JADIKAN LEBARAN INI "MILESTONE" SILATURRAHMI 
Oleh KH. Dr. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc
بسم الله كلمة المعتصمين ومقالة المتحرزين ونعوذ بالله تعالي من جور الجائرين وكيد 
الحاسدين وبغي الظالمين ونحمده فوق حمد الحامدين . أشهد أن لا اله إلا الله وحده 
لا شريك له المالك ألحق المبين وأشهد أن محمد عبده ورسوله أرسله الله تعالي رحمة 
للعالمين و نصلي ونسلم علي حبيب إله العالمين سيدنا محمد واله الطيبين الطاهرين و 
اصحابه الميامين المنتجبين

قال الله تعالي في كتابه الكريم::

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ 
وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا 
وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ 
اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Marilah kita mulai dengan menyampaikan rasa syukur kita kepada Yang Mahakasih. 
Dengan anugrahNya juga, Dia telah mengantarkan kita pada Lebaran tahun ini, 
pada ‘Idul Fitri 1433 H. Marilah kita tengok sejenak... orang-orang di sekitar 
kita pagi ini. Mari kita kenang orang-orang di sekitar kita pada Idul Fithri 
yang lalu. Sebagian di antara mereka tidak lagi bersama kita. Mereka tidak lagi 
tertawa ria menjelang buka terakhir kemarin; mereka juga tidak berangkat ke 
tanah lapang pagi ini; mereka juga tidak akan mengulurkan tangannya untuk 
saling memaafkan sebentar lagi hari ini. Mereka telah dipanggil, insya Allah, 
untuk berlabuh di pangkuan kasih sayang Ilahi.

Lebaran sering kita jadikan tonggak-tonggak utama, “milestones” dalam sejarah 
kita, sejarah keluarga kita, sejarah bangsa kita, bahkan sejarah agama kita, 
sejarah umat Islam. 1431 tahun yang lalu, Nabi saw memimpin salat ‘Id yang 
pertama. Ia mengungkapkan rasa syukurnya karena Allah swt telah menganugrahkan 
kemenangan kepada kaum mukminin dalam Perang Badar. 1321 tahun setelah itu, 
bangsa Indonesia memperingati Idul Fitri setelah melepaskan belenggu penjajahan 
dan menyatakan kemerdekaannya.



Hari ini, kita melakukan salat Idul Fitri tiga hari setelah memperingati 
kemerdekaan kita.

Mari kita jadikan Idul Fitri tahun ini sebagai “milestone” dalam sejarah umat 
Islam di Indonesia. Prasasti apakah yang akan kita ukirkan pada tonggak sejarah 
tahun ini? Mungkin kita bangga karena membludaknya jemaah tarawih di 
masjid-masjid pada awal Ramadhan, atau miliran uang yang terkumpul dari zakat 
fitrah saja, atau pengajian yang ramai di kantor-kantor dan gema Ramadhan pada 
berbagai media elektronik? Sekiranya Rasulullah saw bertanya kepada kita apa 
yang kita torehkan pada tonggak sejarah Idul Fitri tahun ini, apa yang harus 
kita ceritakan kepada beliau.

Lima belas abad yang lalu, Nabi saw bersabda [1]:

سيأتي زمان على أمتي لا يبقي من القران إلا رسمه ولا من الاسلام إلا إسمه يسمون به 
وهم أبعد الناس منه مسا جدهم عامرة وهي خراب من الهدي فقهاء ذلك الزمان شر فقهاء 
تحت ظل السماء منهم خرجت الفتنة واليهم تعود



Akan datang kepada umatku satu zaman, ketika tidak tersisa dari Al-Quran 
kecuali aksaranya; tidak tersisa dari Islam kecuali namanya. Mereka menamakan 
dirinya dengan nama Islam, tetapi mereka orang yang paling jauh dari Islam. 
Masjid-masjidnya ramai, tetapi kosong dari petunjuk. Para ulama di zaman itu 
adalah seburuk-buruknya ulama di bawah lindungan langit. Dari mereka keluar 
fitnah (kekacauan, bencana) dan kepada mereka fitnah itu kembali.

Saudara-saudara, apakah sabda Nabi saw ini harus kita pahatkan pada “milestone” 
Lebaran tahun ini di negeri kita. Kita menyaksikan orang-orang yang menggunakan 
ayat-ayat Al-Quran untuk membenarkan kesesatannya, untuk memperoleh 
keuntungan-keuntungan duniawi, untuk menghakimi sesama Muslim. Nabi saw pernah 
meramalkan bakal muncul satu kaum yang ibadahnya memukau kalian tetapi Al-Quran 
hanya sampai tenggorokannya. Mulut-mulut yang melantunkan kalimah-kalimah suci 
adalah mulut-mulut yang juga menghamun maki. Inilah Al-Quran yang sudah 
kehilangan ruhnya.

Kita juga melihat orang yang menamakan dirinya umat Islam, tetapi perilakunya 
menyimpang jauh dari missi Rasulullah saw.

Bukankah beliau diutus untuk menyebarkan kasih ke seluruh alam, rahmatan lil 
‘Alamiin (Al-Anbiya, 21:107). Seorang Muslim disebut Muslim, karena muslim 
(dalam bahasa Arab) berarti menyelamatkan, membahagiakan, dan mensejahterakan. 
“Tahukah kamu siapakah orang Islam?” tanya Rasulullah saw pada haji wada’. 
“Orang Islam ialah orang yang menyelamatkan orang lain dari gangguan lidah dan 
tangannya.”

Seorang muslim disebut juga mu’min, karena mu’min (dalam bahasa Arab) artinya 
menyebarkan rasa aman, damai, dan tentram. “Tahukah kamu siapakah orang 
beriman? Orang beriman ialah orang yang sesamanya merasa terlindungi (karena 
kehadirannya) dalam kehormatannya, jiwanya dan hartanya,” kata Nabiyur Rahmah 
masih di padang Arafah pada haji terakhirnya. Pada kesempatan lain, Nabi saw 
bersabda, “Orang beriman itu ditandai dengan empat hal: muka yang ramah, lidah 
yang lembut, hati yang penuh kasih, dan tangan yang suka memberi.”[2]

Di manakah Muslim yang missi hidupnya membahagiakan orang-orang di sekitarnya? 
Di manakah Mukmin yang melindungi kehormatan, jiwa, dan harta sesamanya?

“Masjid-masjidnya ramai tetapi kosong dari petunjuk”. Itulah masjid yang 
jemaahnya bukan terdiri dari kaum muslimin dan kaum mukminin seperti yang 
dijelaskan Nabi saw. Mereka menyebut dirinya Muslim, tetapi merekalah manusia 
yang paling jauh dari Islam. Ke masjid-masjid itu berdatanganlah para ulama, 
bukan untuk menyebarkan petunjuk, tetapi untuk menebar fitnah –kerusuhan, 
kekacauan, dan perpecahan. “Dari mereka berasal fitnah dan kepada mereka fitnah 
itu kembali” sabda Nabi saw.

Apakah yang hilang dari bacaan Al-Quran, apa yang hilang dari keislaman, apa 
yang hilang dari keimanan, apa yang hilang dari masjid-masjid dan para ulama? 
Esensi, roh, spirit dari seluruh ajaran yang dibawa Nabi saw. Apa roh al-Quran, 
Islam, Iman, masjid dan ulama? Cinta kasih!

Jika seluruh ajaran Islam disimpulkan dalam dua kalimat: Islam mengajarkan 
kepada kita untuk bertakwa kepada Allah yang Mahaesa dan menyebarkan kasih 
sayang kepada seluruh makhlukNya:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ 
وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا 
وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ 
اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu 
dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada 
keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan 
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling 
meminta tolong satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan kasih sayang di 
antara kalian. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu." (Al-Nisa, 
4:1).

Khothbah II

Saudara-saudara,

Segera setelah salat ‘Id, pancangkanlah tonggak silaturahmi dalam perjalanan 
sejarah kita. Selama ini, kita telah menanam pohon penuh duri di tengah jalan 
raya kehidupan. Semua orang yang melewati kita, kita tusuk mereka dengan 
duri-duri tajam kita, kita sakiti hati mereka. Kita cabik-cabik perasaan mereka 
dengan keangkuhan kita. Makin sering orang-orang itu hadir di depan kita, makin 
banyak luka-luka dalam jantungnya, makin banyak rintihan dan tangisannya.

Di antara mereka itu adalah orang tua kita. Temuilah mereka, kalau mereka masih 
hidup. Kita boleh jadi kecewa karena perilaku mereka. Marilah kita maafkan 
mereka dengan sepenuh hati. Kenanglah beban yang mereka tanggung untuk 
melahirkan kita dan membesarkan kita. Bersimpuhlah di hadapan mereka, 
bahagiakan mereka, sehingga kamu melihat lagi di wajah-wajah mereka senyuman 
tulus yang menyejukkan hatimu. Mohonkan maaf kepada mereka karena selama ini 
ucapan dan perilakumu telah melukai mereka.

Setelah itu, pusatkan perhatianmu kepada orang-orang di sekitarmu yang selama 
ini kamu sakiti karena ambisimu, yang kamu campakkan karena arogansimu, yang 
kamu sia-siakan karena kerakusanmu, atau yang “sekedar” kamu abaikan karena 
kesibukanmu. Mereka itu pasanganmu, anak-anakmu, tetanggamu, sahabatmu, seluruh 
umat manusia dan seluruh alam. Mereka adalah anggota dari keluarga besar Tuhan. 
Mereka bukanlah orang yang bisa kamu manfaatkan sekehendak hati kamu. Mereka 
adalah orang yang dihadirkan Tuhan untuk kamu cintai dengan sepenuh hatimu.

Di antara mereka, yang secara khusus Allah swt titipkan kepada kita, adalah 
orang-orang yang menderita, orang lemah, kaum fuqara dan masakin. “Temui Aku di 
tengah-tengah orang yang hancur hatinya” firman Tuhan yang Mahakasih. “Cari aku 
di tengah-tengah kaum dhu’afa kalian,” sabda Nabiyur Rahmah.

Buka hatimu, pancarkan kasihmu, sirami semuanya dengan cintamu, bagikan 
kebahagianmu kepada mereka. Sambungkan pita-pita cintamu dengan pita-pita cinta 
semua orang, sehingga seluruh alam semesta didekap dalam belitan cinta! 
“Sayangi semua orang yang di bumi, akan sayang kepadamu Dia yang di Langit“, 
sabda Nabi saw.

Marilah kita masukkan kasih sayang dalam keberagamaan kita, dalam keislaman 
kita. Karena itulah roh keislaman kita. Itulah roh keimanan kita. Jadikan 
Lebaran ini kembalinya lagi Islam setelah tinggal namanya, masuknya lagi 
al-Quran setelah tersisa aksaranya, bersinarnya lagi petunjuk Tuhan di 
masjid-masjid dan tegaknya lagi wibawa para ulama setelah kehilangan 
ketauladannya.

Ya Allah,

Aku mohon ampun kepada-Mu

Di hadapanku ada orang yang dizalimi

Aku tidak menolongnya

Kepadaku ada orang berbuat baik

Aku tidak berterimakasih kepadanya

Orang bersalah meminta maaf kepadaku

Aku tidak memaafkannya

Orang susah memohon bantuan kepadaku

Aku tidak menghiraukannya

Ada hak orang mukmin dalam diriku

Aku tidak memenuhinya

Tampak di depanku aib Mukmin

Aku tidak menyembunyikannya

Dihadapkan kepadaku dosa

Aku tidak menghindarinya

Ilahi...

Aku mohon ampun dari semua kejelekan itu

Dan yang sejenis dengan itu

Aku sungguh menyesal

Biarlah itu menjadi peringatan

Agar aku tidak berbuat yang sama sesudahnya

Sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarganya

Penyesalan atas segala kemaksiatan

Tekadku untuk meninggalkan kedurhakaan

Jadikan itu semua taubat yang menarik kecintaan-Mu

Wahai Dzat yang Mencintai

Orang-orang yang bertaubat

Catatan:

1] Diriwayatkan al-Bukhari dalam "Khalq 'Af'al al-'Ibad", h.67 dari Ali bin Abi 
Thalib; Al-Baihaqi dalam "Sya'b al-limaan", 3:317-318; Ibn 'Adi dalam 
"Al-Kaamil" 4:227; lihat Nahj al-Balaghah, al-Hikam, hikmah 366.

2] Wasaa-il al-Syi'ah 29:458, hadis 12494

3. Do'a penutup diambil dari Shahifah Sajjadiyyah, Do'a al-I'tidzaar, No.38, 
hal.114, terjemahan Jalaluddin Rakhmat, Muthahhari Press.

(dibuat oleh KH DR Jalaluddin Rakhmat, Ketua Dewan Syura IJABI, untuk Khutbah 
'Idul Fithri 1433 H/2012 M, dan untuk dibacakan para Khatib IJABI se-Indonesia)

 
=> http://www.kompasiana.com/ahsa

Kirim email ke