From: Yadi S. Lima 

Bolehkah Memakai Gambar Yesus untuk Mengajar?

 
Bolehkah?
Bukankah anak2 berpikir secara visual?
Bukankah ini jaman visual, bahkan animatif-grafis?
Bukankah Tuhan yang memberi kita penglihatan dan kemampuan imajinasi?
Baca artikel terlampir dan mari kita diskusikan dengan berani dan rasional! 
Gambar Yesus dan Perintah ke-2
Yadi S. Lima

"Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di 
atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. 
Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN, 
Tuhanmu, adalah Tuhan yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada 
anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang 
membenci Aku, tetapi Aku menunjukkan kasih setia kepada beribu-ribu orang, 
yaitu mereka yang mengasihi Aku dan yang berpegang pada perintah-perintah-Ku." 
(Keluaran 20: 4-6)

"Penyembahan berhala bukan hanya menyembah 'Tuhan' yang palsu, tetapi juga 
dalam penyembahan Tuhan sejati dengan menggunakan gambar."[1] (Charles Hodge)

Perintah Kedua: Perintah Pertama yang Dilanggar

"Penyembahan Tuhan sejati dengan menggunakan gambar" tidak baru dimulai sejak 
jaman komputer grafis, televisi dan teknik cetak separasi warna modern. 
Beberapa hari sejak Musa meninggalkan mereka, bangsa Israel di kaki gunung 
Sinai merasa gamang, seperti anak ayam kehilangan induknya. Tidak dapat sabar 
lagi dengan ketidak-pastian itu mereka mendesak Harun untuk membuat bagi mereka 
"Tuhan, yang akan berjalan di depan kami sebab Musa ini, orang yang telah 
memimpin kami keluar dari tanah Mesir--kami tidak tahu apa yang t! elah terjadi 
dengan dia (Kel. 32:1)." Musa yang tidak kunjung turu n gunung membuat bangsa 
itu merasa tidak aman (insecure). Motivasi penggunaan patung Tuhan oleh umat 
Israel adalah untuk menambah rasa pasti akan kehadiran dan penyertaan Tuhan. 
Bukankah motivasi yang sama seringkali kita dengar menjadi alasan penggunaan 
gambar-gambar dan patung-patung di gereja? Salib menghadirkan suasana sakral, 
membantu konsentrasi dalam doa, bahkan mengurangi rasa takut hantu kala 
sendirian di rumah; Lukisan Yesus yang sedang menggendong domba memberikan rasa 
damai di hati, lagipula bukankah sulit mengajar Sekolah Minggu tanpa gambar 
Yesus? Bahkan imam sekelas Harun pun tak berdaya menghadapi desakan umat untuk 
membuat bagi mereka gambar Tuhan. Bukankah mereka tidak meminta Harun membuat 
patung dewa Ra, atau Baal, atau Asytoret? Bukankah mereka hanya meminta Harun 
membuat simbol untuk mengingatkan mereka akan kekuatan Tuhan YHWH, bukan 
bagaimana tampang-Nya. Tentu tidak ada orang yang begitu tolol menyangka Tuhan 
Abraham, Ishak, dan Yakub adalah sebentuk lembu suci raksasa - bahkan kalau 
lembu itu terbuat dari emas! Lembu itu hanya melambangkan kekuatan Tuhan YHWH. 
Apa yang salah dengan hal itu?!

"Lalu berkatalah Harun kepada mereka: "Tanggalkanlah anting-anting emas yang 
ada pada telinga isterimu, anakmu laki-laki dan perempuan, dan bawalah semuanya 
kepadaku." (Kel. 32:2)

Dengan mengatakan hal ini kelihatannya Harun berusaha menghalangi sedapat 
mungkin keinginan bangsa Israel untuk membuat berhala (Keil&Delitzsch, 
Commentary of the OT). Menanggalkan anting-anting emas dari istri dan anak-anak 
dan memberikannya pada imam, membayar harga untuk sebuah permintaan ("You pay 
for what you've said!") dapat mengurangi desakan si perengek untuk apa yang ia 
minta. "Kau mau dibuatkan patung? Kau harus membayarnya dari kantongmu 
sendiri!" Tetapi rupanya keinginan untuk memiliki gambar dari Tuhan yang mereka 
sembah begitu kuat, seberapapun harganya, mereka membayarnya dengan rela.

"Lalu seluruh bangsa itu menanggalkan anting-anting ema! s yang ada pada 
telinga mereka dan membawanya kepada Harun." (Kel 32:3)

Harun tak dapat mengelak lagi. Ia segera menyuruh orang membuat patung lembu 
emas untuk menggambarkan Tuhan YHWH lalu menetapkan keesokan harinya sebagai 
"hari raya bagi TUHAN" (Kel. 32:5) Hari raya hasil kreasi Harun untuk 
menyenangkan hati rakyat itu akhirnya sukses menjadi hari bersenang-senang bagi 
seluruh rakyat, tetapi hal ini membuat Tuhan marah besar dan berniat 
memusnahkan mereka semua (Kel. 32:6,10). Baru saja umat Israel mendengar 
perintah kedua "Janganlah membuat bagimu patung yang menyerupai apapun . (lalu) 
sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya" (Kel. 20:4-5) dan juga 
penegasan setelahnya: "Beginilah kaukatakan kepada orang Israel: Kamu sendiri 
telah menyaksikan, bahwa Aku berbicara dengan kamu dari langit. Janganlah kamu 
membuat di samping-Ku Tuhan perak, juga Tuhan emas janganlah kamu buat bagimu." 
(Kel. 20:22-23) mereka telah mendesak Harun untuk membuat sebuah patung lembu 
emas dan sujud menyembahnya! Ini adalah suatu pembangkangan terang-terangan. 
Sekarang kita akan melihat lebih dalam mengapa Tuhan begitu benci dengan 
tindakan menggambarkan Diri-Nya dengan suatu gambar visual tertentu?

Mengapa Tuhan Membenci Pemakaian Gambar dalam Ibadah?

John Calvin mengatakan, "His glory is defiled, and his truth corruted by the 
lie, whenever he is set before our eyes in a visible form ... Therefore, to 
devise any image of God is itself impious; because his majesty is adulterated, 
and he is figured to be other than he is."[2] Bukan hanya gambaran itu tidak 
akurat sama sekali, gambar itu ! juga akan menghalangi kita untuk 'melihat' 
kemuliaan Tuhan yang sesungguhnya. Ada empat alasan bagaimana hal ini terjadi. 
Pertama, Tuhan adalah Roh (Yoh. 4:24). Roh tidak mengambil rupa apapun. 
Menunjuk suatu rupa sebagai Tuhan adalah penghujatan. Kedua, Tuhan itu tidak 
terbatas, sementara ciptaan-Nya ini terbatas. Tuhan sama sekali berbeda dengan 
ciptaan. Itu sebabnya kita tak dapat mengatakan Tuhan itu menyerupai apa. 
Apapun di bawah kolong langit maupun di atas langit tak ada yang serupa atau 
sebanding dengan Tuhan "Kepada siapakah kamu hendak menyamakan Aku, hendak 
membandingkan dan mengumpamakan Aku, sehingga kami sama?" (Yesaya 46:5). 
Ketiga, Tuhan sebenarnya telah menunjuk suatu 'gambar' untuk mewakili diri-Nya. 
Menunjuk gambar yang lain adalah pelecehan atas gambar yang telah dibuat dan 
ditetapkan-Nya sendiri secara resmi. Bayangkan jika orang berbicara mewakili 
anda tanpa ditunjuk dan sebagai akibatnya anda mendapatkan citra publik yang 
sama sekali tidak menyerupai diri anda. Ikon salib dan mahkota duri memang 
dapat menolong kita membayangkan penderitaan Kristus dan kebesaran kasih-Nya 
untuk menolong dunia berdosa, tetapi seberapa banyak salib menolong kita 
mengerti kuasa kebangkitan Kristus atau kemegahan penobatan-Nya sebagai Raja 
semesta? Gambar Yesus yang tenang dan sedang menggendong domba menolong kita 
membayangkan kesabaran dan kemanisan pribadi Tuhan kita, tetapi pernahkah anda 
bayangkan bahwa gambar yang sama membuat kita sulit membayangkan Yesus yang 
garang, yang menjungkir-balikkan meja-meja penukar uang di bait Tuhan? 
Gambar-gambar mereduksi bayangan kita pada satu-dua sifat Tuhan dan itupun 
dengan tingkat penggambaran yang seringkali kelewat dangkal atau bahkan salah 
sama sekali. "Sebuah gambar bernilai seribu kata" Slogan populer ini ada 
benarnya, tetapi seribu kata itu juga seringkali saling bertentangan. 
Kontradiksi dalam seribu kata dapat dengan cukup mudah dideteksi, tetapi seribu 
tafsir gambar yang saling berkontradiksi dapat dengan gampang saja melenggang 
masuk ke dalam rekaman batin kita dan menetap di sana (atau bahkan 
berkembang-biak!). Untuk menambah seru pestanya, orang dapat memilih tafsiran 
kesukaan dari gambar kesukaan tentang Tuhan dengan bebas tanpa merasa telah 
menghujat Tuhannya. Bayangkan betapa convenient sebuah gambar bagi pikiran kita 
untuk dipakai memproduksi berhala sebebas-bebasnya! Keempat, jika memang media 
gambar ini begitu bagusnya sehingga kita akan kehilangan banyak hal jika kita 
meniadakan media ini mengapa Tuhan membiarkan 500 tahun pertama kekristenan 
tanpa ada satupun gambar Yesus. Inilah alasan mengapa kita tidak bisa sepakat 
mengenai seperti apakah rupa Yesus itu. Karena tidak seperti kaisar-kaisar 
Romawi ataupun para filsuf Yunani, kita tak dapat menemukan patung ataupun 
lukisan Yesus yang dibuat semasa Dia hidup di dunia. Beberapa orang mungkin 
mengatakan bahwa Yesus terlalu miskin dan tidak sepenting para filsuf itu 
sehingga orang tidak membuat patung-Nya. Tapi bagaimana anda menjelaskan ribuan 
pengikut yang muncul sesudah Pentakosta tidak mencoba melukis atau mengukir 
satu bentuk berdasarkan ingatan para murid yang hidup sejaman-Nya? Saya pikir 
penjelasan yang cukup masuk akal adalah karena para murid itu sendiri tidak 
menyetujui pembuatan gambar-gambar Yesus. 

Gambar tidak hanya mengambil rupa di luar, tetapi juga di dalam benak kita. 
Tuhan melarang kita memakai jenis yang terakhir ini juga untuk membayangkan 
keberadaan-Nya. Kita cukup sering mendengar orang mengatakan, "Saya sering 
membayangkan Tuhan itu seperti ..." Titik-titiknya bisa diisi dengan "Bapak 
yang baik", "Kakek tua yang bijak" atau "Pencinta yang bergairah" Saya tidak 
sedang menentang penggunaan gambaran verbal di sini. Alkitab kita semarak 
dengan gambaran-gambaran verbal tentang Tuhan ("Akulah Gembala yang baik", 
"Akulah pintu", "Bagaikan Bapa sayang kepada anak-anaknya") tetapi 
gambaran-gambaran itu bukan untuk dibayangkan secara visual! Sama seperti 
sebuah novel yang baik biasanya akan menjadi karikatur kasar yang kurang seru 
ketika ia dijadikan film, perangkat verbal (kata-kata) untuk menggambarkan 
Tuhan akan jatuh miskin ketika direduksi menjadi lukisan-lukisan mengenai 
Tuhan, juga pun ketika lukisan itu berupa 'bayangan mental' (mental images). 

Jangan salah sangka. Saya tidak sedang menyerang seluruh lukisan-lukisan 
Alkitab. Ada lukisan-lukisan yang sangat baik mengekspresikan cerita Alkitab, 
misalnya lukisan Rembrandt tentang perumpaman Anak yang Hilang. Walaupun tentu 
saja bentuk verbal, yaitu parable yang dipakai Tuhan kita untuk menyampai kan 
kebenarannya harus diakui sangat-sangat-sangat lebih limpah - maafkan saya para 
pencinta Rembrandt. Lukisan-lukisan tentang cerita Alkitab seperti ini tentu 
sama sekali berbeda dengan lukisan-lukisan yang menggambarkan diri Tuhan 
sendiri (misalnya lukisan Penciptaan dari Michaelangelo yang menggambarkan 
Tuhan sebagai lelaki tua gendut kekar berewokan). Sekali lagi, lukisan Tuhan 
bukan hanya tidak menolong kita sama sekali untuk 'melihat' kemuliaan Tuhan, 
lukisan-lukisan itu justru menghalangi kita untuk melihat kemuliaan Tuhan yang 
sejati. 

"Lalu berfirmanlah TUHAN kepadamu dari tengah-tengah api; suara kata-kata kamu 
dengar, tetapi suatu rupa tidak kamu lihat, hanya ada suara." (Ulangan 4:12)

Tuhan yang maha tahu dan ingin membuka Diri-Nya untuk dikenal telah memilih 
sebuah media yang spesifik. Ia tidak memberikan kepada kita gambar apapun. 
Bahkan Ia melarang kita untuk membayangkan gambar apapun. Ia tidak memberi kan 
kepada kita sebuah komik ataupun sepotong! video clip. Tidak! Tuhan jelas telah 
memilih media kata-kata (verbal) untuk menyatakan Diri-Nya. Tapi tunggu dulu! 
Bagaimana dengan Yesus? Bukankah di dalam inkarnasi Anak-Nya yang Tunggal itu 
kita melihat sebuah rupa? Bukankah Yesus mengambil rupa seorang manusia? 
Masalah dari argumentasi ini adalah ia melupakan bahwa sekarang Tuhan telah 
mengangkat Tuhan Yesus naik ke Surga. Sampai Tuhan Yesus datang kembali dalam 
kemulian-Nya kita tidak melihat gambar visual apapun! Lagipula rupa Yesus 
adalah rupa yang dipilih oleh Tuhan sendiri dan bukan pilihan kita. Dan 
sekarang ini Tuhan telah memilih untuk tidak memakai media visual - setidaknya 
untuk sementara - untuk menyatakan diri-Nya. Tapi bagaimana kata-kata dapat 
menyatakan diri Tuhan di dalam jaman di mana semakin banyak orang tidak 
menghargai kata-kata? 

Kita tahu, bahwa kita berasal dari Tuhan dan seluruh dunia berada di bawah 
kuasa si jahat. 

Akan tetapi kita tahu, bahwa Anak Tuhan telah datang dan telah mengaruniakan 
pengertian kepada kita, supaya kita men! genal Yang Benar; dan kita ada di 
dalam Yang Benar, di dalam Anak-Nya Yesus Kristus. Dia adalah Tuhan yang benar 
dan hidup yang kekal. Anak-anakku, waspadalah terhadap segala berhala. (1 Yoh. 
5:19-21)

Tentu saja Yohanes yang telah menulis surat ini dengan alur logika yang begitu 
rapi tidak dengan tiba-tiba menjadi pikun lalu menyelipkan ide baru 
".waspadalah terhadap segala berhala" di akhir suratnya.[3] Kalimat pendek ini 
merupakan kesimpulan dari seluruh surat Yohanes yang pertama ini. Dalam surat 
ini Yohanes bergelut dengan gnostisisme dan hendak mempromosikan supremasi 
kasih dalam kehidupan kristiani melalui pemberitaan Injil Anak Tuhan.[4] 
Gnostisisme mengajar kan antinomianisme - orang boleh berbuat semau-maunya 
dengan dagingnya karena pada dasarnya materi memang jahat dan tidak mengenal 
Tuhan. Dalam 1 Yoh. 5:21, Yohanes tidak memperingatkan jemaatnya akan bahaya 
berhala-berhala di kuil-kuil Efesus, melainkan akan bahaya penyembahan berhala 
yang berasal dari bidat Gnostisisme ini. Anda mungkin sudah mulai berpikir, 
"Apa hubungannya ini semua dengan penyataan diri Tuhan dalam kata-kata?" 
Begini, ide dasar Gnostik yang ditentang Rasul Yohanes adalah keterpisahan jiwa 
dan tubuh, khususnya dalam pengajaran Cerinthus yang percaya bahwa Yesus 
memiliki tubuh manusia dari hasil persetubuhan Yusuf dan Maria tetapi dirasuki 
Roh Kristus ketika Ia dibaptis. Selanjutnya Roh Kristus ini meningalkan Dia 
sewaktu Ia mati. Dengan kata lain memang Tuhan tidak datang dalam rupa daging. 
Tidak ada inkarnasi. Daging tidak perlu ditebus (karena memang tidak diciptakan 
oleh Tuhan Bapa, melainkan oleh semacam 'Tuhan' yang lebih rendah). Akibatnya, 
orang hanya dapat 'mengenal dan mengalami Tuhan' melalui ritual misterius yang 
diwarnai banyak tahyul di mana 'pengetahuan yang menyelamatkan' itu ditransfer 
dari guru ke murid. Yohanes tidak setuju. Dia percaya Firman itu (yang 
diungkapkan dalam kata-kata Perjanjian Lama) kini telah menjadi daging (dengan 
frontal menohok gnostisisme pada jantungnya) dan orang-orang yang percaya bahwa 
Yesus adalah Anak Tuhan adalah saksi-saksi-Nya. Ciri-ciri mereka yang 'lahir 
dari Tuhan' ini ada di dalam daging, yaitu: mereka saling mengasihi secara 
nyata dan mereka tidak terus-menerus berkubang dalam dosa. Ciri-ciri ini 
membedakan orang percaya dengan para pengikut Cerinthus dan Nikolai. 
Singkatnya, Yohanes berpendapat bahwa penyembahan berhala dapat mengambil rupa 
ketidak-percayaan akan pekerjaan penebusan Tuhan pada alam materi ciptaan-Nya 
ini. Iman yang sejati kepada Tuhan pasti memimpin kita kepada kasih pada 
sesama. 

Saudara-saudaraku yang kekasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu 
berasal dari Tuhan; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Tuhan dan 
mengenal Tuhan. (1 Yoh. 4:7)

Komunitas orang percaya yang saling mengasihi ini adalah apa yang disebut 
Paulus sebagai 'tubuh Kristus' (1 Kor. 12:27). Secara teologis hal ini harmonis 
dengan narasi Kejadian 1:27 di mana dikatakan bahwa manusia diciptakan Tuhan 
sesuai gambar dan rupa-Nya untuk mewakili Tuhan memimpin ciptaan - alam 
material hasil karya-Nya yang baik. Manusia adalah gambar Tuhan yang kelihatan, 
yang dimaksud kan untuk menjadi icon Tuhan dalam ciptaan. Alih-alih membuat 
patung yang statis, Tuhan memakai umat manusia untuk mencitrakan diri-Nya 
secara resmi. Umat manusia adalah gambar yang ditunjuk Tuhan untuk mewakili 
diri-Nya. Tetapi kita harus ekstra hati-hati di sini. Manusia selama-lamanya 
tidak akan menjadi representasi Tuhan yang menunjuk kepada pengetahuan akan 
Tuhan (apalagi setelah kejatuhan dalam dosa!). Hal ini hanya dapat dilakukan 
oleh Yesus Kristus, eksegese Tuhan yang hidup (Yoh. 1:18). Manusia ditunjuk 
untuk memancarkan kemuliaan Tuhan secara paling utuh, tetapi pancaran kemuliaan 
itu, seberapapun terangnya, hanya akan menjadi penghalang bagi kita dari 
melihat kemuliaan Tuhan yang sesungguhnya jika kita lepaskan dari penglihatan 
akan kemuliaan Kristus sendiri sebagaimana dinyatakan dalam kata-kata verbal 
Alkitab. Jadi, bagaimana 'kata-kata' Alkitab dapat memperkenalkan manusia 
postmodern kepada Tuhan yang hidup? Kita sudah melihat dalam paparan di atas 
bahwa gambar-gambar visual hanya akan mengaburkan kita dari pengertian yang 
lebih utuh, dinamis, dan kaya sebagaimana diungkapkan Tuhan di dalam kata-kata 
Alkitab. Komunitas yang menghidupi Firman Tuhan akan menjadi 'gambaran hidup' 
di tengah-tengah dunia. Sebagaimana Tuhan merencanakan Israel menjadi 'gambaran 
hidup' bagi bangsa-bangsa di sekelilingnya, demikianlah Tuhan kini telah 
bekerja di dalam Yesus dari Nazaret untuk membangkitkan Gereja sebagai 
'gambaran hidup' Sang Terang di tengah kegelapan dunia. Alih-alih memakai 
gambar dan patung sebagai 'alat bantu mengalami kehadiran Tuhan', kita sebagai 
Gereja seharusnya menyadari panggilan kita untuk dipakai oleh Roh menjadi 'alat 
bantu mengalami kehadiran Tuhan' bagi dunia berdosa.

Keberatan-Keberatan atas Keberatan Ini

Keberatan atas sikap menentang penggunaan gambar dalam rupa apapun untuk 
menggambarkan Tuhan atau untuk beribadah mendapat banyak perlawanan. Ada tiga 
jenis keberatan yang diajukan, yaitu:

1. Penyembahan kita kepada Tuhan harus mengambil rupa tertentu. Tidak ada 
sesuatupun dalam hidup manusia yang 'bebas-rupa'. Sebagaimana penyembahan 
kepada Tuhan harus mengambil rupa moral di dalam kasih kita kepada keluarga dan 
masyarakat, tentu harus ada rupa estetis dalam penyembahan ini. 

2. Imajinasi adalah bagian dari sifat alamiah manusia sebagaimana diciptakan 
oleh Tuhan. Seharusnya natur inipun dikuduskan, didedikasikan bagi Sang 
Pencipta dalam ekspresi penyembahan, dan bukan dihindari ataupun dicap sebagai 
penyembahan berhala. 

3. Gambar-gambar dan patung-patung, baik itu berupa salib, lukisan, maupun 
gambar Yesus pada kenyataannya memang dapat membantu kita dalam penyembahan. 
Hal-hal ini membantu kita untuk berfokus pada Tuhan dan membantu anak-anak 
dalam memahami cerita-cerita tentang Yesus. Jadi, apa salahnya?

J. I. Packer menjawab ketiga keberatan ini dalam buku Knowing God[5] demikian:

1. Prinsip yang mendasari keberatan pertama dapat disetujui, tetapi harus 
diterapkan secara tepat. Seni simbolik dapat berguna dalam ibadah dalam 
berbagai cara, tetapi tetap saja Hukum ke-2 melarang kita untuk menggambarkan 
Tuhan dalam bentuk apapun! Memang kita dapat saja melukiskan Yesus, Anak Tuhan 
yang Berinkarnasi dalam rupa simbol kesempurnaan manusia pada kebudayaan yang 
bersangkutan (mis. Yesus bule, Yesus negro, Yesus mata-sipit, Yesus pake 
blangkon, dsb) dan bukannya! beranggapan Dia benar-benar memiliki tampang 
seperti itu. Jika kita benar-benar dapat menangkapnya sebagai idealisasi 
seperti sih tidak apa-apa. Masalahnya apakah setiap orang dapat melihatnya 
demikian? Bagaimana dengan orang-orang yang tidak terlalu terdidik? (padahal 
seringkali penggunaan gambar dimaksudkan untuk membantu pemahaman bagi mereka 
yang kurang pendidikan, seperti dilakukan Gereja Katolik di abad pertengahan). 
Bagaimana dengan anak-anak? ("Celakalah mereka yang menyesatkan anak-anak!"). 
Tidakkah lebih bijaksana jika kita menjauhkan pencobaan dari kehidupan kita? 

2. Seperti pada keberatan pertama, prinsip yang mendasari keberatan kedua 
inipun sebenarnya dapat kita terima. Tetapi membuat patung atau gambaran Tuhan 
bukan satu-satunya cara untuk memakai imajinasi ciptaan Tuhan untuk menyembah 
Penciptanya. Kita lebih baik memakai imajinasi kita untuk mengapresiasi 
gambaran-gambaran ­verbal dalam kitab nabi-nabi, Mazmur, dan Wahyu. Ada 
perbedaan besar dalam pemakaian gambar secara visual yang jelas-jelas dilarang 
Tuhan dalam Hukum ke-2 dengan pemakaian penggambaran secara verbal yang kita 
jumpai secara luas dipakai dalam Perjanjian Lama maupun Baru ("Perjamuan Kawin 
Anak Domba", "TUHAN adalah gembalaku", "Israel seperti kota-kota yang 
ditinggalkan orang", "Yerusalem yang baru turun dari surga bagaikan pengantin") 

3. Penggunaan gambar secara simbolik dapat dengan cepat berubah menjadi 
penggunaan gambar secara representatif. Kita rentan terhadap kecenderungan 
seperti ini sebagaimana disaksikan oleh degradasi penyembahan gereja Katolik 
abad pertengahan yang dicemari banyak tahyul dan kesimpang-siuran ketika mereka 
memakai banyak gambar dan patung dalam pe! nyembahan. [YSL]




--------------------------------------------------------------------------------



[1] J.I. Packer, Knowing God (London: Hodder&Stoughton, 1973, 1993) hal. 48.

[2] Ibid, hal. 49-50. Baca juga argumentasi-argumentasi Calvin yang sangat kuat 
dan alkitabiah dalam Institutes of Christian Religion Buku ke-1, bab 10! -12.

[3] John Davies, "The Second Comandment" dalam Love Rules: The Ten Comandments 
for the 21st Century (Melbourne: The Church and Nation Comitee, 2004) hal. 30.

[4] Irenaeus mengatakan bahwa surat Yohanes yang pertama bertujuan untuk 
'menghapuskan kesalahan yang disebar-luaskan oleh Cerinthus dan pendahulunya, 
yaitu para pengikut Nikolai.' David Smith, "The Epistles of John" dalam The 
Expositor's Greek Testament, Vol. V (Grand Rapids: Eerdmans, 2002) hal. 156-157.

[5] J.I. Packer, Knowing God (London: Hodder&Stoughton, 1973, 1993) hal. 55-56.
.
 

Kirim email ke