From: "MundhiSabda Lesminingtyas" <[EMAIL PROTECTED]> Miskin Tidak Harus Mengemis Bagian 10 (Oleh : Lesminingtyas)
Tugas saya di Kalimantan Barat yang berikutnya adalah mengakhiri kerja sama dengan sebuah yayasan sosial yang cukup besar yang berada di bawah bendera Katolik. Lembaga saya memutuskan untuk mengakhiri kerja sama karena setelah proyek kemanusiaan di daerah Putusibau dan Bukit Batu berjalan beberapa tahun, ditemukan penyelewengan di tingkat staf pelaksana proyek dan badan perwakilan penerima bantuan. Sebenarnya para pendahulu saya telah menawarkan beberapa alternatif pemecahan tetapi tampaknya tidak ada itikad baik dari pihak-pihak yang terlibat. Saat para pendahulu saya mencoba meminta pertanggungjawaban dari yayasan mitra kerja, para pengurusnyapun kurang serius menanggapinya. Mungkin hal ini disebabkan karena lembaga saya tidak pernah memberikan biaya operasional maupun insentif kepada yayasan. Kebijakan ini sepertinya tidak adil karena yayasan harus merogoh kocek sendiri untuk keperluan pengawasan dan pengendalian proyeknya. Tetapi berangkat dari semangat kemitraan, yayasan yang bermitra dengan lembaga kami seharusnya menyadari bahwa proyek kemanusiaan tersebut merupakan program bersama yang idealnya dibiayai secara bersama pula. Lagi pula dari sejarah pembentukannyapun, jelas bahwa pelayanan lembaga saya ada di daerah tersebut hanya sebagai pendukung yayasan mitra untuk mewujudkan visi dan misinya. Kami memandang hubungan kerja sama itu seperti layaknya hubungan suami istri, dimana proyek sebagai anak dari hasil kerja sama yayasan dengan lembaga saya, sudah seharusnya menjadi tanggung jawab bersama termasuk dalam hal pembiayaan, minimal untuk biaya pengawasan dan pengendaliannya. Namun karena yayasan mitra kerja tidak memiliki pandangan yang sama, akhirnya para pendahulu saya dibiarkan kelimpungan sendiri menghadapi para pelaksana proyek dan badan perwakilan penerima bantuan yang telah bersekongkol menyalahgunakan dana kemanusiaan. Sikap yang kurang kooperatif dari pihak-pihak yang terlibat telah membiarkan kesempatan yang diberikan oleh para pendahulu saya, itu berlalu tanpa tindakan nyata dan itikat baik mereka. Tidak ada pilihan lain, demi melindungi hak anak-anak miskin, salah satu senior saya telah memaksa pihak-pihak yang terlibat untuk membuat pernyataan kesanggupan untuk mengembalikan dana yang ditulis di atas kertas segel, disertai dengan jaminan berupa setifikat tanah. Hal itu dilakukan untuk memaksa mereka mengembalikan dana yang telah diselewengkan, kalau mereka tidak ingin tanahnya dilego atau diserahkan kepada anak-anak yang haknya telah diambil. Tindakan tegas senior saya bukan membuat mereka jera, tetapi sebaliknya mereka makin berulah dengan memprovokasi para penerima bantuan dan mendeskreditkan lembaga kami. Suasana benar-benar panas dan tidak pernah ada titik temu.Untuk melindungi hak anak-anak dan juga untuk menjaga kepercayaan sponsor, lembaga sayapun memutuskan untuk menahan dana sambil menunggu proses penyelesaian masalah oleh pengurus yayasan mitra kerja. Untuk menjaga kredibilitas dan akuntabilitas lembaga, beberapa managerpun ditugaskan untuk menyelesaikan masalah ini. Tetapi pihak yayasan tidak menujukkan itikad baik sehingga kesepakatan untuk pemecahan masalahpun tidak pernah tercapai. Lembaga kami tidak punya pilihan lain, selain mengusulkan perpanjangan penahanan dana. Karena kebijakan dari kantor pusat kami di Amerika, hanya membolehkan kantor nasional untuk menahan dana dalam waktu 2 bulan saja, penahanan dana untuk bulan ketiga dan selanjutnya dilakukan di tingkat kantor pusat di Amerika. Setelah 8 bulan dana tertahan, kantor pusatpun mendesak kami untuk segera menyelesaikan masalah proyek tersebut. Karena tidak ada satu pihakpun yang bisa menjamin bahwa dana yang akan kami salurkan 100% bisa sampai ke tangan anak-anak dan keluarga yang berhak, maka lembaga kami tidak bisa berbuat apa-apa lagi, kecuali angkat tangan. Bagi lembaga kami lebih baik kehilangan satu proyek dari pada harus kompromi dengan ketidakjujuran yang pada akhirnya akan mengurangi kepercayaan sponsor. Memang jauh sebelum bangsa Indonesia disadarkan untuk menolak KKN, lembaga saya sudah lama menyatakan perang dengan apa yang disebut ketidakjujuran, kolusi, korupsi dan nepotisme. Kami sungguh menyadari bahwa modal kami sebagai lembaga penyalur dana dari sponsor hanyalah integritas, kredibilitas dan akuntabilitas lembaga yang juga harus tercermin dari setiap gerak stafnya. Kalau ketiga hal tersebut sampai cacat, musnah sudah masa depan kami. Saat direktur menugaskan saya untuk mengakhiri kerja sama itu, saya kembali lagi bertanya kepada Tuhan "Tuhan, apakah bumi Khatulistiwa ini merupakan Kanaan tanah yang Kaujanjikan, ataukan Babel negri pembuangan ?" Saya benar-benar dalam situasi sulit, ibarat maju kena mundurpun apalagi lebih kena. Kalau maju, saya harus siap dengan sambutan mandau dan amarah yang tak berujung dari mitra kerja. Tetapi kalau saya mundur dan menolak tugas itu berarti saya harus kehilangan pekerjaan. Tidak ada pilihan lain, walaupun hati saya ciut sayapun menerima tugas itu. Saya pergi ke Pontianak bukan dengan melenggang bebas. Saya mengumpulkan banyak-banyak informasi dari para pendahulu saya. Senior saya; alumni STKS Bandung yang pertama kali ditugaskan menyelesaikan masalah, hanya di sambut dengan lemparan batu, kayu dan dikejar-kejar dengan mandau. Walaupun senior saya berusaha menegakkan kebenaran untuk membela hak anak-anak miskin, para pelaksana proyek dan pengurus badan perwakilan penerima bantuan telah memprovokasi masyarakat dengan isyu SARA dimana kebetulan senior saya adalah seorang muslim. Mendengar pengalaman sang senior, saya cukup merinding. Tetapi saya pikir nasib saya tidak akan seburuk itu karena paling tidak mereka adalah saudara seiman saya. Senior berikutnya yang saya minta referensinya adalah alumni STISIP Widuri yang ditugaskan menggantikan senior saya yang pertama. Sesuai namanya; Hosea, iapun beriman seperti Nabi Hosea. Saya berharap mendapatkan cerita dengan versi yang berbeda yang mungkin akan lebih menyejukkan hati saya sebelum melangkah ke Pontianak. Betapa terkejutnya saya, bahwa dengan berbagai provokasi, masyarakat tetap menolak kedatangan Hosea, yang nota bene adalah saudara seiman. Ketika saya menghadap dua manager yang pernah ditugaskan ke sana, sayapun mendapat jawaban yang tidak jauh berbeda. Sebelum saya mengawali tugas ke Pontianak, dari Jakarta saya mengirim surat perkenalan dengan pengurus yayasan sambil melampirkan surat tugas dari direktur. Saya tahu persis bahwa kwalitas iman, kemampuan dan pengalaman saya jauh di bawah para pendahulu saya. Itulah sebabnya saya hanya bisa mengandalkan penyertaan Tuhan sambil mencari cara-cara penyelesaian masalah dengan lebih bersahabat. Tak henti-hentinya saya berdoa, memohon penyertaan dari Tuhan. Sesampainya di Pontianak, sayapun menghubungi dan meminta dukungan doa dari kawan-kawan karib yang saya kenal melalui proyek, yaitu Pak Ruslan, Pak Hitipeuw serta para pendeta dan vikaris di GPIB Siloam, Pontianak. Saya juga menghubungi kenalan lama saya yang kebetulan menjabat sebagai Kapolsek di Pontianak untuk sekedar berjaga-jaga. Ketika pengurus itu tahu bahwa saya telah berada di Wisma Nusantara, hotel langganan lembaga saya, ia mengirimkan dua orang utusan untuk memanggil dan meminta saya menghadap beliau. Semula teman saya yang menjabat sebagai Kapolsek telah berjanji untuk mengantarkan saya saat kunjungan ke yayasan tersebut. Tetapi karena panggilan pengurus yayasan menghendaki saya untuk menghadap saat itu juga, rencana kamipun berantakan. Untuk menambah keberanian saya, Kapolsek itu hanya bisa meminjamkan mobilnya untuk saya pakai. Walaupun sebenarnya langkah kaki saya agak gemetar, saya pikir paling tidak wajah saya sedikit kelihatan berwibawa saat turun dari mobil Kapolsek. Persis seperti yang diceritakan kedua manager saya, pengurus yayasan itu meminta saya untuk menghadap hanya untuk menerima caci maki yang tak habis-habisnya. Tetapi sejak dari Jakarta saya sudah mengembangkan kiat untuk "minum pil budek" supaya saya tidak sakit hati atau terpancing emosi. Saya tidak tahu sudah berapa macam cacian yang dilontarkannya dan sudah berapa menit mulut pengurus yayasan itu mengeluarkan kata-kata kotor. Saya benar-benar tidak tahu karena biarpun telinga saya terbuka tetapi hati saya telah penuh dengan nyanyian Kidung Jemaat No. 467, satu-satunya lagu yang saya hafal di luar kepala waktu itu. Ketika mata saya tahu bahwa pengurus yayasan itu mulutnya tidak bergerak lagi, saya mencoba bertanya "Bapak sudah selesai berbicara ?" tanya saya dengan volume dan tempo yang saya atur serendah mungkin dan dengan gaya santun layaknya abdi dalem Kraton Yogyakarta. Dengan amarah yang meledak-ledak, pengurus itu kembali mengaktifkan otot rahangnya. Sayapun tak mau kalah. Dalam waktu yang bersamaan saya menyanyi dan menyanyi terus syair Kidung Jemaat No. 467 bait pertama secara berulang-ulang.. "Tuhanku, bila hati kawanku terluka oleh tingkah ujarku, dan kehendakku jadi panduku, ampunilah" saya terus menyanyi dalam hati. Ketika bibir pengurus itu terkatup untuk beberapa saat, saya kembali bertanya supaya terlihat santun "Bapak sudah selesai berbicara ?" Pengurus yayasan itupun kembali "was, wes, wos, wis, wus, wes.." dan entah apa lagi yang dikatakannya. Saya benar-benar tidak tahu apa yang dikatakannya, karena hati saya sibuk bernyanyi. "Jikalau tuturku tak semena dan aku tolak orang berkesah, pikiran dan tuturku bercela, ampunilah !" hati saya terus menyanyikan bait yang kedua puluhan kali. Ketika pengurus itu diam dan memandangi saya, sayapun sadar bahwa saya harus tetap menjaga sopan santun dengan bertanya kembali "Bapak sudah selesai berbicara ?". Pengurus yayasan yang umurnya kira-kira dua kali lipat umur saya itu kembali lagi mengulang aksinya "was, wes, wos, wus, wis...dst, dll, dsb". Sayapun hanya berbicara dalam hati saya "Emangnya gua pikirin ! Nyanyi lagi aja ah......." "Dan hari ini aku bersembah serta padaMu Bapa, berserah, berikan daku kasihMu mesra. Amin, Amin !" dalam hati saya menyanyikan bait yang ke tiga itu berulang-ulang, entah sudah berapa puluh kali. Ketika mulut pengurus yayasan itu berhenti cukup lama, saya kembali bertanya "Bapak sudah selesai berbicara ?". Mungkin karena sudah kehabisan kata-kata atau karena sudah bosan melihat wajah saya yang jelek dan tanpa ekspresi, pengurus itupun menjawab dengan volume suara yang sangat tingi "Sudah ! Sekarang mau kamu apa ?" dari awal pertemuan, pengurus yayasan itu selalu menyebut saya dengan kata KAMU. Walaupun sebenarnya saya tidak sreg di "kamu-kamukan" tapi saya pikir saya harus semakin merendah supaya pengurus itu bisa sedikit belajar sopan santun dari sikap saya. "Waduh, mau gua apa ya ? Gua khan nggak tahu apa yang elu omongin tadi !" kata saya dalam hati. Tapi demi menjaga sopan santun, sayapun berdiplomasi. "Justru saya ditugaskan ke sini supaya tahu apa yang Bapak kehendaki ? Mari kita bicarakan baik-baik apa yang Bapak inginkan ! Kalau sekiranya policy lembaga kami memungkinkan keinginan Bapak terwujud, saya akan melakukannya. Tetapi kalau sekiranya kemauan Bapak tidak sesuai dengan policy lembaga saya, saya tidak berwenang untuk melakukannya. Yang bisa saya lakukan hanya melaporkan dan meminta kebijaksanaan dari management di Jakarta" jawab saya pelan. "Kami ingin dana bantuan yang sudah tertahan 8 bulan segera dicairkan. Saya ingin semua sertifikat tanah staf saya juga dikembalikan !" kata pengurus itu masih tetap lantang. "Baik Pak ! Saya justru ditugaskan ke mari untuk mencairkan cek ini kemudian kita akan bersama-sama menyerahkan uangnya langsung ke masyarakat. Karena kami sudah tidak lagi menganggarkan biaya pendampingan program, maka pelayanan tidak perlu lagi dalam bentuk program-program pengembangan. Bantuan terakhir ini akan kita serahkan secara cash kepada anak-anak dan keluarga, dan mereka yang akan mengatur sendiri penggunaanya"" jawab saya tanpa emosi. "Kenapa uang itu tidak ditransfer ke rekening kami seperti biasanya ?" tanya pengurus yayasan masih dalam nada yang tingi. "Maaf Pak, yang menahan dana dan mengeluarkan cek ini adalah kantor pusat di Amerika, bukan kantor kami di Jakarta. Mungkin kalau Bapak tidak puas, Bapak bisa langsung berkomunikasi dengan petugas di kantor pusat, Pak !" kata saya sambil menyerahkan cek dan alamat kantor pusat. "Tidak perlu Bu ! Saya hanya ingin memastikan kalau kalian di Jakarta tidak mengkorupsi bantuan ini" katanya dengan volume yang sudah mulai merendah dan mulai dengan sebutan Bu untuk saya. "Walaupun anggaran operasional kantor di Jakarta yang dijatah dari kantor pusat sangat pas-pasan, kami selalu berusaha mencukupkannya dan tidak pernah ada niat sedikitpun untuk mengurangi hak anak-anak miskin. Lagi pula sistem keuangan telah diatur oleh kantor pusat sedemikian rupa sehingga kantor kami tidak mungkin memotong se-sen-pun dana bantuan ini" saya meyakinkan bahwa praktek-praktek di lembaga kami tidak memungkinkan siapapun menikmati yang bukan haknya. "Bagaimana dengan serifikat tanah milik staf pelaksana proyek yang dijaminkan ?" tanya pengurus yayasan itu. "Lembaga kami ingin Bapak menyelesaikan masalah penyalahgunaan dana secara intern, sehingga Bapaklah yang paling berhak untuk menahan atau mengembalikan sertifikat tanah itu. Kalau yayasan bisa menutup semua dana yang telah disalahgunakan dan bersama-sama dengan saya mengembalikannya kepada anak-anak yang berhak, terserah sertifikat ini mau Bapak apakan" saya menawarkan penyelesaian masalah secara intern, sambil menyerahkan beberapa lembar sertifikat tanah milik pihak-pihak yang terlibat. "Baik, saya sanggup mengganti semua dana yang telah diselewengkan oleh anak buah saya"pengurus itu berjanji. Setelah emosi pengurus yayasan benar-benar reda, ia mencoba menelpon beberapa bank untuk mencarikan cek bernilai puluhan ribu dolar yang dikirim dari Amerika. Sayang sekali tidak ada satupun bank yang bersedia melakukan proses kliring cek kami karena kuatir cek itu kosong. Sebelum pengurus itu kembali mengumbar amarahnya, sayapun menawarkan diri "Bolehkah saya kembali ke hotel sebentar untuk berkonsultasi dengan management mengenai kesulitan kita dan saya akan mengusulkan supaya dana ditransfer seperti biasa ?" saya minta permisi. "Ibu tidak usah repot-repot kembali ke hotel ! Silakan saja Ibu pakai telepon kami !" pengurus itu mempersilakan saya dengan sikap yang teramat santun. Ketika management menyetujui pentransferan dana dengan syarat melalui rekening proyek lain di Kabupaten Mempawah yang lebih terpercaya, pengurus itupun kembali marah. Pengurus yang merasa orang Katolik senior itu merasa tersinggung kalau ketidakberesannya diketahui oleh pengurus dan pelaksana proyek di Mempawah yang nota bene adalah orang-orang Katolik yang masih sangat muda. Pengurus itu ngotot, kalaupun lembaga kami tidak mempercayainya, paling tidak ia ingin dana itu ditransfer ke rekening pribadi saya. Saya terus memberi pengertian bahwa kebijakan kantor pusat maupun kantor di Jakarta tidak memungkinkan pengiriman dana ke rekening perorangan, apalagi atas nama staf. Dengan sabar saya mencoba menawarkan beberapa alternatif, dan akhirnya kami sepakat mengusulkan kepada management untuk mentransfer dana ke rekening proyek yang ada di bawah GPIB Siloam, Pontianak. Saya kembali menggunakan telepon yayasan untuk menyampaikan usulan kami. Pihak management di Jakarta tidak mudah saja menerima usulan itu. Paling tidak mereka perlu merapatkannya. Manager saya terus mendesak manager-manager lain dan direktur untuk segera mengambil keputusan supaya saya tidak menjadi korban seperti para pendahulu saya. Tetapi para manager dari divisi lain dan juga direktur minta waktu untuk memastikan bahwa tidak ada KKN diantara saya, pengurus yayasan dan juga teman-teman di GPIB Siloam. Setelah beberapa jam menanti, akhirnya kami menerima fax berisi keputusan management yang menyetujui usulan kami. Sebelum kami membuat Plan Of Action untuk penyaluran bantuan yang sempat tertahan selama 8 bulan, pengurus yayasan itu mengajak saya untuk makan siang di kantornya. Rupanya ia telah memesan makanan dari sebuah restoran sebagai tanda perdamaian kami. Walaupun para senior saya wanti-wanti supaya saya tidak makan apa yang disediakan oleh pihak pengurus maupun pengelola proyek, saya tidak mau menolak jamuan tersebut karena saya tidak ingin menodai persahabatan yang telah terjalin. Saya selalu yakin bahwa selama saya jujur, tulus dan berniat baik, Tuhan sanggup mengubah yang tidak baik menjadi baik, dan mengubah racun menjadi berkat. Di sela-sela makan siang, pengurus itu bertanya "Maaf ya, kalau boleh tahu sebenarnya Bu Ning punya jimat apa sih ?" "Jimat ?" tanya saya keheranan. "Ya, jimat atau pegangan lain yang membuat Bu Ning tahan tidak kemasukan mantra yang kami pasang" kata pengurus itu "Saya tidak punya jimat apa-apa Pak ! Saya hanya belajar untuk melakukan apa yang Tuhan ajarkan" kata saya masih belum mengerti apa yang terjadi. Pengurus itupun kemudian menceritakan secara panjang lebar, bahwa sebenarnya hari dan jam di mana saya diminta mengadap beliau, adalah waktu yang tepat untuk memasukkan kekuatan gaib untuk mengalahkan saya. Kalau sekali saja saya terpancing kemarahan atau emosi saya tidak stabil, jimat dan matra yang dipasang di atas pintu yang telah saya lewati itu akan membuat saya gila. Pengurus itupun menebak-nebak bahwa saya mempunyai ilmu yang lebih tinggi. Sebenarnya saya ingin berterus terang kalau saya tidak marah bukan karena saya orang yang tabah dan berhati malaikat, tetapi saya punya kiat untuk "mbudek" (sengaja tidak mendengarkan). Tapi kalau itu yang saya katakan, pasti pengurus itu akan tersinggung karena selama berjam-jam ia berbicara sampai mulutnya berbusa, tak ada satu katapun yang saya dengarkan. Supaya lebih keliatan Kristiani, sayapun mengatakan bahwa matra saya adalah Kidung Jemaat No. 467. Karena pengurus itu masih saja penasaran, saya mencoba menyanyikannya walaupun suara saya tak sebagus song leader di gereja. Pengurus itu malah jadi tertunduk malu "Wah, seharusnya yang menyanyikan lagu itu saya, bukan Bu Ning, soalnya yang melukai hati kawan itu khan saya" katanya malu. Saya hanya bisa tersenyum semanis mungkin sambil berkata dalam hati "Saja juga Pak ! Kelihatannya sih saya tadi sopan, tapi sebenarnya hati saya cuek dan tidak mempedulikan Bapak" Apapaun yang terjadi hari itu, saya bisa membuktikan bahwa apa yang dikatakan Raja Salomo dalam Amzal 16 : 32 yang berbunyi "Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan, orang yang menguasai dirinya, melebihi orang yang merebut kota" itu benar adanya. Selain mendapatkan penghormatan dan jamuan yang cukup mengenyangkan, pengurus itupun menawarkan diri untuk menjadi saudara saya dan berjanji akan menolong saya setiap saya menemui kesulitan selama bertugas di Pontianak dan sekitarnya. [Non-text portions of this message have been removed] -=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=- Mailing List Jesus-Net Ministry Indonesia - JNM - Daftar : [EMAIL PROTECTED] Keluar : [EMAIL PROTECTED] Posting: jesus-net@yahoogroups.com Bantuan Moderator : [EMAIL PROTECTED] -=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=- Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/jesus-net/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/