--- On Tue, 11/11/08, Ulil Abshar-Abdalla wrote:
From: Ulil Abshar-Abdalla 
Subject: <JIL> Gagalnya ideologi kekerasan dalam Islam
To: [EMAIL PROTECTED], "KNU-ASK" <[EMAIL PROTECTED]>
Date: Tuesday, November 11, 2008, 11:18 PM










    
            Gagalnya ideologi kekerasan dalam Islam



Banyak kalangan yang khawatir bahwa dieksekusinya Amrozi dkk akan melambungkan 
status mereka sebagai seorang "syahid" atau martir di mata umat Islam. Beberapa 
kalangan was-was jika mereka dihukum mati, alih-alih akan memotong akar-akar 
ideologi kekerasan, hukuman itu justru akan membuat ideologi mereka menjadi 
menarik di mata umat Islam, terutama di kalangan anak-anak muda. 



Menurut saya, kekhawatiran semacam ini sama sekali tak beralasan. Untuk 
sementara, mungkin saja kematian Amrozi dkk akan menaikkan emosi umat Islam, 
terutama kalangan yang sejak dari awal memiliki simpat pada ideologi para 
pelaku pengeboman di Bali itu, meskipun tak serta merta mesti setuju dengan 
tindakan mereka. Tetapi, lambat-laun, Amrozi dkk akan hilang dari memori umat 
Islam. Dalam beberapa tahun saja, nama Amrozi, Imam Samudra, dan Ali Imron akan 
segera dilupakan oleh umat Islam. 



Salah satu perkembangan menarik setelah peristiwa 9/11 adalah bahwa hampir 
terjadi penolakan serentak di semua kalangan umat Islam, terutama kalangan yang 
moderat yang merupakan mayoritas dalam umat Islam, terhadap ideologi Al-Qaidah. 
Meskipun kita menjumpai simpati terhadap figur Osama bin Ladin di sebagian 
kalangan Islam, tetapi secara umum kita melihat suatu penolakan yang nyaris 
kompak terhadap tindakan Osama itu. Ratusan ulama dari berbagai sudut dunia 
Islam mengeluarkan fatwa yang dengan serentak menolak dan mengutuk tindakan 
para pelaku terorisme yang memakai nama Islam. Di mana-mana, kita mendengar 
suatu penegasan yang nyaris kategoris bahwa Islam adalah anti tindakan 
teoriristik, apalagi jika membawa korban masarakat sipil yang sama sekali tak 
berdosa (al-abriya') . 



Di Indonesia sendiri, setelah bom Bali, kita mendengar kutukan yang serentak 
dari semua tokoh-tokoh agama dan masyarakat, terutama kalangan Islam, terhadap 
tindakan nista itu. Memang ada banyak kalangan Islam yang secara apologetik 
mencari-cari alasan yang secara tak langsung hendak "memahami" dan, dengan 
demikian, secara implisit juga "membenarkan" tindakan pengeboman itu. Tetapi, 
suara dominan di kalangan Islam hampir seluruhnya menyatakan bahwa tindakan 
Amozi dkk itu salah secara kategoris dari sudut pandang ajaran Islam. 



Dengan kata lain, kalangan Islam arus utama sama sekali tak memberikan 
persetujuan atas tindakan kekerasan itu. Simpati terhadap Amrozi dkk tentu ada. 
Sejumlah kalangan Islam juga mencoba memahami tindakan Amrozi dkk dalam 
kerangka "teori konspirasi" di mana pihak Barat (dhi. Amerika dan sekutunya) 
dipandang sebagai yang berada di balik perstiwa itu. Tetapi, "apologetisme" 
semacam itu sama sekali tak bisa menolak fakta bahwa kalangan arus utama dalam 
Islam tetap mengutuk tindakan kekerasan tersebut. Ideologi Amrozi dkk sama 
sekali tak didukung oleh umat Islam arus utama. 



Saya kira ini yang menjelaskan, antara lain, kenapa hingga sejauh ini 
kelompok-kelompok kekerasan seperti Jamaah Islamiyah dan ideologi yang 
menyangganya sama sekali tak pernah mendapatkan tempat yang mantap di kalangan 
Islam arus utama. 



Sementara itu, perkembangan lain juga layak mendapat perhatian kita. Pada saat 
reputasi kelompok-kelompok Islam radikal-pro- kekerasan mengalami kemerosotan 
tajam, kita melihat perkembangan lain yang justru menarik, yaitu melambungnya 
reputasi sejumlah partai Islam dalam kancah politik resmi. Dalam kasus 
Indonesia, hal ini bisa dilihat dari maraknya Partai Keadilan Sejahtera (PKS). 
Gejala serupa juga kita lihat di sejumlah negeri Islam yang lain.



Perkembangan ini, menurut saya menandakan satu hal: bahwa umat Islam lebih 
memberikan "endorsement" pada perjuangan Islam secara "damai" melalui arena 
politik normal, seraya mengutuk metode kekerasan yang hanya akan membawa dampak 
fatal bagi umat Islam sendiri. 



Hukuman yang diberikan kepada tokoh FPI, Rizieq Syihab, baru-baru ini makin 
memperkuat kecenderungan yang kontrap-kekerasan ini. Hukuman itu boleh kita 
pandang sebagai paku terakhir yang ditancapkan pada peti-mati ideologi 
kekerasan atas nama Islam. Dengan mantap saya bisa mengatakan bahwa ideologi 
Osama bin Ladin, Amrozi, Rizieq Syihab dll. telah gagal memperoleh dukungan 
dari umat Islam arus utama. Ideologi itu telah gagal. 



Dengan mengatakan demikian, bukan berarti bahwa dukungan atas ideologi 
kekerasan hilang sama sekali dalam tubuh umat Islam. Dukungan itu akan selalu 
ada, tetapi tak akan pernah menjadi pandangan dominan dalam tubuh umat Islam. 
Penolakan kategoris atas ideologi ini yang kita lihat hampir di semua sudut 
dunia Islam makin membuat posisi ideologi itu terpinggirkan. Ideologi Osama 
pelan-pelan akan menjadi "residu" yang lambat-laun kehilangan relevansi dan 
ditinggalkan sama sekali oleh kalangan umat Islam.



Sementara itu, perkembangan dalam tubuh umat Islam sendiri dalam arena 
internasional makin mengarah pada "dialog antarperadaban" . Baru-baru ini, 
misalnya, Raja Saudi menuanrumahi suatu peristiwa yang saya anggap sangat 
historis dalam sejarah negeri Saudi, yaitu konferensi yang diniatkan untuk 
mendorong dialog antaragama. Dilihat dari sudut pandang ideologi Wahabisme 
(ideologi resmi negeri Saudi) yang sangat tertutup dan eksklusif, tindakan Raja 
Abdullah dari Saudi itu sangat berani dan bersifat terobosan. Raja Saudi konon 
akan menyeponsori acara serupa dalam waktu yang tak terlalu lama lagi di PBB. 



Momentum yang mengarah kepada dialog antarperadaban ini makin mendapatkan ruang 
setelah terpilihnya Presiden Barack Obama. Retorika kampanye presiden-terpilih 
Obama saat pemilu kemaren sangat menekankan kebijakan luar negeri yang lebih 
membuka dialog ketimbang memaksa pihak lain dengan laras senjata seperti kita 
lihat pada Presien Bush saat ini.



Dengan sedikit optimis, saya bisa mengatakan bahwa era Bush, Osama bin Ladin, 
Ayman Al-Zawahiri, Dr. Azahari, Amrozi, Imam Samudra, Rizieq Shihab dll. 
pelan-pelan mulai memudar. Kita sedang menjelang era lain yang jauh lebih 
"dialogis". Pelaku-pelaku utama dalam era ini bukanlah mereka yang menenteng 
senjata AK-47 di tangan kiri dan Kitab Suci di tangan kanan lalu meneriakkan 
Allahu Akbar seraya membunuhi nyawa-nyawa yang tak berdosa. Pelaku utama dalam 
era baru ini adalah mereka yang siap berjuang di kancah resmi, di panggung 
politik normal, berani adu pendapat, berani melakukan kompromi, seraya secara 
kategoris menolak kekerasan. 



Ulil Abshar Abdalla



[Non-text portions of this message have been removed]




      

    
    
        
         
        
        








        


        
        


      

Kirim email ke