From: Yadi S. Lima Bolehkah Memakai Gambar Yesus untuk Mengajar?
Bolehkah? Bukankah anak2 berpikir secara visual? Bukankah ini jaman visual, bahkan animatif-grafis? Bukankah Tuhan yang memberi kita penglihatan dan kemampuan imajinasi? Baca artikel terlampir dan mari kita diskusikan dengan berani dan rasional! Gambar Yesus dan Perintah ke-2 Yadi S. Lima "Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN, Tuhanmu, adalah Tuhan yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku, tetapi Aku menunjukkan kasih setia kepada beribu-ribu orang, yaitu mereka yang mengasihi Aku dan yang berpegang pada perintah-perintah-Ku." (Keluaran 20: 4-6) "Penyembahan berhala bukan hanya menyembah 'Tuhan' yang palsu, tetapi juga dalam penyembahan Tuhan sejati dengan menggunakan gambar."[1] (Charles Hodge) Perintah Kedua: Perintah Pertama yang Dilanggar "Penyembahan Tuhan sejati dengan menggunakan gambar" tidak baru dimulai sejak jaman komputer grafis, televisi dan teknik cetak separasi warna modern. Beberapa hari sejak Musa meninggalkan mereka, bangsa Israel di kaki gunung Sinai merasa gamang, seperti anak ayam kehilangan induknya. Tidak dapat sabar lagi dengan ketidak-pastian itu mereka mendesak Harun untuk membuat bagi mereka "Tuhan, yang akan berjalan di depan kami sebab Musa ini, orang yang telah memimpin kami keluar dari tanah Mesir--kami tidak tahu apa yang t! elah terjadi dengan dia (Kel. 32:1)." Musa yang tidak kunjung turu n gunung membuat bangsa itu merasa tidak aman (insecure). Motivasi penggunaan patung Tuhan oleh umat Israel adalah untuk menambah rasa pasti akan kehadiran dan penyertaan Tuhan. Bukankah motivasi yang sama seringkali kita dengar menjadi alasan penggunaan gambar-gambar dan patung-patung di gereja? Salib menghadirkan suasana sakral, membantu konsentrasi dalam doa, bahkan mengurangi rasa takut hantu kala sendirian di rumah; Lukisan Yesus yang sedang menggendong domba memberikan rasa damai di hati, lagipula bukankah sulit mengajar Sekolah Minggu tanpa gambar Yesus? Bahkan imam sekelas Harun pun tak berdaya menghadapi desakan umat untuk membuat bagi mereka gambar Tuhan. Bukankah mereka tidak meminta Harun membuat patung dewa Ra, atau Baal, atau Asytoret? Bukankah mereka hanya meminta Harun membuat simbol untuk mengingatkan mereka akan kekuatan Tuhan YHWH, bukan bagaimana tampang-Nya. Tentu tidak ada orang yang begitu tolol menyangka Tuhan Abraham, Ishak, dan Yakub adalah sebentuk lembu suci raksasa - bahkan kalau lembu itu terbuat dari emas! Lembu itu hanya melambangkan kekuatan Tuhan YHWH. Apa yang salah dengan hal itu?! "Lalu berkatalah Harun kepada mereka: "Tanggalkanlah anting-anting emas yang ada pada telinga isterimu, anakmu laki-laki dan perempuan, dan bawalah semuanya kepadaku." (Kel. 32:2) Dengan mengatakan hal ini kelihatannya Harun berusaha menghalangi sedapat mungkin keinginan bangsa Israel untuk membuat berhala (Keil&Delitzsch, Commentary of the OT). Menanggalkan anting-anting emas dari istri dan anak-anak dan memberikannya pada imam, membayar harga untuk sebuah permintaan ("You pay for what you've said!") dapat mengurangi desakan si perengek untuk apa yang ia minta. "Kau mau dibuatkan patung? Kau harus membayarnya dari kantongmu sendiri!" Tetapi rupanya keinginan untuk memiliki gambar dari Tuhan yang mereka sembah begitu kuat, seberapapun harganya, mereka membayarnya dengan rela. "Lalu seluruh bangsa itu menanggalkan anting-anting ema! s yang ada pada telinga mereka dan membawanya kepada Harun." (Kel 32:3) Harun tak dapat mengelak lagi. Ia segera menyuruh orang membuat patung lembu emas untuk menggambarkan Tuhan YHWH lalu menetapkan keesokan harinya sebagai "hari raya bagi TUHAN" (Kel. 32:5) Hari raya hasil kreasi Harun untuk menyenangkan hati rakyat itu akhirnya sukses menjadi hari bersenang-senang bagi seluruh rakyat, tetapi hal ini membuat Tuhan marah besar dan berniat memusnahkan mereka semua (Kel. 32:6,10). Baru saja umat Israel mendengar perintah kedua "Janganlah membuat bagimu patung yang menyerupai apapun . (lalu) sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya" (Kel. 20:4-5) dan juga penegasan setelahnya: "Beginilah kaukatakan kepada orang Israel: Kamu sendiri telah menyaksikan, bahwa Aku berbicara dengan kamu dari langit. Janganlah kamu membuat di samping-Ku Tuhan perak, juga Tuhan emas janganlah kamu buat bagimu." (Kel. 20:22-23) mereka telah mendesak Harun untuk membuat sebuah patung lembu emas dan sujud menyembahnya! Ini adalah suatu pembangkangan terang-terangan. Sekarang kita akan melihat lebih dalam mengapa Tuhan begitu benci dengan tindakan menggambarkan Diri-Nya dengan suatu gambar visual tertentu? Mengapa Tuhan Membenci Pemakaian Gambar dalam Ibadah? John Calvin mengatakan, "His glory is defiled, and his truth corruted by the lie, whenever he is set before our eyes in a visible form ... Therefore, to devise any image of God is itself impious; because his majesty is adulterated, and he is figured to be other than he is."[2] Bukan hanya gambaran itu tidak akurat sama sekali, gambar itu ! juga akan menghalangi kita untuk 'melihat' kemuliaan Tuhan yang sesungguhnya. Ada empat alasan bagaimana hal ini terjadi. Pertama, Tuhan adalah Roh (Yoh. 4:24). Roh tidak mengambil rupa apapun. Menunjuk suatu rupa sebagai Tuhan adalah penghujatan. Kedua, Tuhan itu tidak terbatas, sementara ciptaan-Nya ini terbatas. Tuhan sama sekali berbeda dengan ciptaan. Itu sebabnya kita tak dapat mengatakan Tuhan itu menyerupai apa. Apapun di bawah kolong langit maupun di atas langit tak ada yang serupa atau sebanding dengan Tuhan "Kepada siapakah kamu hendak menyamakan Aku, hendak membandingkan dan mengumpamakan Aku, sehingga kami sama?" (Yesaya 46:5). Ketiga, Tuhan sebenarnya telah menunjuk suatu 'gambar' untuk mewakili diri-Nya. Menunjuk gambar yang lain adalah pelecehan atas gambar yang telah dibuat dan ditetapkan-Nya sendiri secara resmi. Bayangkan jika orang berbicara mewakili anda tanpa ditunjuk dan sebagai akibatnya anda mendapatkan citra publik yang sama sekali tidak menyerupai diri anda. Ikon salib dan mahkota duri memang dapat menolong kita membayangkan penderitaan Kristus dan kebesaran kasih-Nya untuk menolong dunia berdosa, tetapi seberapa banyak salib menolong kita mengerti kuasa kebangkitan Kristus atau kemegahan penobatan-Nya sebagai Raja semesta? Gambar Yesus yang tenang dan sedang menggendong domba menolong kita membayangkan kesabaran dan kemanisan pribadi Tuhan kita, tetapi pernahkah anda bayangkan bahwa gambar yang sama membuat kita sulit membayangkan Yesus yang garang, yang menjungkir-balikkan meja-meja penukar uang di bait Tuhan? Gambar-gambar mereduksi bayangan kita pada satu-dua sifat Tuhan dan itupun dengan tingkat penggambaran yang seringkali kelewat dangkal atau bahkan salah sama sekali. "Sebuah gambar bernilai seribu kata" Slogan populer ini ada benarnya, tetapi seribu kata itu juga seringkali saling bertentangan. Kontradiksi dalam seribu kata dapat dengan cukup mudah dideteksi, tetapi seribu tafsir gambar yang saling berkontradiksi dapat dengan gampang saja melenggang masuk ke dalam rekaman batin kita dan menetap di sana (atau bahkan berkembang-biak!). Untuk menambah seru pestanya, orang dapat memilih tafsiran kesukaan dari gambar kesukaan tentang Tuhan dengan bebas tanpa merasa telah menghujat Tuhannya. Bayangkan betapa convenient sebuah gambar bagi pikiran kita untuk dipakai memproduksi berhala sebebas-bebasnya! Keempat, jika memang media gambar ini begitu bagusnya sehingga kita akan kehilangan banyak hal jika kita meniadakan media ini mengapa Tuhan membiarkan 500 tahun pertama kekristenan tanpa ada satupun gambar Yesus. Inilah alasan mengapa kita tidak bisa sepakat mengenai seperti apakah rupa Yesus itu. Karena tidak seperti kaisar-kaisar Romawi ataupun para filsuf Yunani, kita tak dapat menemukan patung ataupun lukisan Yesus yang dibuat semasa Dia hidup di dunia. Beberapa orang mungkin mengatakan bahwa Yesus terlalu miskin dan tidak sepenting para filsuf itu sehingga orang tidak membuat patung-Nya. Tapi bagaimana anda menjelaskan ribuan pengikut yang muncul sesudah Pentakosta tidak mencoba melukis atau mengukir satu bentuk berdasarkan ingatan para murid yang hidup sejaman-Nya? Saya pikir penjelasan yang cukup masuk akal adalah karena para murid itu sendiri tidak menyetujui pembuatan gambar-gambar Yesus. Gambar tidak hanya mengambil rupa di luar, tetapi juga di dalam benak kita. Tuhan melarang kita memakai jenis yang terakhir ini juga untuk membayangkan keberadaan-Nya. Kita cukup sering mendengar orang mengatakan, "Saya sering membayangkan Tuhan itu seperti ..." Titik-titiknya bisa diisi dengan "Bapak yang baik", "Kakek tua yang bijak" atau "Pencinta yang bergairah" Saya tidak sedang menentang penggunaan gambaran verbal di sini. Alkitab kita semarak dengan gambaran-gambaran verbal tentang Tuhan ("Akulah Gembala yang baik", "Akulah pintu", "Bagaikan Bapa sayang kepada anak-anaknya") tetapi gambaran-gambaran itu bukan untuk dibayangkan secara visual! Sama seperti sebuah novel yang baik biasanya akan menjadi karikatur kasar yang kurang seru ketika ia dijadikan film, perangkat verbal (kata-kata) untuk menggambarkan Tuhan akan jatuh miskin ketika direduksi menjadi lukisan-lukisan mengenai Tuhan, juga pun ketika lukisan itu berupa 'bayangan mental' (mental images). Jangan salah sangka. Saya tidak sedang menyerang seluruh lukisan-lukisan Alkitab. Ada lukisan-lukisan yang sangat baik mengekspresikan cerita Alkitab, misalnya lukisan Rembrandt tentang perumpaman Anak yang Hilang. Walaupun tentu saja bentuk verbal, yaitu parable yang dipakai Tuhan kita untuk menyampai kan kebenarannya harus diakui sangat-sangat-sangat lebih limpah - maafkan saya para pencinta Rembrandt. Lukisan-lukisan tentang cerita Alkitab seperti ini tentu sama sekali berbeda dengan lukisan-lukisan yang menggambarkan diri Tuhan sendiri (misalnya lukisan Penciptaan dari Michaelangelo yang menggambarkan Tuhan sebagai lelaki tua gendut kekar berewokan). Sekali lagi, lukisan Tuhan bukan hanya tidak menolong kita sama sekali untuk 'melihat' kemuliaan Tuhan, lukisan-lukisan itu justru menghalangi kita untuk melihat kemuliaan Tuhan yang sejati. "Lalu berfirmanlah TUHAN kepadamu dari tengah-tengah api; suara kata-kata kamu dengar, tetapi suatu rupa tidak kamu lihat, hanya ada suara." (Ulangan 4:12) Tuhan yang maha tahu dan ingin membuka Diri-Nya untuk dikenal telah memilih sebuah media yang spesifik. Ia tidak memberikan kepada kita gambar apapun. Bahkan Ia melarang kita untuk membayangkan gambar apapun. Ia tidak memberi kan kepada kita sebuah komik ataupun sepotong! video clip. Tidak! Tuhan jelas telah memilih media kata-kata (verbal) untuk menyatakan Diri-Nya. Tapi tunggu dulu! Bagaimana dengan Yesus? Bukankah di dalam inkarnasi Anak-Nya yang Tunggal itu kita melihat sebuah rupa? Bukankah Yesus mengambil rupa seorang manusia? Masalah dari argumentasi ini adalah ia melupakan bahwa sekarang Tuhan telah mengangkat Tuhan Yesus naik ke Surga. Sampai Tuhan Yesus datang kembali dalam kemulian-Nya kita tidak melihat gambar visual apapun! Lagipula rupa Yesus adalah rupa yang dipilih oleh Tuhan sendiri dan bukan pilihan kita. Dan sekarang ini Tuhan telah memilih untuk tidak memakai media visual - setidaknya untuk sementara - untuk menyatakan diri-Nya. Tapi bagaimana kata-kata dapat menyatakan diri Tuhan di dalam jaman di mana semakin banyak orang tidak menghargai kata-kata? Kita tahu, bahwa kita berasal dari Tuhan dan seluruh dunia berada di bawah kuasa si jahat. Akan tetapi kita tahu, bahwa Anak Tuhan telah datang dan telah mengaruniakan pengertian kepada kita, supaya kita men! genal Yang Benar; dan kita ada di dalam Yang Benar, di dalam Anak-Nya Yesus Kristus. Dia adalah Tuhan yang benar dan hidup yang kekal. Anak-anakku, waspadalah terhadap segala berhala. (1 Yoh. 5:19-21) Tentu saja Yohanes yang telah menulis surat ini dengan alur logika yang begitu rapi tidak dengan tiba-tiba menjadi pikun lalu menyelipkan ide baru ".waspadalah terhadap segala berhala" di akhir suratnya.[3] Kalimat pendek ini merupakan kesimpulan dari seluruh surat Yohanes yang pertama ini. Dalam surat ini Yohanes bergelut dengan gnostisisme dan hendak mempromosikan supremasi kasih dalam kehidupan kristiani melalui pemberitaan Injil Anak Tuhan.[4] Gnostisisme mengajar kan antinomianisme - orang boleh berbuat semau-maunya dengan dagingnya karena pada dasarnya materi memang jahat dan tidak mengenal Tuhan. Dalam 1 Yoh. 5:21, Yohanes tidak memperingatkan jemaatnya akan bahaya berhala-berhala di kuil-kuil Efesus, melainkan akan bahaya penyembahan berhala yang berasal dari bidat Gnostisisme ini. Anda mungkin sudah mulai berpikir, "Apa hubungannya ini semua dengan penyataan diri Tuhan dalam kata-kata?" Begini, ide dasar Gnostik yang ditentang Rasul Yohanes adalah keterpisahan jiwa dan tubuh, khususnya dalam pengajaran Cerinthus yang percaya bahwa Yesus memiliki tubuh manusia dari hasil persetubuhan Yusuf dan Maria tetapi dirasuki Roh Kristus ketika Ia dibaptis. Selanjutnya Roh Kristus ini meningalkan Dia sewaktu Ia mati. Dengan kata lain memang Tuhan tidak datang dalam rupa daging. Tidak ada inkarnasi. Daging tidak perlu ditebus (karena memang tidak diciptakan oleh Tuhan Bapa, melainkan oleh semacam 'Tuhan' yang lebih rendah). Akibatnya, orang hanya dapat 'mengenal dan mengalami Tuhan' melalui ritual misterius yang diwarnai banyak tahyul di mana 'pengetahuan yang menyelamatkan' itu ditransfer dari guru ke murid. Yohanes tidak setuju. Dia percaya Firman itu (yang diungkapkan dalam kata-kata Perjanjian Lama) kini telah menjadi daging (dengan frontal menohok gnostisisme pada jantungnya) dan orang-orang yang percaya bahwa Yesus adalah Anak Tuhan adalah saksi-saksi-Nya. Ciri-ciri mereka yang 'lahir dari Tuhan' ini ada di dalam daging, yaitu: mereka saling mengasihi secara nyata dan mereka tidak terus-menerus berkubang dalam dosa. Ciri-ciri ini membedakan orang percaya dengan para pengikut Cerinthus dan Nikolai. Singkatnya, Yohanes berpendapat bahwa penyembahan berhala dapat mengambil rupa ketidak-percayaan akan pekerjaan penebusan Tuhan pada alam materi ciptaan-Nya ini. Iman yang sejati kepada Tuhan pasti memimpin kita kepada kasih pada sesama. Saudara-saudaraku yang kekasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Tuhan; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Tuhan dan mengenal Tuhan. (1 Yoh. 4:7) Komunitas orang percaya yang saling mengasihi ini adalah apa yang disebut Paulus sebagai 'tubuh Kristus' (1 Kor. 12:27). Secara teologis hal ini harmonis dengan narasi Kejadian 1:27 di mana dikatakan bahwa manusia diciptakan Tuhan sesuai gambar dan rupa-Nya untuk mewakili Tuhan memimpin ciptaan - alam material hasil karya-Nya yang baik. Manusia adalah gambar Tuhan yang kelihatan, yang dimaksud kan untuk menjadi icon Tuhan dalam ciptaan. Alih-alih membuat patung yang statis, Tuhan memakai umat manusia untuk mencitrakan diri-Nya secara resmi. Umat manusia adalah gambar yang ditunjuk Tuhan untuk mewakili diri-Nya. Tetapi kita harus ekstra hati-hati di sini. Manusia selama-lamanya tidak akan menjadi representasi Tuhan yang menunjuk kepada pengetahuan akan Tuhan (apalagi setelah kejatuhan dalam dosa!). Hal ini hanya dapat dilakukan oleh Yesus Kristus, eksegese Tuhan yang hidup (Yoh. 1:18). Manusia ditunjuk untuk memancarkan kemuliaan Tuhan secara paling utuh, tetapi pancaran kemuliaan itu, seberapapun terangnya, hanya akan menjadi penghalang bagi kita dari melihat kemuliaan Tuhan yang sesungguhnya jika kita lepaskan dari penglihatan akan kemuliaan Kristus sendiri sebagaimana dinyatakan dalam kata-kata verbal Alkitab. Jadi, bagaimana 'kata-kata' Alkitab dapat memperkenalkan manusia postmodern kepada Tuhan yang hidup? Kita sudah melihat dalam paparan di atas bahwa gambar-gambar visual hanya akan mengaburkan kita dari pengertian yang lebih utuh, dinamis, dan kaya sebagaimana diungkapkan Tuhan di dalam kata-kata Alkitab. Komunitas yang menghidupi Firman Tuhan akan menjadi 'gambaran hidup' di tengah-tengah dunia. Sebagaimana Tuhan merencanakan Israel menjadi 'gambaran hidup' bagi bangsa-bangsa di sekelilingnya, demikianlah Tuhan kini telah bekerja di dalam Yesus dari Nazaret untuk membangkitkan Gereja sebagai 'gambaran hidup' Sang Terang di tengah kegelapan dunia. Alih-alih memakai gambar dan patung sebagai 'alat bantu mengalami kehadiran Tuhan', kita sebagai Gereja seharusnya menyadari panggilan kita untuk dipakai oleh Roh menjadi 'alat bantu mengalami kehadiran Tuhan' bagi dunia berdosa. Keberatan-Keberatan atas Keberatan Ini Keberatan atas sikap menentang penggunaan gambar dalam rupa apapun untuk menggambarkan Tuhan atau untuk beribadah mendapat banyak perlawanan. Ada tiga jenis keberatan yang diajukan, yaitu: 1. Penyembahan kita kepada Tuhan harus mengambil rupa tertentu. Tidak ada sesuatupun dalam hidup manusia yang 'bebas-rupa'. Sebagaimana penyembahan kepada Tuhan harus mengambil rupa moral di dalam kasih kita kepada keluarga dan masyarakat, tentu harus ada rupa estetis dalam penyembahan ini. 2. Imajinasi adalah bagian dari sifat alamiah manusia sebagaimana diciptakan oleh Tuhan. Seharusnya natur inipun dikuduskan, didedikasikan bagi Sang Pencipta dalam ekspresi penyembahan, dan bukan dihindari ataupun dicap sebagai penyembahan berhala. 3. Gambar-gambar dan patung-patung, baik itu berupa salib, lukisan, maupun gambar Yesus pada kenyataannya memang dapat membantu kita dalam penyembahan. Hal-hal ini membantu kita untuk berfokus pada Tuhan dan membantu anak-anak dalam memahami cerita-cerita tentang Yesus. Jadi, apa salahnya? J. I. Packer menjawab ketiga keberatan ini dalam buku Knowing God[5] demikian: 1. Prinsip yang mendasari keberatan pertama dapat disetujui, tetapi harus diterapkan secara tepat. Seni simbolik dapat berguna dalam ibadah dalam berbagai cara, tetapi tetap saja Hukum ke-2 melarang kita untuk menggambarkan Tuhan dalam bentuk apapun! Memang kita dapat saja melukiskan Yesus, Anak Tuhan yang Berinkarnasi dalam rupa simbol kesempurnaan manusia pada kebudayaan yang bersangkutan (mis. Yesus bule, Yesus negro, Yesus mata-sipit, Yesus pake blangkon, dsb) dan bukannya! beranggapan Dia benar-benar memiliki tampang seperti itu. Jika kita benar-benar dapat menangkapnya sebagai idealisasi seperti sih tidak apa-apa. Masalahnya apakah setiap orang dapat melihatnya demikian? Bagaimana dengan orang-orang yang tidak terlalu terdidik? (padahal seringkali penggunaan gambar dimaksudkan untuk membantu pemahaman bagi mereka yang kurang pendidikan, seperti dilakukan Gereja Katolik di abad pertengahan). Bagaimana dengan anak-anak? ("Celakalah mereka yang menyesatkan anak-anak!"). Tidakkah lebih bijaksana jika kita menjauhkan pencobaan dari kehidupan kita? 2. Seperti pada keberatan pertama, prinsip yang mendasari keberatan kedua inipun sebenarnya dapat kita terima. Tetapi membuat patung atau gambaran Tuhan bukan satu-satunya cara untuk memakai imajinasi ciptaan Tuhan untuk menyembah Penciptanya. Kita lebih baik memakai imajinasi kita untuk mengapresiasi gambaran-gambaran verbal dalam kitab nabi-nabi, Mazmur, dan Wahyu. Ada perbedaan besar dalam pemakaian gambar secara visual yang jelas-jelas dilarang Tuhan dalam Hukum ke-2 dengan pemakaian penggambaran secara verbal yang kita jumpai secara luas dipakai dalam Perjanjian Lama maupun Baru ("Perjamuan Kawin Anak Domba", "TUHAN adalah gembalaku", "Israel seperti kota-kota yang ditinggalkan orang", "Yerusalem yang baru turun dari surga bagaikan pengantin") 3. Penggunaan gambar secara simbolik dapat dengan cepat berubah menjadi penggunaan gambar secara representatif. Kita rentan terhadap kecenderungan seperti ini sebagaimana disaksikan oleh degradasi penyembahan gereja Katolik abad pertengahan yang dicemari banyak tahyul dan kesimpang-siuran ketika mereka memakai banyak gambar dan patung dalam pe! nyembahan. [YSL] -------------------------------------------------------------------------------- [1] J.I. Packer, Knowing God (London: Hodder&Stoughton, 1973, 1993) hal. 48. [2] Ibid, hal. 49-50. Baca juga argumentasi-argumentasi Calvin yang sangat kuat dan alkitabiah dalam Institutes of Christian Religion Buku ke-1, bab 10! -12. [3] John Davies, "The Second Comandment" dalam Love Rules: The Ten Comandments for the 21st Century (Melbourne: The Church and Nation Comitee, 2004) hal. 30. [4] Irenaeus mengatakan bahwa surat Yohanes yang pertama bertujuan untuk 'menghapuskan kesalahan yang disebar-luaskan oleh Cerinthus dan pendahulunya, yaitu para pengikut Nikolai.' David Smith, "The Epistles of John" dalam The Expositor's Greek Testament, Vol. V (Grand Rapids: Eerdmans, 2002) hal. 156-157. [5] J.I. Packer, Knowing God (London: Hodder&Stoughton, 1973, 1993) hal. 55-56. .