Salam. Ieu aya seratan saderek Dr.Haidar Bagir, manawi tiasa janten bahan 
guntreng....

Interesting....inspiring...:)

Andai Aku Seorang Muslim Liberal
Oleh Haidar Bagir
Andai aku seorang muslim liberal, maka aku 
akan melepaskan segenap keyakinan-keislamanku dari segala bentuk 
otoritas tafsir atas Islam yang tidak sesuai dengan akalku, termasuk 
otoritas keulamaan. Namun, aku akan menerima tafsir-otoritatif dari 
siapa pun, dalam arti bahwa otoritas itu bersumber pada bukti-bukti yang 
meyakinkan secara rasional dan berdasar pada prinsip-prinsip ilmiah 
yang aku yakini kebenarannya.
        1. Andai aku seorang muslim liberal, maka aku akan melepaskan 
segenap keyakinan-keislamanku dari segala bentuk otoritas tafsir atas 
Islam yang tidak sesuai dengan akalku, termasuk otoritas keulamaan. 
Namun, aku akan menerima tafsir-otoritatif dari siapa pun, dalam arti 
bahwa otoritas itu bersumber pada bukti-bukti yang meyakinkan secara 
rasional dan berdasar pada prinsip-prinsip ilmiah yang aku yakini 
kebenarannya. Aku percaya bahwa otoritas keulamaan baru mempunyai makna  jika 
ia dikaitkan dengan prinsip-prinsip ilmiah seperti ini, bukan 
semata-mata dengan simbol-simbol yang tak bisa dijelaskan sepanjang 
prinsip-prinsip itu, seperti karisma, kesalehan lahiriah, keturunan, 
(semata-mata) penguasaan ilmu-ilmu keislaman tradisional, dan 
sebagainya. Dengan kata lain, otoritas keulamaan aku terima dalam makna 
yang sesuai dengan makna-asli ajektif yang terlekat kepada kata otoritas dalam 
ungkapan ini, yakni “yang bersifat ilmiah.” Semua ini aku yakini 
karena al-Qur’an, sebagai otoritas tertinggi dalam Islam mengajarku 
bahwa agama Islam adalah untuk orang-orang yang berakal, Nabinya pun 
dengan tegas menyatakan “tak ada agama bagi orang yang tak berakal.” 
Selanjutnya, penolakanku terhadap segala bentuk otoritas keulamaan qua 
simbol-simbol itu tentu saja tak terbatas pada otoritas keulamaan masa 
sekarang, ia malah terutama berhubungan dengan otoritas keulamaan masa 
lampau, sampai masa lampau yang paling jauh dalam sejarah Islam. Karena 
opini para ulama masa lampau memiliki peluang lebih besar untuk 
kehilangan relevansi dengan masa kita sekarang akibat perbedaan 
tantangan, budaya, dan psikologi.
        2. Tapi, aku juga sadar bahwa akal dan prinsip-prinsip ilmiah yang 
diakuinya kapan saja selalu memiliki keterbatasan-keterbatasannya 
sendiri. Karena itu, aku tak akan pernah merasa kapan saja dalam hidupku bahwa 
keyakinanku akan sesuatu bersifat final. Aku selalu sadar bahwa 
keyakinan-keyakinanku harus selalu kuanggap sebagai bersifat tentantif, 
selalu siap untuk direvisi dan direvisi lagi, sejalan dengan pertambahan 
wawasan dan ilmuku, serta dengan kemajuan ilmu pengetahuan.
        3. Lebih dari itu, aku percaya bahwa rasionalitas saja bukanlah 
satu-satunya soko-guru keilmiahan. Aku, percaya pada bahwa akal juga 
mencakup apa yang—oleh orang-orang seperti Aristoteles, Rumi, Bergson, 
Heidegger, atau Muhammad Iqbal – disebut sebagai intuisi atau—oleh 
sebagian pemikir lain—disebut sebagai intelek (intellect). Inilah suatu 
daya (quwwah) yang dalam tradisi Islam sering diidentikkan dengan hati 
(qalb atau fu’ad). Bahkan, aku percaya bahwa setiap saat intuisiku ikut 
menentukan penarikan pendapat-ilmiahku – kumaui atau tidak. Memang, tak 
seperti penalaran rasional, aku tak bisa mengendalikan operasi intuisiku 
(bukankah per definisi intuisi bersifat holistik sintetik, dan 
mengontrol?) Tapi, aku percaya bahwa aku bisa menjadikan pemikiran 
intuitifku mendukung upayaku mencari kebenaran selama aku menjaga 
obyektivitas dan keikhlasanku.
        4. Karena adanya kebutuhan agar aku tetap obyektif dan ikhlas seperti 
itu, maka sepanjang upayaku untuk mencari opini yang benar aku akan 
memelihara fokus pada kebenaran itu sendiri, bukan pada popularitas 
(khalif tu’raf), permusuhan pada pendapat yang (sementara ini) tidak aku 
sepakati, dan sejauh mungkin menyisikan kemungkinan kesombongan dan 
kebanggaan dari upaya-upayaku itu. Dan, karena aku sadar bahwa dorongan 
ke arah nafsu-nafsu yang dapat mengganggu obyektivitasku seperti itu 
berpeluang besar untuk mengganggu obyektivitasku, maka aku akan secara 
sadar dan terus-menerus memperbaharui niatku, menaklukkan semangat 
sekadar ingin popular dan menang sendiri, dan membuka akal dan dadaku 
seluas-luasnya untuk memeriksa opini apa pun yang sampai kepadaku tanpa 
judgement a priori apa pun, dan lebih siap untuk mengkritik opiniku 
sebelum opini-opini yang lain. Aku percaya, jihad al-nafs (perang 
melawan hawa nafsu) diperlukan di sini.
        5. Seandainya aku seorang Muslim liberal, aku – meskipun amat kritis – 
akan menyadari bahwa ilmu pengetahuan berkembang sebagai akumulasi 
pemikiran umat manusia sepanjang sejarah. Bahwa, seperti kata Isaac 
Newton, kita berdiri “ di atas bahu para raksasa” sebelum kita. Bahwa, 
meski zaman beserta budaya, psikologi, dan tantangan-tantangannya 
berubah terus, ada saja yang bersifat perenial dan universal dalam 
pemikiran umat manusia sepanjang sejarahnya. Bahkan aku percaya, 
perlintasan batas waktu itu terjadi hingga masa-masa awal penciptaan 
manusia. Bukan hanya hingga Plato – yang, oleh Whitehead, pemikiran 
manusia sepanjang sejarah dianggap hanyalah catatan kaki atasnya – 
melainkan hingga Hermes Trimegistus (Nabi Idris dalam tradisi pemikiran 
Islam) yang dianggap Bapak Ilmu Pengetahuan umat manusia. Meski kritis, 
aku tak akan bersikap nihilistik terhadap khazanah pemikiran masa 
lampau, karena dengan bersikap demikian aku hanya memiskinkan khazanah 
ilmu pengetahuan umat manusia, dan khazanah ilmu-pengetahuanku. Dengan 
demikian, aku tak mau terperangkap kedalam kebencian terhadap 
hasil-hasil pemikiran masa lampau karena aku menganggapnya berpotensi 
menggagahi kebebasan berpikirku. Sebaliknya, aku akan mengapresiasinya 
dan memperlakukannya secara terhormat sebagai khazanah yang berpotensi 
untuk memperkaya pemikiran-pemikiranku. Aku pun akan berusaha untuk 
tidak melupakan bahwa pada kenyataannya hasil pemikiran para pemikir 
pendahuluku seringkali tidak kalah canggih dan rigorous dibanding 
pemikiran kiwari. Karena, aku pun menyadari bahwa – seperti ditulis, 
antara lain, oleh Franz Rosenthal – para ilmuwan dan ulama Muslim masa 
lampau juga memiliki persyaratan-persyaratan keilmuan yang amat ketat. 
Bahkan, seringkali aku dapati, ketika aku cukup telaten untuk membaca 
hasil pemikiran mereka, amat banyak masalah-masalah dan opini-opini yang 
terungkap dalam perdebatan-perdebatan masa kini, yang sudah digarap 
juga oleh para pendahuluku itu. Kenyataan bahwa perdebatan itu 
seringkali memakan waktu beberapa generasi, dan melibatkan begitu banyak 
pemikir yang memiliki berbagai latar belakang, tak urung akan membuatku 
berpikir :”Jangan-jangan apa yang mereka pikirkan malah lebih canggih 
dari apa yang sedang aku pikirkan sekarang.” Tidak dengan demikian 
kemudian aku berhenti berpikir dan merasa cukup dengan hasil pemikiran 
masa lampau itu. Tidak. Kenyataan itu hanya makin mendorongku untuk 
mempelajarinya dan kemudian memberikan sumbangan baru di atasnya, agar 
dengan demikian aku ikut menjadi bagian mata rantai yang melanjutkan 
akumulasi hasil-hasil ilmu pengetahuan itu. Alhasil, sikapku terhadap 
otoritas keulamaan, termasuk otoritas keulamaan masa lampau, sebenarnya 
merupakan konsekuensi logis belaka dari prinsip-prinsip keliberalan 
sikapku dalam berislam, yakni prinsip-prinsip keterbukaan, pluralisme, 
dan demokrasi.
        6. Nah, terkait dengan prinsip-prinsip yang aku junjung tinggi itu, aku 
akan selalu menghargai atau mengapresiasi pendapat orang atau kelompok 
lain, betapa pun pendapat itu segera tampak tak aku sepakati, asing, 
atau bahkan terdengar ofensif bagiku. Aku akan berusaha sebisanya untuk 
memberi mereka the benefits of the doubt, sambil berupaya menerapkan 
kebijakan bahwa pendapatku (aku yakini sebagai) benar tapi memiliki 
peluang untuk salah, dan pendapat orang lain (aku yakini) sebagai salah, tapi 
memiliki peluang untuk benar; juga bahwa, meski aku berbeda 
pendapat, hak mereka untuk mengungkapkan pendapatnya akan aku junjung 
tinggi dan aku bela. Karena aku percaya bahwa hikmah (kebijaksanaan) 
“tercecer” di mana-mana, di berbagai opini, dan bahwa aku berkewajiban 
memungutnya di mana saja aku menemukannya. Karena aku pun percaya bahwa 
perbedaan pendapat (ikhtilaf) adalah suatu rahmat, yang – jika kita 
sikapi dengan benar – akan memperkaya ilmu pengetahuan dan membawa kita 
lebih dekat kepada kebenaran. Dengan kata lain, makin melengkapkan 
pengetahuanku tentang kebenaran, mengingat kebenaran yang kita kuasai 
selalu bersifat parsial. Aku akan sepenuhnya sepakat dengan Abdul Karim 
Soroush bahwa kebenaran-kebenaran itu berasal dari sumber yang sama, dan bahwa 
satu kebenaran tak akan bertentangan dengan kebenaran lainnya. 
Untuk keperluan itu, sedapat mungkin aku akan bersikap seperti Imam 
Ghazali ketika mengatakan bahwa, sebelum berhak mengkritik, kita harus 
berupaya untuk bisa memahami pendapat yang akan kita kritik itu seperti 
pemahaman para penganutnya. (Sedemikian, sehingga karya Imam Ghazali 
yang berjudul Maqashid al-Falasifah – yang sebenarnya merupakan 
ringkasan karya Ibn Sina – sempat dikelirukan sebagai karya Ibn Sina 
karena sifat empatik yang dominan terhadap pemikiran filosof yang 
sebenarnya segera akan dikritiknya secara amat keras itu). Seperti 
Luthfi Asysyaukanie aku percaya bahwa, bahkan dalam opini yang sepintas 
tampak bertentangan dengan pendapat kita, selalu ada peluang kebenaran 
yang bisa kita pungut. Pendapat Luthfi Asysyaukani bahwa Wahhabiyah – 
salah satu faham yang biasa dianggap sebagai sumber aliran 
“fundamentalisme” – sesungguhnya juga menyumbang kepada proses 
sekularisasi ketika ia mengritik mitos dan takhayul adalah contoh yang 
baik tentang sikap ini. Demikian juga dengan contoh, yang juga 
dikabarkan Luthfi, tentang sikap Imam Ja’far Al-Shadiq, Imam Keenam 
Syi’ah – suatu mazhab yang lagi-lagi sempat melahirkan apa yang oleh 
banyak orang dinamai “fundamentalisme” – yang oleh Karen Amstrong 
dianggap sebagai menyimpan benih-benih sekularisasi (betapa pun aku 
masih perlu berfikir beberapa kali sebelum bisa menerima anggapan 
Amstrong itu). Luthfi dan Syamsu Rijal Panggabean sudah amat bijaksana 
ketika meyakini bahwa keliberalan dalam pemikiran Islam memiliki 
gradasi, memiliki spektrum, dan sama sekali tidak monolit. Dalam 
kerangka ini, sebagai seorang Muslim liberal, aku akan menghindarkan 
sikap selektif dalam menampilkan pendapat orang yang kita kritik, 
apalagi sinikal. Karena sinisme cenderung mendorong kita memahami 
pandangan kelompok lain secara tereduksi, kalau tak malah karikatural, 
menyesatkan (misleading) dan, dengan demikian, merusak obyektivitas 
kita. Sebaliknya, saya akan berhati-hati, dan bukannya malah kenes, 
dalam menanggapi opini yang tidak saya setujui itu agar suatu dialog 
yang produktif, konstruktif, dan saling memperkaya akan tercipta. Meski, 
misalnya, para penganut pendapat yang tidak aku setujui  bersikap 
negatif terhadap pendapatku, aku akan berusaha selalu sadar bahwa mereka bukan 
guruku. Bukankah aku mengambil pilihan sikap liberal karena aku 
merasa bahwa kancah pemikiran harus selalu dibiarkan terbuka, 
pluralistik, dan demokratis, dan bukankah aku mengkritik mereka justru 
karena sifat tertutup, totalitarian, dan otoritariannya? Juga, karena 
aku yakin, bahwa pada dasarnya makhluk yang bernama manusia ini bisa 
diajak berinteraksi secara persuasif, asalkan kita telaten dalam 
mengajukan hujjah-hujjah kita yang meyakinkan kepada mereka. Dan juga 
karena aku sadar bahwa jangan-jangan perbedaan pendapat yang begitu 
besar antara aku dan mereka banyak juga disumbang oleh kurangnya dialog 
yang produktif dan silaturrahmi yang tulus di antara kami. Aku yakin 
bahwa ketidaksabaran untuk mendengar pendapat orang lain merupakan 
produk sikap sombong, merasa benar sendiri, melecehkan orang lain, yang 
menurutku justru menjadi musuh keterbukaan, pluralisme, dan demokrasi.
        7. Andai aku seorang Muslim Liberal, aku akan melakukan sekularisasi 
terhadap pemikiran keislaman. Aku akan berusaha memisahkan sebisanya 
unsur-unsur yang sakral dari yang profan, dan mengembalikan unsur-unsur 
profan ke pangkuan pemikiran yang netral agama. Karena aku yakin bahwa 
menyerahkan masalah-masalah profan ke wilayah pemikiran keagamaan secara tidak 
semena-mena justru akan mempersulit diri dan mendorong munculnya 
sikap-sikjap reaksioner dan obskurantis, setidaknya bisa menimbulkan 
suasana yang menyesakkan (suffocating) karena ia bukan hanya menyelusup – 
melainkan “mengangkangi”—kesemua detil aktivitas kita secara tidak 
perlu. Dan karena aku yakin bahwa Allah Swt. menganugerahi kita dengan 
akal yang dikaruniainya tugas dan kemampuan untuk bersama-sama wahyu-Nya 
membimbing kita menuju kebenaran. Tapi, saya juga percaya bahwa 
sekularisasi ada batas-batasnya. Bahwa, betapa pun, agama sebagai agama 
meniscayakan penerimaan unsur-unsur tertentu sebagai bersifat sakral. 
Bahwa batas antara sekularisasi dan sekularisme – yang tidak aku 
sepakati – tidak selalu jelas. Setidaknya, kalau pun aku yakin bahwa 
agama pada dasarnya adalah sumber aturan moral dan etika, aku sadar 
bahwa moral dan etika selalu terlibat dalam aspek kehidupan manusia yang mana 
pun. Apalagi, aku juga tidak begitu yakin bahwa peran agama 
“hanya” sebatas memberikan aturan-aturan moral dan etika. Meski aku 
percayai dalam banyak hal bersifat kontekstual dan historis, aku juga 
yakin bahwa banyak juga teks-teks (nash) keagamaan yang berbicara 
mengenai soal-soal teknis yang menyangkut hukum, politik, ekonomi. 
Menyisikannya sebagai ayat-ayat Madaniyah yang tak lagi relevan untuk 
masa-masa seperti itu, sebagai dilakukan oleh Ahmad Mahmud Thaha, tak 
selalu mudah. Kalau pun teks-teks yang bersifat seperti ini kita anggap 
tak lagi sakral penerapannya, aku tak bisa menutup sama sekali pintu 
untuknya. Karena siapa tahu ia masih juga bisa menjadi suatu sumber 
pemikiran di tengah berbagai sumber pemikiran nonkeagamaan. Setidaknya 
kesemuanya itu masih bisa kita anggap sebagai – aku tergoda untuk 
meminjam ungkapan Nirwan Arsuka, meski kutahu amat kontroversial—“suatu 
fiksi besar, kanon raksasa, yang terbuka untuk terus-menerus 
ditafsirkan, sebagaimana orang kini menafsirkan Shakespeare atau 
Homerus.” (Hanya saja, jika Shakespeare dan Homerus bersifat 
zhanniy/probable baik dari segi wurud/transmisi maupun 
dilalah/kandungannya, nash keislaman jenis ini tetap saja bersifat 
qath’iy/pasti, setidaknya dari segi transmisinya yang bersumber dari 
Tuhan). Atau, kalau kita pinjam istilah ushul fiqh, kalau tak bisa 
menjadi sumber peraturan primer (awwaliyyah), nash-nash yang bersifat 
kontekstual dan historis seperti ini setidaknya bisa menjadi sumber 
peraturan sekunder (tsanawiyyah). Wa Allah a’lam.
        8. Aku juga akan memelihara concern bahwa Islam harus selalu 
ditafsirkan sedemikian, sehingga selalu bisa menjawab tantangan zaman. 
Aku percaya bahwa Allah menjadikan dunia dan kehidupan ini dengan 
sifatnya yang progresif. Bahwa, seperti kata Muhammad Iqbal, Allah 
selalu menambahkan ciptaan-ciptaan baru setiap saat (kulla yaumin huwa 
fi sya’n). Bahwa dunia ini bukan suatu block universe. Maka ijtihad pun 
menjadi niscaya – Iqbal menyebutnya sebagai prinsip atau soko guru 
gerakan dalam Islam – demi menyahuti undangan Allah untuk menjawab 
tantangan-tantangan (ciptaan-ciptaan) baru itu. Tapi aku juga tahu bahwa ada 
bahaya untuk menjadikan agama sebagai “pelengkap penderita” dalam 
kita mencari jawab terhadap tantangan-tantangan zaman itu. Maksudku, 
bukannya ajaran-ajaran Islam aku jadikan sumber, aku memanipulasinya 
agar sesuai dengan keyakinanku yang bersifat a priori. Dengan kata lain, ajaran 
Islam kutempatkan sedemikian sehingga ia subjected to 
keyakinan-keyakinan a priori-ku itu. Ini menurutku merupakan suatu sikap yang 
mengkhianati integritas intelektualku. Kalau aku percaya pada 
kebenaran Islam, maka sikap yang ilmiah adalah menempatkannya sebagai 
sejajar dengan sumber-sumber kebenaran intelektual yang lainnya. Bahkan, dalam 
hal terjadi konflik yang tidak bisa aku selesaikan di antara 
keduanya, aku harus siap untuk memenangkan sumber-sumber keagamaan, 
meski hanya untuk sementara. Karena, pada dasarnya, seperti aku 
ungkapkan sebelumnya, aku percaya bahwa hasil pemikiran intelektual yang sahih 
(atau qath’iy, menurut istilah keagamaannya) ultimately  tak akan bertentangan 
dengan dengan teks-teks atau nash-nash yang dipahami 
secara sahih (qath’iy) pula. Yang pasti, aku tak akan menjadikan 
keislamanku hanya sebagai sarana sosialisasi dan menghindarkan dari 
social punishment yang mungkin diberikan oleh lingkunganku yang 
kebetulan mayoritas menjadikan Islam sebagai bagian identitasnya. 
Karena, sekali lagi, kuanggap ini adalah suatu sikap yang mengkhianati 
integritas-intelektualku.
        9. Dengan semua keyakinanku sebagai seorang Muslim liberal, 
pendekatanku terhadap teks-teks al-Qur’an, Sunnah, dan tradisi Islam 
selebihnya akan bersifat hermeneutik. Dengan kata lain, aku akan 
melakukan distansiasi terhadapnya, mencoba mengenali diriku dengan 
segala latar-belakang sosiologis, psikologis, dan kulturalku agar aku 
bisa meminimumkan subyektivitasku, kemudian melihatnya secara historis 
dan kontekstual, selanjutnya menyeruput esensi-esensi (maqashid)-nya, 
untuk akhirnya mengapropriasikannya dengan tantangan-tantangan zamanku. 
Ini sama sekali bukan suatu pendekatan yang mudah. Tapi aku tak punya 
pilihan lain jika hendak obyektif. Meskipun demikian, aku sadar bahwa 
hermeneutika memiliki jebakan-jebakannya sendiri, di setiap tahap dalam 
prosedurnya. Mengenali diri adalah suatu pekerjaan yang, sejak zaman 
Yunani, diakui sama dengan mengenali Tuhan – the ultimate being. Karena 
itu,  tak kurang dari suatu pertempuran besar (jihad akbar) – lagi-lagi, jihad 
melawan hawa nafsu – sajalah yang dapat membantu kita 
melakukannya. Kemudian, melihat secara historis dan kontekstual 
mengharuskanku untuk dapat memilih dari berbagai versi historis, latar 
belakang sosio-kultural dan psikologis yang berjalin berkelindan secara 
amat kompleks, kalau tak malah sering saling bertentangan. Dan 
seterusnya. Karena itu, aku tak akan segan-segan belajar dari pemikir 
Muslim masa lampau, seperti kaum rasionalis Mu’tazilah, atau kaum Sufi, 
yang telah berupaya keras untuk memraktekan pendekatan ini lewat apa 
yang mereka sebut sebagai ta’wil. Tapi, pada saat yang sama, aku juga 
akan mengambil manfaat dari orang-orang yang memujikan pendekatan 
literal, karena pendekatan seperti ini sedikit-banyak akan membantuku 
untuk mengendalikan keliaran spekulasiku pada saat aku hendak mencari 
makna hermeneutik teks-teks tersebut. Ini, pikirku, barangkali sebab 
yang membuat bahkan Sufi se-“liar” Ibn ‘Arabi pun ngotot dengan makna 
asal kata-kata karena bagi orang-orang seperti ini ta’wil – sebagaimana 
hermeneutika – bukanlah mencari makna yang bukan orisinal, melainkan 
justru mengembalikannya kepada yang asal itu.
        10. Akhirnya, sebagai muslim, meski liberal, aku akan selalu meminta 
pertolongan (‘inayah) dan petunjuk (hidayah) dari Allah SWT. Sang 
Kebenaran (al-Haqq) dan Sang Pemberi Petunjuk (Al-Hadi), karena aku amat sadar 
kepada keterbatasan-keterbatasanku sebagai manusia dan bahwa Ia 
adalah Sumber dari segala sumber kebenaran.
Wa Allah a’lam bi al-shawab.
Artikel ini adalah juga makalah KKA Paramadina dan Peluncuran Buku Wajah 
Liberal Islam di Indonesia, di Aula Universitas Paramadina, 18 
Juli 2002
 
Reni Susanti

"The blind and the seeing are not alike. Nor are the depths of darkness and the 
light" 
(Holy Qur'an, Al Fathir (The Originator):19-20)



Kirim email ke