap kepemimpinan, dan bahkan
akan mengundang malapetaka. Dalam bertindak, pemimpin haruslah mampu
mengikuti praktek Rasulullah dalam menegakkan hukum, seperti sabda
Rasulullah saw yang berarti: "Sungguh Allah swt telah membinasakan umat
sebelum kamu, karena apabila ada di antara orang besar mencuri dibiarkan
sahaja, tetapi jika orang kecil yang mencuri dijatuhi hukuman
seberat-beratnya. Demi Allah swt yang jiwaku berada ditanganNya, andaikata
anakku Fatimah putri Rasullullah mencuri pasti akan ku potong tangannya"
(al-Hadits).
Ketiga, pemimpin yang dipilih itu hendaklah individu yang yang paling
memahami dan paling berjasa terhadap daerah dan masyarakatnya. Keberhasilan
Rasulullah saw dan Khalifah Umar bin Khattab ra memimpin rakyatnya, sehingga
Rasulullah diakui Barat sebagai tokoh nomor satu dan Umar bin Khattab ra
sebagai tokoh dari kalangan umat Islam yang masuk rangking sepuluh besar
tokoh paling berpengaruh dalam sejarah umat, seperti disebutkan Michael Hart
(1979) dalam bukunya, "The 100, Ranking of the Most Influential Persons in
History" adalah, diantaranya, disebabkan oleh pengetahuan luas dan kedekatan
mereka dengan rakyatntya.
Keempat, pemimpin yang terpilih haruslah individu yang bersikap hidup
sederhana (moderation) dan segala atribut penampilannya tidaklah mencolok
mata. Sifat ini penting dimiliki oleh seorang pemimpin agar tidak
menimbulkan fitnah dan rasa iri hati rakyatnya yang umumnya hidup di bawah
garis kemiskinan. Juga penampilan yang mencolok mata akan menjadi penghalang
keakraban antara pemimpin dan masyarakat. Atas dasar inilah, Umar bin
Khattab ra melarang untuk menjadi pemimpin mereka-mereka yang menunggang
himar, memakan makanan lezat, memakai baju mewah, dan yang suka mendatangi
rumah rakyatnya tanpa keperluan.
Kelima, pemimpin terpilih harus mampu bekerjasama dengan masyarakat.
pemimpin terpilih juga harus tidak sungkan-sungkan meminta pendapat para
cerdik pandai dan ulama dalam setiap keputusannya untuk kepentingan rakyat.
Karena menurut Umar bin Khattab ra, orang cerdik pandai adalah orang yang
dapat menimbangkan sesuatu dengan penuh kewarasan dan akal pikiran sehat
sekalipun perkara itu tidak pernah diberitahu sebelumnya. Meminta pendapat
pada para cerdik pandai ini telah dipraktikkan para Khulafaur Rasyidin
dimana mereka selalu meminta pendapat dari Majlis Syura yang keempat-belas
anggotanya terdiri dari para sahabat yang terkenal dengan keimanan,
kewarakan, dan semangat keislamannya. Dalam setiap pengambilan keputusannya,
pemimpin terpilih juga harus mampu melibatkan semaksimal mungkin peran serta
pemuda didalamnya. Pentingnya penglibatan para pemuda secara aktif dalam
setiap pengambilan keputusan, seperti telah diprakktekkan Umar bin Khattab
ra, tidak lain karena menurut beliau bahwa para pemuda mempunyai pemikiran
yang tajam dan ide-ide cemerlang.
Keenam, pemimpin terpilih harus mengutamakan masyarakat golongan menengah ke
bawah daripada golongan menengah ke atas, dan memprioritaskan kepentingan
kaum hawa daripada kaum Adam. Hal ini seperti telah dikatakan Khalifah Umar
bin Khattab ra: "Sesungguhnya orang yang lemah disisimu adalah kuat
disisiku, karena aku tidak mempunyai kuasa untuk mengambil sesuatu dari
mereka (golongan lemah), dan orang yang kuat disisimu, sesungguhnya adalah
lemah disisiku karena aku berkuasa untuk mengambil sesuatu darinya". Oleh
karena itu, dalam setiap keputusannya, kepentingan golongan menengah ke
bawah dan kaum hawa harus dikedepankan dari kepentingan golongan menengah ke
atas dan kaum lelaki.
Ketujuh, dalam mengatur setiap urusannya, pemimpin terpilih harus bersikap
lemah-lembut, tetapi tidak terlalu lembek dan bersikap tegas, namun tidak
terlalu kasar". Sikap ini penting diperhatikan, karena kata Umar bin Khattab
ra: "janganlah bersikap terlalu lembut sehingga kamu akan dijajah dan jangan
pula kamu bersikap terlalu keras (kasar) sehingga kamu hancur karenanya".
Namun, pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang memiliki kombinasi sifat
ke-empat Khulafaur Rasyidin, seperti dikatakan Rasulullah saw sendiri
sebagai berikut: "orang yang mempunyai sifat paling belas kasihan terhadap
umatku ialah Abu Bakar as-Siddiq ra; orang yang paling teguh dengan pegangan
Allah ialah Umar bin Khattab ra. Sesungguhnya Allah telah menegakkan
kebenaran melalui Umar; orang yang paling pemalu adalah Usman bin Affan ra,
dan Ali bin Abi Talib ra pula adalah orang yang paling adil dalam segala
perkataannya".
Kedelapan, pemimpin terpilih adalah individu yang mampu bertanggung jawab
secara penuh terhadap kesejahteraan dan kepapaan atau maju-mundurnya
rakyatnya. Untuk melaksanakan tanggung jawab terhadap rakyatnya, pemimpin
terpilih harus mampu merespon setiap keluhan rakyatnya dan sekaligus
memberikan solusi. Perlunya para pemimpin memiliki rasa tanggung jawab yang
menyeluruh terhadap bawahannya, sebenarnya, dapat kita pedomani dari
kata-kata Umar bin Khattab ra berikut: "seandainnya ada keledai yang jatuh
dari atas gunung di kawasan Irak sehingga patah kakinya, pasti Allah swt
meminta pertangungjawaban saya (Umar) karena tidak membuat jalan untuk
dilintasi keledai tersebut"; dan "kalau kambing tersasar dan hilang di
pingiran sungai Efrat, maka Umar akan bertanggung jawab pada hari akhirat".
Begitu juga Ali bin Abi Talib ra ketika melihat Umar bin Khattab ra sedang
berlari lalu bertanya: "kenapa kamu lari wahai Umar? Aku (Umar) lari karena
ingin mengejar unta sedekah yang telah lepas dari tambatannya". Karena
tingginya rasa tanggung jawab Umar terhadap kekhalifannya, maka telah
mendorong beliau hampir saban hari untuk mengecek sendiri situasi
penduduknya dari rumah ke rumah baik secara secara formal mahupun tidak
formal. Karena keterbatasan Umar bin Khattab ra untuk mengelilingi seluruh
wilayah kepemimpinannya sehingga dapat mengetahui keadaan yang sebenarnya
menimpa rakyatnya, maka bila musim haji tiba, beliau selalu mengumpulkan
rakyatnya untuk membuat pengaduan-pengaduan. Disamping itu, juga beliau
telah mendirikan sebuah Biro Pengaduan (Complaining Bureau) untuk mengetahui
semua keluhan dan keperluan rakyatnya. Sangking bertanggung jawabnya beliau
terhadap kekhalifahannya, bahkan di akhir hayatnya, Umar bin Khattab ra
berkata: "sekiranya aku dapat hidup lebih lama lagi, maka akan kukelilingi
semua wilayah rakyatku sehingga aku dapat melihat dengan mata kepalaku
sendiri keadaan mereka. Aku tahu mereka mempunyai berbagai keperluan yang
tidak dapat terpenuhi tanpa kehadiranku".
Kesembilan, pemimpin terpilih harus mampu mengadakan evaluasi terhadap
kemajuan kepemimpinannya yang meliputi semua kemajuan bawahan dan rakyatnya
secara reguler dari waktu ke waktu. Tindakan ini perlu, karena seperti
kata-kata Umar bin Khattab ra yang dikutip Naceur Jabnoun (1994), dalam
bukunya "Islam and Management" sebagai berikut: "apakah kamu pikir jika saya
(Umar) telah menunjuk seseorang sebagai wakil kamu untuk kebaikan umat dan
memerintah mereka untuk melakukan keadilan, apakah umar telah melakukan
tugasnya dengan baik? Ya, jawab sahabat. Tetapi beliau menjawab tidak,
selagi saya belum melihat sendiri apakah orang yang saya tunjuk itu telah
berbuat seperti yang diperintahkan". Evaluasi ini juga, sebenarnya, harus
dilakukan setiap anggota dewan terhadap pemimpinnya agar pemimpin terpilih
tidak menyelewengkan amanat rakyat yang diembannya. Dan bila dalam evaluasi
tersebut ditemui kejanggalan-kejanggalan dan penyelewengan amanat rakyat,
maka tanpa segan-segan anggota dewan harus memecat pemimpinnya, dan begitu
juga pemimpin harus memecat bawahannya.
Perkara ini seperti berlaku ketika Umar bin Khattab ra ketika menggantikan
Hasnah, Gubernur Syria dengan Muawiyah bin Abu Sufyan, lalu Hasnah bertanya
kepada Umar: "Wahai Umar, kenapa kamu menggantikan saya? Apakah karena kamu
marah? Bukan jawab Umar, kamu adalah orang seperti kemahuan saya, tetapi
saya menginginkan pemimpin yang lebih kuat daripada kamu". Ini menunjukkan
bahwa gonta-ganti kepemimpinan dalam Islam itu adalah perkara biasa dan
bahkan ianya sangat digalakkan Islam sejauhmana pergantian kepemimpinan itu
adalah semata-mata ditujukan untuk kebaikan dan kemaslahatan rakyat banyak.
Terakhir, kalau dalam memilih pemimpin, para anggota dewan meragukan
kelayakan pimpinan terpilih, maka pemimpin terpilih harus diberi masa
percobaan untuk menguji apakah ianya layak atau tidak untuk mengemban tugas
kepemimpinan. Begitu juga dengan pemimpin dalam memilih bawahannya, beliau
harus mengetes kelayakan bawahan yang dipilih tersebut terlebih dahulu
dengan memberi masa percobaan, katakanlah selama tiga bulan. Melalui masa
percobaan ini, anggota dewan dapat menilai kelayakan pemimpin terpilih, dan
begitu juga pemimpin dapat menilai kelayakan bawahan yang dipilihnya.
Perlunya masa percobaan diberikan pada pemimpin terpilih adalah seperti
dipraktekkan Khalifah Abu Bakar as-Siddiq ra ketika melantik Yazid bin Abu
Sufian dengan berkata: "Aku telah melantik kamu, tetapi pelantikan ini
merupakan ujian dan percobaan kepada diri kamu, dan aku (Abu Bakar) berkuasa
untuk memecat kamu. Jika kamu mampu melaksanakan semua tugas yang diberikan
dengan baik dan sempurna, maka akan kukekalkan jabatan kamu. Sebaliknya,
jika aku mendapati kamu tidak berupaya untuk melaksanakan tugas yang
diberikan, maka kamu akan kupecat". Proses pemecatan ketika masa percobaan
selama tiga bulan diberikan, pernah dilakukan Rasullullah saw ketika memecat
Alak bin Hamdani dari jabatan Gubernur wilayah Bahrain, dan kemudian
digantikan oleh Aban bin Said
Mudah-mudahan dengan menyadari amanah yang dibebankan rakyat kepadanya, para
anggota dewan/wakil rakyat kita mampu memilih pemimpin yang akan menerajui
kepemimpinan kita di tahun-tahun mendatang dengan penuh amanah dan
bertanggung jawab. Dengan merujuk pada pengalaman kepemimpinan Rasulullah
saw dan ke-empat Khulafaur Rasyidinnya, baik anngota dewan/wakil rakyat
mahupun pemimpin terpilih mendatang, InsyaAllah akan mampu memberdayakan dan
mengangkat kembali harkat dan martabat masyarakat di bawah kepemimpinannya
baik di percaturan politik dan ekonomi nasional maupun percaturan politik
dan ekonomi internasional.
http://ichwah.multiply.com/journal/item/12
------------------------------------------------------------------
- Milis Masjid Ar-Royyan, Perum BDB II, Sukahati, Cibinong 16913 -
- Website http://www.arroyyan.com ; Milis jamaah[at]arroyyan.com -
Rasulullah SAW bersabda, Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama,
seratus kurang satu. Barangsiapa memperhitungkannya dia masuk surga.
(Artinya, mengenalnya dan melaksanakan hak-hak nama-nama itu) (HR. Bukhari)