Dear all member;
Dengan rasa hormat saya; saya menulis artikel ini tidak untuk
diperdebatkan atau dipermasalahkan.
Dengan sengaja saya menulis ini. Karena artikel ini sangat bagus
kita baca untuk pengetahuan kita. Budhayana Indonesia adalah aliran
Buddha yang lahir di bumi pertiwi ini Indonesia. Dengan Tokoh
Tionghoa dan Tokoh Buddhis kita yang luar biasa yaitu
Bhikku Ashin Jinarakkhita.
The Boan An (lahir di Bogor pada 23 Januari 1923; juga dikenal
dengan panggilan Su Kong) adalah bhikkhu Indonesia pertama dalam 500
tahun saat ia ditahbiskan pada tahun 1953.Beliau menyelesaikan
sekolah dasarnya di Kota Kembang - Bogor, lalu melanjutkan sekolah
menengahnya di PHS Jakarta, kemudian HBS B di Jakarta. Beliau
melanjutkan pendidikan tingginya di THS Bandung (sekarang ITB) pada
jurusan Ilmu Pasti Alam. Beliau tidak sempat menamatkan
pendidikannya di THS karena perkuliahan dihentikan ketika Jepang
masuk ke Indonesia, juga beliau belajar kimia di Groningen, Belanda.
Namun pada Juni 1953 beliau ditahbiskan dalam tradisi Mahayana di
Jakarta. Semasa kecil beliau hidup prihatin. Untuk membantu
meringankan beban kedua orang tuanya beliau bekerja sebagai loper.
Walaupun demikian jiwa sosialnya sudah terlihat, beliau sering
membagikan makanan kecil yang dibeli dari hasil jerih payahnya
kepada teman-teman sepermainannya.
Ketika masih berusia belasan tahun, beliau sudah menjadi seorang
vegetarian. Beliau juga tertarik pada dunia spiritual, beliau sering
belajar kepada para suhu di kelenteng-kelenteng, haji, pastur, dan
tokoh-tokoh teosofi. Beliau mengenal agama Buddha dari tokoh-tokoh
Teosofi dan dari perkumpulan Tiga Ajaran.
Filsafat modern maupun kuno sudah menjadi makanan sehari-harinya.
Jika anak-anak lainnya senang bermain-main, Bo An, demikian nama
kecil beliau, lebih suka mengembangkan kehidupan batinnya, misalnya
dengan bertapa di Gunung Gede. Ketika menjelang dewasa beliau aktif
dalam usaha pemberantasan buta huruf dan ikut dalam kegiatan dapur
umum untuk menolong rakyat sekitar yang kelaparan.
Pembimbingnya menganjurkan agar beliau belajar lebih lanjut di Myanmar, karena 
itu pada tahun yang sama beliau masuk Sasana Yeiktha di Yangon untuk belajar 
meditasi satipatthana di bawah bimbingan Mahasi Sayadaw. Pada tahun berikutnya 
beliau ditahbiskan menjadi bhikkhu dan mengambil nama Ashin Jinarakkhita. 
Beliau menjadi bhikkhu Indonesia pertama dalam 500 tahun. Pada tahun 1955 
beliau kembali ke Jawa dan dengan kerja keras membangun kembali vihara-vihara 
dan biara-biara Buddhis.Pada tanggal 17 Januari 1955 beliau pulang ke 
Indonesia. Kembalinya beliau ke Indonesia membawa kegairahan tersendiri bagi 
simpatisan Buddhis di Indonesia. Beliaulah putra pertama Indonesia yang menjadi 
bhikkhu sejak keruntuhan Kerajaan Majapahit. Di Jakarta beliau tidak berdiam 
diri. Beliau segera merencanakan untuk mengadakan tour Dharma ke berbagai 
daerah di Indonesia.

Akhir tahun 1955 dimulai tour Dharma ke pelosok-pelosok tanah air.
Beliau memulainya dari daerah Jawa Barat. Dalam perjalanannya itu
beliau mengunjungi setiap daerah yang ada penganut agama Buddha-nya,
tidak peduli di kota-kota besar maupun di desa-desa terpencil.
Kunjungan beliau memberi arti tersendiri bagai umat Buddha Indonesia
di berbagai daerah yang baru pertama kali melihat sosok seorang
bhikkhu. Tour Dharma ini tidak terbatas di Pula Jawa saja. Bali,
Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, dan pulau-pulau lainnya juga beliau
kunjungi. Pendek kata, hutan diterobosnya, gunung didaki, laut
diseberangi, untuk membabarkan Dharma yang maha mulia ini kepada
siapa saja yang membutuhkannya.

Setelah semakin banyak umat Buddha, dan semakin banyak murid beliau
yang ditahbiskan menjadi upasaka, Bhante Ashin mendirikan
Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia (PUUI), pada bulan Juli 1955
di Semarang. Pada tahun 1979 PUUI berganti nama menjadi Majelis
Buddhayana Indonesia.

Dalam setiap kesempatan berkunjung ke berbagai daerah tersebut
Bhante Ashin selalu mengingatkan umatnya untuk tidak bertindak masa
bodoh terhadap kebudayaan dan ajaran agama Buddha yang sudah sejak
dulu ada di Indonesia. Galilah yang lama, sesuaikan dengan jaman dan
lingkungan. Beliau menegaskan bahwa usaha mengembangkan agama Buddha
tidak dapat lepas dari upaya untuk meningkatkan taraf hidup bangsa
Indonesia secara keseluruhan. Beliau mendorong umatnya untuk terus
menggali warisan ajaran Buddha yang tertanam di Indonesia. Karena
bagaimanapun, secara kultural ajaran yang pernah membawa bangsa kita
pada jaman keemasan Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit itulah yang
akan lebih bisa diterima oleh bangsa kita sendiri.

Salah satu hasil penggalian yang sangat penting adalah konsep
Ketuhanan dalam agama Buddha yang dianut oleh nenek moyang Bangsa
Indonesia. Dari berbagai penelitian terhadap naskah-naskah kuno
dalam Kitab Sanghyang Kamahayanikan, oleh para cendikiawan Buddhis
Indonesia kala itu, yang merupakan murid-murid Bhante Ashin,
akhirnya istilah Sanghyang Adi Buddha dinyatakan sebagai sebutan
Tuhan dalam agama Buddha khas Indonesia. Doktrin inilah yang sejak
saat itu giat disebarkan oleh murid-murid Bhante Ashin, diantaranya
Alm Y.A. Bhikkhu Girirakkhito Mahathera, Herman S. Endro
Dharmaviriya, Dicky Soemani, Karbono, dan sebagainya. Namun
sayangnya ada beberapa diantara mereka yang akhirnya malah menentang
dokrin Sanghyang Adi Buddha ini.

Sikap yang terus konsisten pada diri Bhante Ashin ialah beliau tidak
pernah berpihak kepada salah satu mazhab/sekte manapun dalam agama
Buddha. Disamping menyebarkan ajaran Theravada, beliau juga tidak
meninggalkan ajaran Mahayana dan Tantrayana. Semua diserahkan kepada
pribadi masing-masing umatnya. "I am just a servant of the Buddha,"
ujarnya suatu saat kepada Y.A. Dalai Lama.

Salah satu murid beliau yang bernama Ong Tiang Biauw ditahbiskan
menjadi samanera dan akhirnya menjadi Bhikkhu Jinaputta. Setelah
jumlah bhikkhu di Indonesia mencapai lima orang, Bhante Ashin
kemudian mendirikan Sangha Suci Indonesia. Pada tahun 1963,
organisasi ini kemudian diubah namanya menjadi Maha Sangha
Indonesia. Namun tanggal 12 Januari 1972, lima orang Bhikkhu yang
sebenarnya adalah murid beliau sendiri, yang menganggap bahwa hanya
ajaran Theravada saja yang benar, memisahkan diri dari Maha Sangha
Indonesia dan mendirikan Sangha Indonesia. Walaupun kemudian sempat
bersatu kembali, dan Maha Sangha Indonesia dan diubah namanya
menjadi Sangha Agung Indonesia (Sagin), para Bhikkhu itu kembali
memisahkan diri dari Sangha Agung Indonesia dan mendirikan Sangha
Theravada Indonesia.

Tahun 1978, murid beliau yang lebih berorientasi ke aliran Mahayana,
memisahkan diri dari Sagin, dan mendirikan Sangha Mahayana
Indoneisa. Sekarang ini di dalam Sagin, yang masih tetap dipimpin
beliau terdapat persatuan yang manis antara para Bhikkhu (Sangha
Theravada), para Bhiksu (Sangha Mahayana), maupun para Wiku (Sangha
Tantrayana), dan para Bhiksuni (Sangha Wanita). Semua bersatu dalam
kendaraan Buddha (Buddhayana). Memang pengetahuan beliau yang luas
mengenai berbagai aliran dalam agama Buddha memungkinkan beliau
untuk dapat mengasuh umat dengan latar belakang yang berbeda-beda
sesuai dengan kebutuhan mereka masing-masing.

Sebagai seorang bhikkhu, beliau tidak hanya dikenal oleh umat Buddha
di Indonesia. Pada saat awal menjadi bhikkhu, beliau mendapat
julukan The Flying Monk oleh umat Buddha di Malaysia dan Singapura
karena kegesitan beliau untuk `terbang' dari satu tempat ke tempat
lain untuk membabarkan Dharma. Beliau juga beberapa kali mengikuti
beberapa kegiatan keagamaan yang berskala internasional. Di antaranya
Persamuan Keenam (Chatta Sangayana) yang diadakan di Rangoon, tahun
1954-1956, juga konferensi-konferensi yang diadakan oleh The World
Buddhist Sangha Council maupun The World Fellowship of Buddhists.
Beliau juga pernah menjadi wakil presiden untuk The World Buddhist
Sangha Council dan The World Buddhist Social Services.

Saat ini beliau lebih banyak berdiam di Vihara Sakyawanaram, Pacet.
Bhante Ashin masih tetap hidup sederhana dibiliknya yang kecil di
vihara tersebut. Di usianya yang sudah senja ini, beliau memang
sudah tidak banyak membabarkan Dharma lagi. Namun beliau
tetap `mengajarkan' kepada kita semua, umat Buddha Indonesia,
melalui sikap dan tingkah laku beliau sehari-hari.

Banyak tokoh-tokoh Buddhis sekarang ini yang merupakan murid beliau.
Bapak Oka Diputhera, pejabat sementara ketua umum Walubi, mengenal
ajaran Sang Buddha dari beliau. Demikian pula dengan Alm. Bhante
Giri adalah salah satu murid beliau yang dulu sering bersama-sama
beliau dalam menyebarkan Dharma. Juga Brigjen Soemantri, salah satu
tokoh pendiri Walubi, merupakan salah satu murid beliau yang setia.
Dr. Parwati Soepangat, salah satu tokoh wanita Buddhis Indonesia
dahulu kerap ikut bersama beliau berkunjung ke berbagai daerah, pada
awal-awal masa kebangkitan agama Buddha di Indonesia.

Website Group saya
http://www.friendster.com/group/tabmain.php?statpos=gdis&fid=831393

Kirim email ke