10 Okt 2007 
   
  RATING PALSU
   
   
   
  Ibaratnya sebuah hakim , rating adalah kata penentu kemenangan atau kekalahan 
dalam dunia pertelevisian di Indonesia. Hidup atau matinya sebuah program 
televisi sangat tergantung oleh angka rating yang bagus. Kalau sebuah program 
televisi mendapat rating yang tinggi, maka dapat diasumsikan akan ada banyak 
pendapatan dari iklan yang akan masuk ke televisi tersebut. Namun sebaliknya 
bila rating sebuah program turun, televisi tersebut kehilangan pemasukan iklan. 
   
  Dengan demikian rating adalah TUHAN bagi para pekerja televisi. Mereka rela 
berjumpalitan kerja siang malam demi memperoleh angka rating tersebut. Di 
Indonesia ,SATU- SATUNYA jasa penyedia rating adalah Nielsen Media Research , 
perusahaan ini praktis menjadi tumpuan utama atau MONOPOLI bagi semua stasiun 
televisi , biro iklan dan semua produsen pemasang iklan. 
   
  Selama 14 tahun terakhir ini Nielsen Media Research juga selalu berhasil 
menampik semua tudingan yang mempertanyakan keabsahan penelitiannya, maupun 
validitas data responden yang telah ditebarnya. Namun sebenarnya jaminan mutu 
internasional itu hanyalah lip servis semata. Kenyataannya sungguh jauh dari 
tampilan make up luarnya.
   
  Yang pertama  Nielsen Research Indonesia tidak memiliki tenaga handal 
profesional yang direkrut dari luar negeri demi menjaga kerahasiaan sistem 
mereka, seperti yang selalu diklaimnya. Nielsen Indonesia yang sekarang banyak 
ditangani oleh para pekerja Indonesia , yang sebagian besar dari mereka adalah 
fresh graduated ( sebagian besar adalah  lulusan statistik dan matematika ). 
Sehingga kerahasiaan sistem mereka sebenarnya tidak benar- benar seperti benda 
suci yang selalu mereka jaga kerahasiaannya. Mereka banyak merekrut tenaga dari 
dalam negeri dengan anggapan bahwa tenaga dari Indonesia adalah jauh lebih 
murah dibanding mempekerjakan tenaga dari negara mereka yang sudah 
berpengalaman. Bahkan Hampir setengah dari tenaga lapangan Nielsen Media 
Research adalah para mahasiswa yang belum lulus dengan hitungan tenaga magang. 
Sehingga dengan tujuan efisiensi pada sumber daya manusia , mereka dapat lebih 
banyak mendapat keuntungan.
   
  Yang Kedua dengan banyak merekrut tenaga kerja baru lulus kuliah dan 
mahasiswa magang, Nielsen Indonesia banyak memberikan toleransi kesalahan data. 
Terutama data- data yang ada di lapangan. Sering sekali saya alami penyimpangan 
data terjadi hanya karena keteledoran SDM  semata- mata. 
   
  Yang Ketiga Untuk pemilihan demografis responden rating televisi cenderung 
dilakukan dengan asal – asalan. Dan tidak diusahakan pemerataan pada  sebaran 
datanya Misalnya , untuk mengetahui berapa kecendrungan pemirsa untuk tayangan 
televisi A, mesti diambil jumlah responden yang seimbang misalnya untuk kelas 
ekonomi atas 33,3%, kelas ekonomi menengah 33,3 %, untuk kelas ekonomi bawah 
33,3%, sehingga total 100%. Sehingga angka rating yg didapat adalah lebih 
obyektif. Namun pada prakteknya , Nielsen Indonesia banyak mengambil data 
responden sebagian besar dari kelas ekonomi rendah. Profil mereka sebagian 
besar adalah : ekonomi kelas rendah, berpendidikan rendah, tidak mempunyai 
pekerjaan, bekerja sebagai pembantu rumah tangga, pedagang kaki lima, karyawan 
toko, buruh pabrik, dan lain- lain. Hal ini menjelaskan mengapa sebagian besar 
tayangan televisi nasional yang memiliki rating tinggi justru yang memiliki 
cita rasa rendah dan apresiasi seni yang rendah. Seperti musik
 dangdut, tayangan gosip artis, tayangan mistik, film- film hantu, dan sinetron 
– sinetron picisan.
   
  Tayangan –tayangan televisi yang justru bersifat mendidik dan mencerdaskan 
akan selalu mendapat nilai rating yang rendah dari Nielsen. Kebijakan ini 
diambil Nielsen karena ia tidak mau membayar uang imbalan untuk respondennya. 
Sehingga responden yang diambil adalah kebanyakan dari kaum ekonomi bawah agar 
bisa dibayar murah. 
   
  Yang Keempat  Untuk pemilihan responden secara geografis juga dilakukan 
dengan tidak merata. Sebaran data yang diambilnya tidak pernah dilakukan dengan 
distribusi yang sama rata secara nasional, melainkan sekitar lebih dari 60% 
datanya hanya terkumpul dari Jakarta saja. 
   
  Yang Kelima sebagai imbalan ( honor ), responden rating hanya mendapat 
souvernir senilai Rp 30,000 s/d Rp 50,000,- saja per bulannya. Sehingga 
responden cenderung ogah- ogahan untuk menjaga integritasnya.
   
  Yang Keenam Idealnya sebuah keluarga atau sebuah rumah yang menjadi responden 
televisi menjadi reponden selama 6 bulan saja atau maksimal selama 1 tahun. 
Setelah itu Nielsen harus mencari responden baru. Secara statistik hal itu 
perlu dilakukan demi menjaga obyektifitas data. Agar secara psikologis , mood 
responden tidak mempengaruhi data selanjutnya. Namun pada kenyataannya, seorang 
responden kebanyakan bisa menjadi responden selama 7 TAHUN LEBIH. Untuk hal ini 
adalah murni dikarenakan kemalasan dari manajemen Nielsen untuk melakukan 
pemeriksaan ke lapangan. 
   
  Yang Ketujuh para responden rating Nielsen sama sekali tidak mempunyai 
integritas. Dengan demikian , beberapa oknum televisi beserta oknum Nielsen 
dapat memberikan “pesanan” kepada ratusan responden sekaligus agar “memanteng “ 
program televisi tertentu, agar hitungan rating program tersebut menjadi 
tinggi. Biasanya jumlah yang diajak adalah sekitar 100 s/d 700 orang dari total 
3,500 responden. dengan 700 orang berarti program tersebut diharapkan sudah 
memegang rating 1/5 dari total rating. Biasanya tiap satu kali “memanteng” ( 
demikian sebutannya ) tiap responden meminta bayaran Rp 100,000,-. Sehingga 
dengan 700 orang x Rp 100,000,-, oknum pihak televisi tersebut hanya 
mengeluarkan uang Rp 70,000,000 saja per satu kali “manteng”. Dengan begitu 
angka rating dapat dimanipulasi dengan mengeluarkan biaya yang relatif murah 
sebenarnya bagi para stasiun televisi. 
   
  PENUTUP
  Demikianlah sebersit informasi dari saya sekitar rating. Karena memang 
sebagai karyawan yang sudah bekerja 6 tahun disana (Nielsen ) , sudah banyak 
orang yang bertanya- tanya pada saya mengenai bagaimana cara rating itu 
bekerja, atau adakah penyimpangan didalamnya ? Dan juga karena termotivasi 
melihat begitu banyaknya para pekerja televisi yang sangat gigih dalam 
pekerjaan mereka, yang padahal selama ini para pekerja televisi tersebut tidak 
mengejar apapun melainkan hanya RATING PALSU !!!
   
  Saya menjadi tidak tega melihat jahatnya skandal dan penipuan yang dilakukan 
orang- orang didalam Nielsen Media Research Indonesia. Secara organisasi itu 
sendiri sebenarnya ia cukup baik sebagai barometer dunia pertelevisian kita 
agar semakin maju dan menghasilkan tayangan- tayangan yang berkualitas. Bagi 
ANDA yang sudah menerima pesan ini, tolonglah disebarkan terutama apabila anda 
mempunya teman, saudara, keluarga ataupun rekan kerja yang bekerja di televisi, 
biro iklan, dan media lainnya agar mereka tahu kebenaran dari apa yang mereka 
usahakan selama ini !!!
   
   
  Salam dari Saya , Steven Sterk 
   
  
 __________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke