KEADILAN ALLAH   
  oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.
   
   
   
  Alkitab secara eksplisit mengajarkan bahwa Allah adalah adil. Ulangan 32:4 
“Gunung Batu, yang pekerjaan-Nya sempurna, karena segala jalan-Nya adil, Allah 
yang setia, dengan tiada kecurangan, adil dan benar Dia”. Dalam Mazmur 7:12 
Allah disebut sebagai Hakim yang adil. Bahkan TUHAN sendiri mengklaim sebagai 
Allah yang adil (Yes.. 45:21b). Dalam situasi sulit yang dihadapi bangsa Yehuda 
di pembuangan, Daniel tetap mengakui bahwa Allah adalah adil (Dan. 9:14). 
Keadilan ini bahkan seharusnya menjadi dasar kebahagiaan bagi mereka yang 
memantikan Allah (Yes.. 30:18b). 
   
  Walaupun keadilan Allah dinyatakan secara jelas dalam Alkitab, namun kita 
kadangkala meragukan hal ini. Ayub pernah menganggap Allah telah bertindak yang 
tidak adil terhadap dirinya (19:6). Asaf pernah mempertanyakan keadilan Allah 
(Mzm. 73), begitu pula dengan Habakuk (Hab. 1:2-4). 
   
  Pernahkah kita memikirkan mengapa Yakobus akhirnya mati dalam penjara (Kis. 
12:2), sedangkan Petrus dan Paulus dibebaskan (Kis. 12:7-10; 25-33)? Apakah 
kita pernah melihat seorang ayah yang sangat dicintai dan dibutuhkan oleh 
anak-anaknya yang masih kecil ternyata meninggal dunia, sedangkan ayah lain 
yang kurang dikasihi dan dibutuhkan anak-anaknya malah berumur panjang? 
Pernahkah kita iri dengan orang lain yang lebih sukses daripada kita padahal 
orang itu tidak mengasihi Allah? Bukankah kita sering mendengar kesaksian ada 
orang Kristen yang sakit kanker tapi disembuhkan Tuhan secara ajaib sedangkan 
anggota keluarga kita yang juga sama-sama mengasihi Tuhan ternyata mati karena 
penyakit yang sama? Pertanyaan seperti ini tentu saja masih dapat diperpanjang 
lagi. Kita semua – atau paling tidak sebagian besar dari kita - pernah 
meragukan keadilan Allah.
   
  Apakah Allah kadangkala adil dan di saat lain Dia tidak? Apakah keadilan 
Allah itu? Bagaimana kita meresponi situasi hidup kita yang membuat kita 
kesulitan melihat keadilan Allah?
   
   
  Konsep yang Salah Tentang Keadilan
  Kata “keadilan” pasti sudah tidak asing lagi di telinga kita. Kita sering 
mendengar atau mengucapkan kata ini. Begitu akrabnya kata ini, sampai-sampai 
kita sering kali merasa tidak perlu untuk mendefinisikan lagi kata ini. Kita 
menganggap arti kata ini sudah sedemikian jelas.
   
  Sikap di atas – sekalipun merupakan hal yang sangat umum – harus dihindari. 
Para filsuf sekelas Aristoteles pun bergumul dengan arti kata ini. Orang yang 
tidak mau mendalami arti kata “keadilan” justru sering kali terjebak pada 
konsep yang salah. Salah satu yang paling umum dan penting adalah anggapan 
bahwa keadilan berarti sama rata. Jika ada dua orang, maka masing-masing berhak 
mendapatkan bagian yang sama persis.
   
  Ketika saya menggumuli hal ini, saya yakin bahwa permasalahan utama bukan 
terletak pada kesalahpahaman konsep, tetapi inkonsistensi konsep. Untuk 
memperjelas poin ini, saya akan memberikan sebuah ilustrasi sederhana: apakah 
adil kalau seorang tukang becak (maaf, saya tidak bermaksud merendahkan 
pekerjaan ini) yang bekerja keras selama 12 jam sehari ternyata mendapat 
penghasilan yang jauh lebih kecil daripada seorang direktur dengan jam kerja 
yang lebih sedikit? Kita pasti akan setuju bahwa hal ini tetap adil, karena 
ditektur memiliki kelebihan-kelebihan lain yang tidak dimiliki oleh tukang 
becak. Jika kita mengakui bahwa kasus tersebut tetap adil, maka sebenarnya kita 
sudah menyadari bahwa keadilan tidak berarti sama rata. Lebih jauh, kita perlu 
menyadari bahwa tidak ada dua orang yang sama secara persis, sehingga akan 
menjadi tidak adil (berdasarkan konsep yang salah) apabila keduanya mendapat 
bagian yang sama persis. Dengan kata lain, (kesalahan)konsep tentang keadilan
 sebagai kesamarataan tidak bisa dihidupi secara konsisten.
   
  Sayangnya, konsep di atas justru sering kali menyulitkan kita untuk memahami 
keadilan Allah. Kita cenderung menuntut Allah memperlakukan semua orang secara 
sama. Jika Allah melakukan tindakan yang berbeda, maka kita menuduh Dia telah 
bertindak secara tidak adil.
   
   
  Apa sih Keadilan itu?
  Alkitab tidak memberikan definisi yang eksplisit untuk kata “keadilan”. Kata 
ini muncul berkali-kali tanpa mendapat penjelasan. Saya akan menjelaskan kata 
ini dengan memberikan ilustrasi sebagai berikut:
  (1)         Seandainya seorang pemimpin perusahaan memilih keponakannya untuk 
bekerja di perusahaannya, sedangkan ada pelamar lain yang lebih kompeten dari 
keponakannya, apakah tindakan pemimpin ini dapat dikategorikan adil?
  (2)       Bagaimana jika keponakan itu memiliki kompetensi yang sama dengan 
pelamar lain?
  (3)       Bagaimana jika menurut aturan perusahaan tidak boleh ada dua orang 
yang memiliki kekerabatan dapat bekerja di perusahaan itu?
  (4)       Bagaimana jika pemimpin itu mengubah peraturan yang lama lalu 
menerima keponakannya?
   
  Apa pun jawaban kita terhadap deretan kasus di atas, kita pasti akan 
menghubungkan keadilan dengan tiga aspek: (1) hak dari penerima; (2) hak dari 
pemberi; (3) kesesuaian dengan aturan tertentu. Tiga hal ini memang merupakan 
kriteria untuk menilai apakah suatu tindakan disebut adil atau tidak. 
Berdasarkan tiga hal ini, mari kita pelajari keadilan Allah dalam hidup kita.
   
  Pertama, hak penerima (kita). Apakah Allah memiliki kewajiban untuk memberi 
kita sesuatu? Pasti tidak! Roma 11:35 “atau siapakah yang pernah memberikan 
sesuatu kepada-Nya, sehingga Ia harus menggantikannya?”. Jika Allah harus 
memberi, maka pemberian-Nya itu tidak dapat disebut kasih atau anugerah. 
Pemberian seperti itu lebih tepat disebut sebagai hak atau upah. Para theolog 
bahkan menyebut kebaikan Allah dalam memberikan hujan atau hal baik lainnya 
(Mat. 5:45) kepada semua manusia sebagai anugerah umum, yang menyiratkan bahwa 
semua ini sebenarnya tidak layak diterima oleh manusia.
   
  Salah satu kesulitan untuk menerima kebenaran di atas biasanya berkaitan 
dengan konsep yang salah tentang kasih Allah. Sebagian orang berpikir bahwa 
“Allah adalah kasih” (1Yoh. 4:8, 16) berarti “Ia harus mengasihi semua orang 
dengan cara yang sama”. Mereka berpendapat bahwa kalau Allah tidak melakukan 
ini, maka Dia tidak dapat disebut sebagai Allah yang mengasihi (karena Ia tidak 
memiliki objek kasih). Pendapat ini tidak dapat dibenarkan. Sekalipun tidak ada 
manusia di bumi ini, kasih Allah tetap sempurna karena dalam diri Tritunggal 
terdapat jalinan kasih yang kekal (Yoh. 1:18; 17:24).
   
  Dalam hal keselamatan pun berlaku prinsip yang sama. Dalam kehendak kekal-Nya 
yang berdaulat Allah telah memilih sebagian orang untuk diselamatkan (Ef. 
1:4-11; bdk. Kis. 13:48). Kita cenderung menolak kebenaran ini dengan alasan 
bahwa Allah telah bertindak tidak adil terhadap mereka yang tidak dipilih. 
Keberatan ini jelas salah. Semua manusia sudah berdosa (Rm. 3:23) dan layak 
untuk mendapatkan maut (Rm. 6:23). Allah tidak harus memilih seorang pun. Jika 
tidak demikian maka keselamatan kita bukanlah anugerah. Ketika Allah memutuskan 
untuk memilih sebagian orang, maka mereka ini menerima anugerah, sedangkan 
mereka yang tidak dipilih mendapatkan keadilan (jika Allah tidak memilih siapa 
pun toh mereka juga pasti binasa!).
   
  Kedua, hak pemberi (Allah). Jika seseorang memberi uang Rp. 3 juta/bulan 
kepada orang lain yang dia kasihi (misalnya anak) tanpa menuntut anaknya 
melakukan apa pun, tetapi hanya memberi Rp. 2 juta kepada karyawannya yang 
bekerja keras, apakah tindakan ini adil? Saya yakin kita semua akan menjawab 
adil, karena orang itu memang punya hak atas uangnya dan dia tidak merampas hak 
dari karyawannya. Hal yang sama dapat kita terapkan pada Allah. Dia memang 
memiliki hak penuh atas hidup kita. Dia penjunan, sedangkan kita adalah tanah 
liat. Dia bebas membuat kita menjadi bejana yang mulia atau yang kurang mulia 
(Rm. 9:21). Dia berhak memilih Ishak dan bukan Ismael, Yakub dan bukan Esau 
(Rm. 9:7-13). Dia tidak menebus para malaikat yang jatuh, tetapi keturunan 
Abraham; hal ini dilakukan karena kasih-Nya (Ibr. 2:16). Pendeknya, Dia berhak 
memberi belas-kasihan atau kemurahan kepada siapa saja yang Dia kehendaki (Rm. 
9:14-15).
   
  Ayub pernah bergumul dengan kebenaran di atas. Sebagai orang yang benar dan 
adil (ay. 1:1), dia mengalami kesulitan mengapa kesusahan dapat menimpa dia. 
Menurut konsep keagamaan waktu itu, Allah harus memberikan yang baik sebagai 
respon terhadap kesalehannya. Di akhir pergumulannya Ayub mengakui bahwa Allah 
dapat melakukan segala sesuatu (ay. 42:2) dan konsep Allah seperti inilah yang 
dia sebelumnya tidak ketahui secara pribadi (ay. 42:5). Pergumulan Ayub selesai 
bukan dengan pemulihan kekayaannya (hal ini baru terjadi sesudahnya di pasal 
42:10-17), tetapi dengan pengakuan terhadap hak Allah untuk melakukan apa pun 
yang Dia kehendaki.
   
  Ketiga, aturan tertentu. Ketika kita mencoba mengetahui keadilan Allah, kita 
lebih dahulu harus menjawab satu pertanyaan “dengan kriteria apa kita menilai 
tindakan Allah?” Jika kriteria ini kita buat sendiri, maka kita telah bertindak 
kurang ajar terhadap Allah, karena ciptaan tidak berhak menilai Pencipta-Nya 
(Yes. 29:16; 45:9). Dalam perumpamaan tentang para pekerja yang mendapat satu 
talenta, kita dapat melihat bahwa Allah berhak menentukan upah seseorang, 
terlepas dari berapa lama dia bekerja (Mat. 20:8-16). Matius 20:15a “tidakkah 
aku bebas mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku?”. Satu-satunya standar 
penilaian kita adalah firman Allah. Karena firman Allah pada hakekatnya adalah 
perkataan dan tindakan Allah, maka standar yang kita pakai sebenarnya adalah 
diri Allah sendiri. Dengan kata lain, apa pun yang Dia katakan atau lakukan 
pasti adil. Jika Dia tidak adil maka Dia bukanlah Allah dan tidak bisa menjadi 
Hakim atas seluruh bumi (Rm. 3:6; bdk. Kej.
 18:25). Karena Dia adalah Allah, maka Dia pasti adil. Pengakuan terhadap 
ke-Allahan-Nya seharusnya membuat kita mengakui keadilan-Nya, sekalipun kita 
tidak dapat memahami hal itu.
   
  Berdasarkan tiga hal di atas – kita tidak berhak menerima sesuatu dari Allah, 
Allah berhak melakukan apa pun atas hidup kita dan Allah adalah kriteria bagi 
diri-Nya sendiri – maka kita dengan yakin dapat mengatakan bahwa Allah selalu 
adil. Pikiran kita sering kali tidak dapat memahami keadilan Allah sepenuh-Nya 
karena jalan dan pikiran-Nya jauh melampaui kita (Yes. 55:9; Rm. 11:33-34). 
Dalam keadaan seperti ini, kita hanya perlu mengimani bahwa Dia tetap adil 
karena Dia adalah Allah.
   
  Sumber:
  http://www.gkri-exodus.org/page.php?DOC-Keadilan_Allah
   
   
   
   
  Profil Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.:
  Ev. Yakub Tri Handoko, M.A., Th.M., yang lahir di Semarang, 23 November 1974, 
adalah gembala sidang Gereja Kristus Rahmani Indonesia (GKRI) Exodus, Surabaya 
(www.gkri-exodus.org) dan dosen di  Institut Theologi Abdiel Indonesia 
(ITHASIA) Pacet serta dosen tetap di Sekolah Theologi Awam Reformed (STAR) dari 
GKRI Exodus, Surabaya. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Theologi (S.Th.) di 
Sekolah Tinggi Alkitab Surabaya (STAS); Master of Arts (M.A.) in Theological 
Studies di International Center for Theological Studies (ICTS), 
Pacet–Mojokerto; dan Master of Theology (Th.M.) di International Theological 
Seminary, U.S.A. Mulai tahun 2007, beliau sedang mengambil program gelar Doctor 
of Philosophy (Ph.D.) part time di Evangelische Theologische Faculteit (ETF), 
Leuven–Belgia.


""Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di 
depan mata, tetapi TUHAN melihat hati." 
(1Sam. 16:7b)

       
---------------------------------
  Mulai chatting dengan teman di Yahoo! Pingbox baru sekarang!! 
Membuat tempat chat pribadi di blog Anda sekarang sangatlah mudah

Kirim email ke