-------------------------------------------- Sumber: Majalah Rohani Vacare Deo ( http://www.holytrinitycarmel.com ) --------------------------------------------
Panggilanku adalah Cinta Kasih (Menjadi Kudus seturut Teladan Santa Theresia Lisieux) Oleh: Sr. Maria Rafaella, P.Karm Pengantar Suatu hari di sebuah biara ada seorang suster muda yang diberi tugas oleh pimpinan untuk merawat seorang suster tua yang sedang sakit. Suster muda itu dengan penuh semangat menerima tugas yang diberikan kepadanya, maka mulailah ia melakukan tugas tersebut. Saat waktu makan bersama tiba, suster muda itu pergi ke kamar suster tua tadi untuk membantu dia berjalan menuju ke ruang makan. Karena penuh semangat dan sukacita, maka ketika ia menuntun suster tua itu tanpa disadarinya ia berjalan terlalu cepat sehingga membuat si suster yang dituntunnya terseok-seok mengikuti langkah kaki si suster muda tadi. Maka, segeralah si suster tua itu mengomel dan marah pada suster muda tadi karena menganggap suster muda itu sengaja mau membuat dia terjatuh. Suster muda itu pun kemudian meminta maaf dan dengan tersenyum ia mulai menuntun suster tua dengan jalan lebih lambat. Namun, rupanya bagi suster tua tadi, kali ini suster muda itu berjalan terlalu lambat sehingga membuat ia kesal karena akan lama sampai di ruang makan. Maka, suster muda itu pun kembali menerima omelan dan kemarahan dari suster tua yang dituntunnya. Lagi-lagi suster muda itu hanya tersenyum dan meminta maaf karena telah membuat suster tua tadi menjadi jengkel dan kesal. Setelah mereka berdua sampai di ruang makan pun suster muda itu kembali menerima omelan karena saat ia memberikan roti, ia memotongnya terlalu besar sehingga suster tua itu sulit untuk memakannya. Setelah roti dipotong lebih kecil pun ternyata salah juga, karena suster tua itu menganggap potongan rotinya terlalu kecil sehingga akan lama sekali menghabiskan makanan itu. Menerima segala omelan dan kemarahan tadi suster muda itu hanya tersenyum dan tak menunjukkan kekesalan di wajahnya. Ia meminta maaf walaupun ia merasa tidak sengaja melakukan hal-hal yang membuat suster tua itu jengkel. Suster muda yang penuh senyum dan kasih itu tak lain adalah Santa Theresia Lisieux, salah seorang kudus Karmel yang mencapai tingkat kekudusan melalui jalan cintakasihnya. Selama hidupnya di biara, tak jarang ia mendapat perlakuan yang tidak enak dari sesamanya, namun cintakasih yang besar yang ada dalam dirinya membuatnya mampu menerima dan melewati semua itu, hingga akhirnya ia mencapai persatuan cintakasih yang sempurna dengan Tuhan. Inilah salah satu jalan yang dapat kita lalui untuk sampai kepada kekudusan yang menjadi tujuan hidup kita semua. Mencintai Berarti Memberikan Diri Setiap manusia di dunia ini pasti pernah merasakan mencintai dan dicintai. Orang tua mencintai anaknya, sebaliknya anak mencintai orang tuanya; suami mencintai istri, demikian pula istri mencintai suami; kakak mencintai adik; seorang sahabat mencintai sahabatnya; guru mencintai murid-muridnya; dan sebagainya. Jika seseorang mencintai maka sebenarnya ia memberikan apa yang ada pada dirinya kepada orang yang dicintainya. Tak diragukan lagi bahwa orang tua yang mencintai anak-anaknya akan selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya, terutama memberikan dirinya, kehadirannya dalam hidup anak-anaknya, perhatian, pendampingan, dan bimbingannya bagi anak-anaknya. Begitupun jika seseorang mencintai pasangannya, maka ia tak akan ragu-ragu memberikan seluruh hatinya kepada pasangan yang dicintainya, ia akan berusaha menyenangkan hati pasangannya dengan memberikan segala sesuatu yang baik bagi pasangannya. Tak ada manusia di dunia yang menginginkan sesuatu yang buruk untuk orang yang dicintai. Bagi Santa Theresia, mencintai dengan memberikan diri ini adalah sesuatu yang harus selalu ia lakukan dalam kehidupannya sehari-hari. Dengan sesama bahkan yang menjengkelkan sekalipun ia tetap berusaha memberikan diri untuk mencintai mereka. Theresia tidak membiarkan dirinya dihalangi oleh perasaan jengkel dan antipati dalam mencintai. Theresia mengatakan, "Siapa mencintai dia berjalan cepat, bahkan terbang. Dia bebas, dia dalam sukacita, serta tidak ada yang dapat menahannya. Cintakasih tidak memperhitungkan apa yang harus dibayar. Tidak ada sesuatupun yang mustahil baginya. Oleh karena itu, dia melakukan banyak perkara besar. Tidak ada kelelahan yang melemahkan dia, tidak ada sesuatu apa pun yang menahannya, tidak ada kekuatiran yang menggoyahkan dia. Dan, sebagai suatu nyala yang hidup dia selalu menuju ke surga." (Kasih, Kepercayaan, dan Pasrah, Bab IV) Cintakasih membuat seseorang berani keluar dari dirinya untuk mencintai orang lain. Ia berani memberikan dirinya bagi orang yang dicintai. "Jika kamu mengasihi Aku, kamu akan melaksanakan segala perintah-Ku" (Yoh. 14: 15) Keluar dari diri sendiri, memberikan diri sendiri untuk melakukan sesuatu yang menyenangkan hati orang yang dicintai. Maka, jika kita mencintai Tuhan, kita pun dengan senang hati akan keluar dari diri kita dan memberikan diri kita untuk melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya. Itu adalah bukti bahwa kita dipenuhi cinta akan Dia. Yesus sendiri telah menjadi contoh terbaik dalam hal mencintai. Ia melupakan diri-Nya, Ia keluar dari diri-Nya sendiri, dan memberikan diri-Nya untuk manusia yang dicintai-Nya dengan merelakan diri menderita, bahkan sampai wafat di kayu salib. Dipenuhi cinta yang begitu besar terhadap manusia, dengan berani Ia melakukan kehendak Bapa dan membayar kita dengan darah-Nya di atas kayu salib. Ini adalah suatu pemberian diri yang terbesar yang pernah ada di dunia ini. "Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya" (Yoh. 15: 13) Mencintai adalah Menerima Orang Lain Bagi Theresia, menerima orang lain apa adanya merupakan suatu cara juga dalam mencintai. Jika kita bisa melupakan segala kelemahan yang ada pada diri orang lain dan menerima mereka apa adanya, itu merupakan suatu tanda bahwa kita telah mencintai. Bersabar terhadap orang lain merupakan bukti cintakasih yang tumbuh dalam diri kita. Dalam kehidupannya begitu banyak hal yang menunjukkan betapa Theresia melupakan diri dan menerima keberadaan orang lain yang sebenarnya menjengkelkan hatinya. Suatu peristiwa saat ia mencuci pakaian bersama dengan suster-suster yang lain, ada seorang suster yang setiap kali memercikkan air kotor ke wajahnya. Pada mulanya Theresia berusaha mundur dan menghindar, tetapi kemudian dia sadar bahwa itu adalah tindakan yang bodoh. Maka, dengan berjuang ia berusaha menerima suster itu dengan sabar dan ia pun menerima percikan air kotor di wajahnya dengan kasih. Tindakan Theresia ini mungkin kelihatan biasa saja dan tidak istimewa, namun di sinilah letak keistimewaannya. Tindakan yang biasa itu telah membawa banyak rahmat berlimpah bagi diri Theresia. Ia yang selalu berusaha menerima diri orang lain apa adanya membuat dirinya semakin berkembang dalam cintakasih. Theresia menuliskannya dalam buku autobiografinya, "Ah, sekarang aku tahu, bahwa kasih sejati terdapat dalam menanggung kekurangan-kekurangan sesama kita, dengan tidak heran bahwa mereka lemah." Theresia bukan saja menanggung kesalahan-kesalahan sesamanya, namun ia juga memandang mereka dengan mata kasih yang selalu terbuka, sebagai sarana-sarana yang disiapkan Tuhan untuk membebaskan dia dari cinta diri dan egoismenya. Kita ingat bahwa Santo Paulus juga mengatakan bahwa "cintakasih itu sabar" (lih. 1Kor. 13: 4). Dengan kesabaran ini kita mau berusaha menerima orang lain, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, dengan hati yang penuh kasih. Kepada murid-murid-Nya, Yesus juga pernah bersabda, "Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu" (Mat. 5: 44). Yesus mau menegaskan kepada kita bahwa mencintai bukan hanya kepada sebagian orang yang menyenangkan kita, namun mencintai juga mau mendoakan mereka yang menyakiti kita, menerima orang yang memusuhi kita, tanpa ada keinginan untuk membalas dendam. "Dan jikalau kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu? Karena orang-orang berdosa pun mengasihi juga orang-orang yang mengasihi mereka" (Luk. 6:32). Dengan sabda-Nya ini Yesus kembali menegaskan bahwa untuk sempurna dalam cintakasih maka kita juga harus mengasihi orang-orang yang tidak baik kepada kita dan yang menyakiti kita. Tak sulit jika kita dituntut mencintai orang yang baik dan simpati pada kita. Akan tetapi, mencintai orang yang telah menyakiti kita merupakan suatu hal yang sangat sulit. Mengingat perlakuannya saja sudah membuat kita sakit hati, bagaimana mungkin kita dapat memberikan kasih kita kepadanya? Namun, jika kita berhasil melakukannya, maka kita akan dipenuhi damai serta semakin kudus dan sempurna dalam cintakasih. Hal inilah yang dihayati oleh Theresia Lisieux sampai ia mencapai tingkat kekudusan yang luar biasa. Hidup bagi Orang Lain Dengan sikap menerima orang lain dan memberikan diri bagi orang lain, Theresia menyadari bahwa hidup kita, hidup seorang Kristen, adalah hidup bagi orang lain. Hidup rela berkorban dan melayani orang lain tanpa membedakan dan memilih-milih. Seorang Kristen adalah manusia bagi orang lain. Menyadari itu semua maka Theresia mengatakan, "Hanya cinta sesamalah yang dapat melapangkan hatiku. O Yesus, sejak saya dihanguskan oleh api yang membahagiakan itu, penuh sukacita saya menempuh jalan perintah-Mu yang baru. Saya akan tetap melangkah di jalan ini sampai hari yang membahagiakan itu tiba, bila saya digabungkan dalam barisan para perawan mengikuti Engkau dalam keabadian, sambil menyanyikan nyanyian baru, yang tak lain adalah CINTAKASIH" (autobiografi). Seperti Theresia, kita juga harus bisa menyadari bahwa hidup kita ini adalah hidup bagi orang lain. Kita adalah makhluk sosial yang tak mungkin hidup seorang diri di dunia ini. Tiap saat kita harus berhubungan dengan orang lain, maka di sinilah cintakasih itu sangat menentukan bagaimana relasi dengan sesama dapat terjalin dengan baik. Hidup kita bukanlah milik diri kita sendiri. Dengan menyadari hal ini kita lebih tidak mudah jatuh dalam cinta diri. Hidup bagi orang lain akan membuat kita bebas dalam mencintai sesama, tidak terpaku pada sebagian orang saja, melainkan bagi semua orang, terlebih yang ada di sekitar kita. Hidup bagi Allah Hidup bagi sesama dan cinta pada sesama tidak dapat terjadi jika kita tidak hidup bagi Allah dan mencintai Dia. Begitu juga sebaliknya, jika kita tidak dapat mencintai sesama yang kelihatan bagaimana kita dapat mencintai Allah yang tidak kelihatan? Kedua hal ini saling berkaitan erat. Jika kita hidup bersatu dengan Allah dan mencintai Dia sungguh-sungguh, maka akan mudah bagi kita untuk mencintai sesama yang adalah ciptaan Allah. Juga jika kita dapat mencintai sesama dengan tulus maka kita pun mencintai Allah yang hadir dalam diri sesama itu. Theresia telah memberikan hidupnya hanya bagi Tuhan dalam segala sesuatu. Bahkan ia menyamakan dirinya dengan sebuah bola kecil di tangan kanak-kanak Yesus. Sekali waktu bola itu dibiarkan tergeletak di pojok ruangan, dan di lain waktu bola itu diambil dan ditendang serta dilempar ke mana saja dikehendaki oleh Yesus. Dalam hal ini Theresia benar-benar memberikan dirinya tanpa syarat kepada Tuhan. Apa pun yang dikehendaki oleh Tuhan akan dilakukannya. Dia tidak memaksa dan meminta ini dan itu, tetapi ia sadar bahwa hidupnya adalah milik Tuhan, dan ia hidup hanya untuk menyenangkan hati Tuhan. Bahkan saat bola kecil itu terlupakan di sudut ruangan, ia tidak keberatan. Ini adalah bukti cintanya yang murni. Dengan kesadaran itu Theresia mempersembahkan seluruh dirinya dan hidupnya hanya bagi Tuhan saja. Inilah cinta yang membuat seseorang hidup bagi orang yang dicintainya. Theresia yang begitu mencintai Allah telah menjalani hidupnya melulu bagi Dia yang dicintainya. Jiwa Theresia dipenuhi dengan kerinduan yang menyala-nyala untuk memuliakan Allah dengan melupakan diri sendiri secara total. Dia mengatakan, "Saya tidak mau mengumpulkan jasa-jasa bagi surga. Saya hanya bekerja demi cinta kepada-Mu dengan tujuan satu-satunya untuk menyenangkan Engkau dan untuk menyelamatkan jiwa-jiwa, supaya mereka kemudian dapat mencintai-Mu untuk selama-lamanya." (Kasih, Kepercayaan, dan Pasrah, Bab IV) Cinta yang Murni Tanpa Pamrih Theresia mencintai Tuhan tanpa mengharapkan balasan apa pun bagi dirinya. Ia tak pernah menginginkan pemberian-pemberian yang menyenangkan bagi dirinya sendiri. Theresia menyadari bahwa cintanya haruslah cinta yang tulus dan murni, tanpa pamrih. Saat dalam kekeringan yang besar pun Theresia tetap mencintai Tuhan tanpa mengeluh, bahkan ia merasa begitu gembira karena dapat memberikan kepada Tuhan suatu cinta yang murni. Dikatakannya, "Yesus tidak berkata apa-apa kepadaku dan aku pun tidak mengatakan apa-apa kepada-Nya, kecuali bahwa aku semakin mencintai Dia daripada diriku sendiri. Dan aku merasa jauh di lubuk hatiku bahwa memang demikianlah adanya. Sebab sesungguhnya aku ini lebih menjadi milik-Nya daripada milikku sendiri. Saya akan merasa malu kalau cintaku itu serupa dengan cinta para kekasih di dunia ini yang selalu terarah pada tangan kekasihnya untuk melihat apakah dia tidak datang membawa suatu hadiah bagi dia, atau memandang wajahnya untuk menemukan suatu senyuman cintakasih yang menyejukkan hati." Cintanya yang tanpa pamrih ini membawa dia melupakan dirinya sendiri dan hanya memikirkan Tuhan saja. Satu ungkapan yang sangat menyentuh dikatakan oleh Santa Theresia, "Seandainya hal itu mungkin, bahwa Allah tidak melihat perbuatan-perbuatan baik saya, saya tidak akan berduka karenanya. Saya begitu mengasihi Dia, sehingga melalui cinta kasihku dan kurban-kurbanku, saya mau menyenangkan hati-Nya. Bahkan kalau mungkin tanpa diketahui oleh-Nya, bahwa itu berasal dari saya." Penutup Santa Theresia Lisieux telah menemukan panggilannya di dunia ini, yaitu "cintakasih". Ia menyadari sepenuhnya bahwa hanya dengan jalan cintakasih inilah ia akan sampai kepada kekudusan dan persatuan dengan Tuhan. Santo Yohanes Salib mengatakan bahwa di akhir senja hidup ini, kita akan diadili menurut besarnya cintakasih yang kita miliki. Maka, jelaslah bahwa dengan berkembang dalam cintakasih, kita akan semakin mendekati kesempurnaan dan kekudusan, kita akan semakin diubah menjadi seperti Allah yang adalah "Kasih" itu sendiri. Cintakasih adalah satu-satunya jalan yang paling luhur dan aman untuk sampai kepada Allah. Maka, marilah di awal tahun yang baru ini kita juga mau memberikan diri dan hidup kita untuk mencintai dan mencintai. Mari kita memperbarui persembahan diri kita kepada Tuhan melalui jalan cintakasih ini dengan bantuan Santa Theresia Lisieux. Biarlah di tahun ini kita semakin berkembang dan bertumbuh dalam cintakasih. Sharing: * Mencintai berarti mau menerima kekurangan orang lain. Bagaimana pengalaman Anda selama ini dalam hubungan dengan sesama. Sudahkah Anda dengan rela menerima kekurangan dan kelemahan sesama? Bagaimana Anda memperlakukan sesama yang menjengkelkan dan menyakiti hati Anda? Apakah cintakasih telah membuat Anda bisa menerima mereka dan mengampuni mereka? Sharingkanlah pengalaman Anda dan perjuangan-perjuangan Anda dengan teman-teman dalam sel. * Bagaimana Anda menghayati hidup bagi orang lain? Apa saja yang sudah Anda lakukan bagi orang lain selama ini? Perbuatan apa saja yang menurut Anda dapat mencerminkan bahwa kita sudah menghayati hidup bagi orang lain? Sharingkanlah pengalaman dan pendapat Anda dalam sel. Dalam Kasih Kristus, Redaksi VacareDeo ====================================== Silahkan bagikan renungan ini ke teman terdekat Sdr/i. Tuhan memberkati. ====================================== Bagi yang ingin mengutip/menyebarkan artikel ini, harap tetap mencantumkan sumbernya. Terima kasih. Sumber: Majalah Rohani Vacare Deo ( http://www.holytrinitycarmel.com ) ====================================== Ikutilah milis Renungan VacareDeo, setiap bulan dg 2 artikel pilihan. Untuk bergabung, kirim email ke: renungan-vacaredeo-subscr...@yahoogroups.com .