PRIVATISASI
Asing Target Rights Issue Bank Mandiri dan BNI 

 Rabu, 4 Agustus 2010



JAKARTA
(Suara Karya): Pemerintah mengharapkan rights issue PT Bank Negara
Indonesia (BNI) Tbk dan PT Bank Mandiri Tbk bisa ditawarkan ke investor
asing mengingat target rights issue tak dapat dipenuhi investor
domestik.

Menteri BUMN Mustafa Abubakar mengatakan, pemerintah menargetkan
perolehan Rp 20 triliun dari rights issue kedua bank pelat merah itu.

"Rights issue Bank Mandiri dan BNI itu butuh dana lebih Rp 20 triliun
yang akan diperoleh melalui instrumen pasar modal. Rp 20 triliun lebih
ini tidak mudah didapat dari dalam negeri, dan sangat diharapkan
investor asing akan memenuhi target perolehan ini" katanya.

Ia mengatakan, dengan target yang cukup besar itu diharapkan ada
partisipasi investor asing dalam aksi korporasi dua bank BUMN tersebut.

Mustafa menambahkan, jika target dana Rp 20 triliun itu terealisasi,
BNI dan Bank Mandiri bisa menyalurkan kredit hingga Rp 200 triliun jika
memakai gearing ratio hingga 10 kali. "Dana sebanyak itu akan masuk ke
sektor riil dan membantu perkembangan ekonomi kita," ujar Mustafa.

Seperti diketahui, Bank Mandiri dan BNI berniat menerbitkan saham baru
untuk menggenjot modal supaya bisa menyalurkan kredit lebih tinggi.
Aksi korporasi itu sudah disetujui pemerintah selaku pemegang saham,
dan saat ini sedang proses persetujuan DPR.

Menurut Mustafa, hingga akhir tahun depan, pemerintah menargetkan dapat
melakukan privatisasi terhadap 8-10 perusahaan milik negara dengan cara
initial public offering (IPO), strategic sales, likuidasi, atau
divestasi seluruh saham.

Dia merinci, privatisasi akan dialami BUMN di sektor konstruksi, jasa
pembiayaan, asuransi, dan semen. "Tahun 2011 nanti ada sekitar 8-10
BUMN yang akan diprivatisasi," ujarnya.

Mengenai rencana privatisasi sektor perkebunan, Mustafa mengatakan,
akan didahului dengan pembentukan holding atau induk usaha, setelah itu
baru dilakukan privatisasi.

Selain itu, tahun ini pemerintah juga akan melepas kepemilikan saham
(divestasi) pada tiga BUMN, yaitu PT Primissima, PT Kertas Padalarang,
dan PT Sarana Karya.

Menurut asisten II Deputi Privatisasi dan Restrukturisasi BUMN,
Dwijanti Tjahaningsih, rencana penjualan saham BUMN itu sudah mendapat
persetujuan Menteri Keuangan dan sedang menunggu pembahasan di DPR.

"Ada tiga opsi, yaitu ditawarkan kepada pemegang saham exsisting,
strategic sales, atau kombinasi existing dan strategic sales," ujarnya.

Saat ini, saham pemerintah di Primissima sebesar 52,79 persen, sisanya
sebanyak 47,21 persen saham GKBI Invesment. Primissima bergerak di
bidang produksi dan distribusi produk tekstil.

Pada Kertas Padalarang, pemerintah menguasai 48,44 persen saham, dan
sisanya milik Kertas Kraft Aceh (KKA). Sedangkan Sarana Karya seluruh
sahamnya atau 100 persen dikuasai pemerintah.

Ia mengatakan, saat ini sudah ada dua perusahaan yang berminat
mengambil alih Primissima dan Padalarang, sedangkan Sarana Karya akan
diakuisisi oleh BUMN lainnya.

Selain tiga perusahaan itu, privatisasi juga akan dilakukan oleh PT
Krakatau Steel dan PT Garuda Indonesia yang akan menjual sahamnya lewat
bursa. (Kentos)

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=259065

     
             
         
                         



Fraksi PG; Waspadai Perbankan Nasional Dikuasai Kartel Asing
JAKARTA - Fraksi Partai Golkar DPR-RI mensinyalir
adanya kartel asing di industri perbankan nasional, terbuktinya dengan
masih tingginya margin bunga atau net interest margin (NIM). Sampai
saat ini, NIM perbankan nasional mencapai 7 persen. Tingginya NIM
tersebut juga disinyalir sebagai biang keladi rendahnya daya saing
produk Indonesia di tingkat global. FPG meminta Bank Indonesia dan
Pemerintah untuk mewaspadai perbankan nasional dikuasai kartel asing.
Demikian dikatakan oleh Sekretaris Fraksi Partai Golkar Ade Komarudin
melalui Siaran Pers yang dikirim ke media massa, di Jakarta (27/1/2010).

“Di
dunia ini, cuma di Indonesia yang suku bunganya sulit turun. Dalam
keadaan krisis ekonomi atau tidak, NIM perbankan nasional tetap tinggi.
Ini bukti bahwa ada kartel asing yang menguasai industri perbankan
nasional.”

Tingginya margin bunga (NIM) juga dipandang FPG
sebagai biang keladi terhadap rendahnya daya saing produk yang
dihasilkan pengusaha nasional dalam berkompetisi di tingkat global.
“Bagaimana mau kompetitif, kalau tingkat suku bunga yang harus
ditanggung swasta nasional lebih tinggi dibanding dengan pengusaha,
misalnya dari China. Ya, wajar saja produk kita sulit bersaing di
tingkat global.” 

Mengingat perbankan nasional merupakan tulang
punggung perekonomian, FPG, kata Ade Komarudin, meminta kepada Bank
Indonesia dan pemerintah harus mampu meyakinkan investor asing yang
menguasai perbankan nasional untuk berperan secara signifikan dalam
menggerakkan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara nasional,
sehingga tujuan yang ingin dicapai pemerintah untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat, tercapai dalam kurun waktu yang tidak terlalu
lama. 

“FPG mempertanyakan sampai sejauh mana peran BI mampu
meyakinkan kalangan perbankan yang mayoritasnya dikuasai asing menekan
tingkat suku bunga seiring dengan suku bunga acuan yang diputuskan oleh
BI. Kalau melihat NIM perbankan nasional, Bank Indonesia sepertinya
tidak berdaya menghadapi kartel asing tersebut.”

Lebih lanjut
dikatakan oleh Ade, semasih margin bunga perbankan nasional masih
setinggi ini, akan menyulitkan swasta nasional tumbuh dan berkembang.
“Bila demikian adanya, jangan berharap terlalu banyak angka
pengangguran dan kemiskinan akan turun secara signifikan. Sudah
saatnya, pemerintah dan Bank Indonesia mampu menekan kartel asing agar
NIM perbankan nasional sesuai dengan suku bunga acuan.”

FPG,
jelas Ade, menilai maraknya investor asing mengincar perbankan nasional
tidak terlepas dari peran IMF. Hal itu terbukti, semenjak
ditandatangani kesepakatan Letter of Intent (LoI) dengan International
Monetary Fund (IMF) dan dilanjutkan dengan pembaruan Undang-Undang
Perbankan menjadi UU. No. 10 tahun 1998 di era Presiden B.J. Habibie
yang membolehkan kepemilikan asing pada bank lokal mencapai 99 persen,
investor asing semakin gencar mencaplok perbankan nasional.

Karena
itu, lanjutnya, FPG meminta agar Bank Indonesia dan pemerintah
mewaspadai sepak terjang investor asing di industri perbankan nasional.
“Pemerintah dan Bank Indonesia harus segera membentuk Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) sesuai amanat UU No.3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia.
Rakyat sudah mengetahui betapa lemahnya pengawasan perbankan yang
dilakukan oleh BI, jadi satu-satunya jalan adalah memisahkan pengawasan
perbankan dari BI sesuai amanat UU dengan membentuk OJK.”

FPG,
kata Ade Komarudin, meminta semua pihak untuk berkaca atas Kasus bank
Century yang di caplok oleh investor asing. “Kasus Bamk Century ini
harus dijadikan pelajaran pahit oleh otoritas moneter, betapa bahayanya
industri perbankan nasional dikuasai oleh asing. Begitu bank tersebut
bermasalah, pemiliknya lari. Akhirnya, rakyat Indonesia juga yang harus
menanggung kerugiannya.”

Dalam kajian FPG, berikut daftar perbankan nasional yang sudah dikuasai oleh 
investor asing;

Danamon
(68,83 persen dimiliki oleh Temasek Holding – Singapura), Bank Buana
(61 persen dimiliki oleh UOB Singapura), UOB Indonesia (100 persen
dimiliki oleh UOB Singapura),NISP (72 persen dimiliki oleh OCBC
Singapura), OCBC Indonesia (100 persen dimiliki oleh OCBC Singapura),
Swadesi (76 persen dimiliki oleh State Bank of India), Indomonex (76
persen dimiliki oleh State Bank of India), Nusantara (75,41 persen
dimiliki oleh Tokyo Mitsubishi Jepang), CIMB Niaga (60,38 persen
dikuasai oleh CIMB group Malaysia), Bumiputera (58.32 persen dikuasai
oleh Che Abdul Daim Malaysia), BII (55,85 persen dikuasai oleh Maybank
Malaysia), Haga (100 persen dimiliki oleh Rabobank Belanda), Rabobank
(100 persen dimiliki oleh Rabobank Belanda), Hagakita (100 persen
dimiliki oleh Rabobank Belanda), Halim Internasional (90 persen
dikuasai oleh ICBC Cina), Swaguna (99,98 persen dikuasai oleh Victoria
Australia), ANK (95 persen dikuasai oleh Commonwealth Australia), Panin
(35 persen dimiliki oleh ANZ Bank Australia), ANZ Panin Indonesia (100
persen dimiliki oleh ANZ Bank Australia), SCB Indonesia (100 persen
dimiliki oleh Standard Chartered Bank Inggris), Permata (44,5 persen
dimiliki oleh Standard Chartered Bank Inggris), BTPN (71,6 persen
dimiliki oleh Texas Pacific Amerika Serikat) dan Bank Ekonomi Raharja
(88,89 persen dimiliki oleh HSBC Hongkong). 

FPG memandang
perlu segera diambil langkah terpadu dari Bank Indonesia, Pemerintah
dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha dengan mengeluarkan kebijakan yang
mengatur batas maksimum kepemilikan asing, group usaha atau perorangan
dalam industri perbankan nasional.

Lalu Mara Satria Wangsa
Wakil Sekjen Bidang Informasi dan Penggalangan Opini
laluma...@yahoo.com
http://myzone.okezone.com/index.php/content/read/2010/01/27/3/533/fraksi-pg-waspadai-perbankan-nasional-dikuasai-kartel-asing




      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke