Memecah Prasangka; Catatan Perjalanan di Iran 10 Hari
 
http://indonesian.irib.ir/hidden-23/-/asset_publisher/Cl35/content/memecah-prasangka-catatan-perjalanan-di-iran-10-hari?redirect=http%3A%2F%2Findonesian.irib.ir%2Fhidden-23%3Fp_p_id%3D101_INSTANCE_Cl35%26p_p_lifecycle%3D0%26p_p_state%3Dnormal%26p_p_mode%3Dview%26p_p_col_id%3D_118_INSTANCE_VbI8__column-1%26p_p_col_pos%3D1%26p_p_col_count%3D3
 
Oleh: Sirikit Syah
 
Setelah sepuluh hari melihat Iran, banyak yang ingin saya ceritakan kepada 
pembaca Jawa Pos. Kita kerap membaca berita-berita tentang Iran, dan kebanyakan 
sumber kita adalah media Barat. Bahkan bila laporan itu kita baca di media 
Indonesia, tetap saja, para redaktur kita mengutipnya dari media barat. Jarang 
sekali redaktur media Indonesia mengutip IRNA, IRIB atau Press TV, misalnya. 
Maka, jangan terkejut, bila cerita saya berbeda dengan pemahaman kita semua 
selama ini tentang Iran.
 
Perjalanan saya ke Iran merupakan momentum ‘breaking the prejudice', memecah 
prasangka. Sebagian besar dari kita –rakyat Indonesia- mengira orang Iran 
adalah orang Arab, berwajah seram, perempuannya pakai burqa seperti kaum 
Taliban di Afghanistan, perempuannya tidak boleh kemana-mana, negaranya miskin 
dan terbelakang. Maaf, semua itu salah. Kedudukan perempuan misalnya,  
kenyataannya sungguh berbalik 180 derajat dari asumsi saya. Peran pria Iran, 
menurut pandangan saya yang orang Indonesia tapi mengenyam pendidikan barat, 
juga amat unik dan menarik untuk dicatat.
 
Konferensi yang saya hadiri pertengahan Juli kemarin bertajuk "International 
Moslem Women Conference and the Islamic Awakening". Ini tentu maksudnya, 
bagaimana peran perempuan Islam sedunia dalam gerakan/gelombang Kebangkitan 
Islam. Panitia perempuan semuanya mengenakan chador, kain hitam menutup kepala 
sampai mata kaki, seperti selimut, hanya menyisakan wajah-wajah cantik 
perempuan Iran. Di belakang mereka, siap siaga para pria Iran berwajah tampan 
berbadan tegap dengan pakaian western (berpantalon dan berjas). Meskipun 
bergaya intelek dan elegan, para pria ini adalah "pembantu umum" yang 
membereskan persoalan dan kesulitan. Paling ekstrim saya melihat, mereka 
memasuki ruang makan dan makan paling akhir, ketika semua perempuan sudah 
selesai makan. Setelah 10 hari bersama mereka, saya mencatat, pria Iran adalah 
supporter atau back up yang luar biasa bagi kiprah perempuan Iran.
 
Para perempuan Iran bekerja secara profesional: ada dokter (kebanyakan dokter), 
lawyer, insinyur, pilot, dosen, guru, pegawai bank. Mereka dipertemukan dengan 
kami (para tamu dari negara asing), lalu mereka bercerita tentang sulitnya 
membagi waktu antara famili-profesi-religi. Ya, orang Iran amat relijius 
sehingga agama selalu dinomorsatukan. Kesulitan mereka sama saja dengan 
kesulitan ibu-ibu di Indonesia dan di banyak negara lain. Saya terkesan, mereka 
tidak mengatakan hidup mereka mudah atau baik-baik saja (kalau mereka bilang 
begini, akan saya anggap propaganda public relation). Mereka tak memiliki 
support-system seperti tetangga dan keluarga, seperti di negara-negara Asia 
atau Afrika. Namun sistem pemerintahan mereka mensupport maksimal: cuti hamil 6 
bulan sepenuh gaji, akan ditingkatkan jadi satu tahun; dan selama dua tahun 
setelah masuk kerja, setiap hari bebas 2 jam kerja untuk menyusui. Bahkan 
perempuan yang memiliki orangtua, suami, atau anak
 disable, diminta tinggal di rumah dan digaji oleh pemerintah untuk 
mengurusi/mendidik sang disable tadi.
 
Menilik ucapan dan gerak tubuh (gesture), perempuan Iran amat confident 
(percaya diri) dan berdiri sama tinggi dengan kaum prianya. Perempuan-perempuan 
berjubah hitam ini ‘keluyuran' sampai malam dan dini hari di café dan lobby 
hotel (karena urusan kepanitiaan) dan mereka seolah biasa saja melakukan itu. 
Cara pria dan wanita berbincang juga sejajar, sama dengan kita di Indonesia. 
Namun, pria Iran tampak lebih menaruh hormat kepada para perempuannya. Di 
jalan, para perempuan Iran pakai baju gaya western, dengan kerudung yang 
menyisakan jambul/poninya. Tak sedikit pula yang nyetir mobil.
 
Pecahnya prasangka atau praduga terhadap Iran tak hanya pada fisik (bahwa 
mereka ternyata lebih mirip orang kulit putih daripada orang Arab –mereka 
keturunan ras Aria, seperti bangsa Eropa umumnya); tetapi juga pada kedudukan 
pria-wanita, tingginya peradaban mereka, majunya ekonomi negara, dan 
intelektualitas mereka yang mengagumkan. Tingginya peradaban dapat kita 
saksikan dari situs-situs peninggalan, dimana masjid dan bangunan kuno lainnya 
telah memiliki pola arsitektur yang canggih pada jamannya. Intelektualitas juga 
tercermin saat kita berbicara dengan mereka. Tak mengherankan bila mereka 
menemukan teknologi nano, menciptakan hujan di padang pasir, bahkan merekayasa 
nuklir untuk kebutuhan listrik negaranya.
 
Pecahnya prasangka ini melahirkan kekaguman pada bangsa Iran. Apalagi Iran 
membiayai Konferensi Perempuan Islam Sedunia ini 100%. Peserta datang dari 84 
negara (termasuk Afrika, Amerika Latin, Eropa Utara), jumlahnya skitar 1200 
orang, semua dibiayai dengan layanan VIP selama di Iran, dan tiket pesawat 
pulang pergi dari negara masing-masing diganti. Kita akan berpikir: berapa 
besar biayanya? Mengapa Iran mau mengeluarkan biaya sebesar itu untuk sebuah 
konferensi?
 
Pada akhirnya saya menyimpulkan sendiri: bagi Iran, bukan konferensinya yang 
penting, tetapi kemampuannya mengumpulkan para perempuan cendekia sedunia 
inilah yang ingin disuarakan ke seluruh dunia. Bahwa Iran bisa. Bahwa Iran akan 
didukung perempuan sedunia menggelorakan Kebangkitan Islam, suatu gerakan yang 
tak terbendung. Gerakan yang berawal di akar rumput ini sudah berhasil 
menggulingkan pemerintahan yang korup di kawasan Timur Tengah, menggantikannya 
dengan tokoh dari Muslim Brotherhood (Persaudaraan Muslim).
 
Bila memang itu tujuannya: image building, mungkin biaya itu berarti. Iran yang 
mengalami sanksi ekonomi internasional selama 30 tahun, terbukti menggeliat, 
survive, rakyatnya menggunakan produk dalam negeri. Tidak apa-apa mobil-mobil 
di jalanan dan HP para tokoh tampak jadul (kuno), dan tidak ada McDonald atau 
KFC di Tehran; tetapi mereka berdiri dan menatap kita dengan kebanggaan. 
Mungkin kita bangsa Indonesia yang kaya raya tidak bisa bersikap penuh 
kebanggan dan percaya diri seperti itu. (IRIB Indonesia/Jawapos)
 
*) Dosen dan pengamat media. 19 Juli 2012

Kirim email ke