BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM

WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU
[Kolom Tetap Harian ajar]

935 Refleksi Kritik Siti Musdah Mulia atas Fundamentalisme

Saya mulai dengan mengutip cuplikan tulisan Siti Musdah Mulia (SMM) yang 
daimbil dari: => http://kalyanamitra.or.id/newsdetail.php?id=0&iddata=94
"Pada umumnya gejala fundamentalisme Islam mengambil bentuk intensifikasi 
penghayatan Islam dalam format yang sangat tekstualis, baik dalam bentuk 
intensifikasi keislaman yang berorientasi ke dalam (inward oriented) yang lebih 
bersifat individual (psikologis), maupun yang berorientasi ke luar (outward 
oriented) yang lebih bersifat social-politik. Kelompok fundamentalis Islam 
(KFI) secara esensial memperjuangkan Islam sebagai pedoman hidup menyeluruh. 
Islam yang mencakup seluruh aspek dalam kehidupan manusia: mecakup system nilai 
dan system hukum. Islam berisi ajaran yang serba lengkap. Karena itu, 
istilah-istilah ekonomi Islam, politik Islam, keluarga Islam, Negara Islam, 
bank Islam, Ilmu pengetahuan Islam mendominasi retorika kelompok ini. 

Berbeda dengan kelompok pembaru (modernis) yang menenkankan pada aspek teologi 
atau nilai-nilai, KFI justru menekankan pada aspek fiqh dan memandang fiqh 
sebagai perwujudan dari teologi. Dan keterpaduan teologi dan fiqh ini 
melahirkan suatu komunitas Islam yang unik. Bagi mereka, Islam adalah identitas 
dalam kehidupan sosio-politik. Namun, secara sosiologis, pandangan 
fundamentalisme tidak memiliki masa depan Islam dimanapun, termasuk di 
Indonesia. Hal itu mengingat tendensi mereka yang menekankan literalisme 
sehingga pada gilirannya mengalami pemiskinan intelektual. 
Alternatif-alternmatif mereka yang sangat terbatas dan konsep-konsep mereka 
secara intelektual miskin itu tak bakal mampu menopang tuntutan-tuntutan zaman 
yang semakin meningkat."

Refleksi:
Secara sinis SMM memakai ungkapan KFI, padahal kalau disimak lebih jauh dan 
teliti, bukankah  KFI itu bermakna AhlusSunnah? Dalam Bedah Buku Kiamat Segera 
Tiba, Karya Prof HA Halim Mubin (HM) pada 28 Juli 2010, antara lain saya 
kemukakan: 

Berbeda dengan kebiasaan umum, saya mulai dengan kesimpulan: Karena seperangkat 
postulat (unproven statements) dari HM diambil dari ayat-ayat Al-Quran, maka 
ijtihad HM itu tidak merusak Aqidah, sehingga ijtihad HM kalau benar pahalanya 
dua, bila salah pahalanya satu, seperti juga yang dikemukakan Prof Azhar Arsyad 
dalam sambutannya. 

Ijtihad HM ini sangat jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para penganut 
"Islam" Liberal yang mereka dalam exegesis kontekual ayat Al-Quran memakai 
postulat produk benak manusia yaitu sekularisme, liberalisme, pluralisme dan 
genderisme (kesetaraan gender), yang memposisikan Wahyu di bawahnya akal 
manusia. 

***

Sekularisme, liberalisme dan genderisme tidak perlu dijelaskan lebih jauh, 
orang sudah faham. Lain halnya dengan prularisme. Beberapa pandangan ttg 
pluralisme:

Tokoh sufi Ibnu Arabi (560-638H/1165-1240M): Wihdatu al-Adyan (integrasi 
agama-agama). John Harwood Hich dalam bukunya God and the Universe of Faiths 
(1973): the Universe of Faiths. Komunitas Utan Kayu (sarangnya Jaringan Islam 
Liberal) dalam situs ww.islamlib.com: semua agama itu sama dan paralel, dan 
kita tidak boleh memandang agama lain dengan kacamata agama kita sendiri, tidak 
boleh ada truth claim dan salvation claim. Prof Syafii Maarif (SM) dalam acara 
Kick Andy, 29/7-2010: Pluralisme harus mendapatkan perhatian utama, karena 
bangsa Indonesia lahir dari banyaknya suku-suku yang bersatu. The Random House 
Dictionary of the English Language, p.1022: Pluralism, a theory that there is 
more than one basic principle. Beberapa pandangan (termasuk SM) yang 
mengacaukan makna pluralisme yang menganggap sama dengan istilah pluralitas. 
Istilah ini diadopsi dari plurality, yang menurut The Random House Dictionary 
of the English Language, p.1022: "the state or fact of being numerous." 

Jadi sesungguhnya ada perbedaan antara pluralisme dengan pluralitas. Pluralisme 
itu semacam teori sedangkan pluralitas adalah keadaan atau fakta keberagaman. 
Perbedaan di antara keduanya sebenarnya tidak terlalu musykil difahami jika 
mengacu pada Firman Allah SWT: 
-- LKM DYNKM WLY DYN (S. ALKFRWN, 109:6), dibaca: lakum di-nukum waliya di-n, 
artinya: 
-- Untuk kamu agamamu, dan bagiku agamaku. 

Jadi sekali lagi ditekankan: para penganut "Islam" Liberal (antara lain Siti 
Musdah Mulia) yang mereka dalam exegesis kontekual ayat Al-Quran memakai 
postulat produk benak manusia yaitu sekularisme, liberalisme, pluralisme dan 
genderisme, yang memposisikan Wahyu di bawahnya akal manusia. Inilah yang 
diharamkan oleh Fatwa MUI no.7: haram hukumnya dalam konteks pemahaman Jaringan 
Islam Liberal.

Tulisan SMM yang menyatakan: 
Pertama, KFI memperjuangkan Islam hanya sebatas retorika dan kedua, 
alternatif-alternamatif mereka yang sangat terbatas dan konsep-konsep mereka 
secara intelektual miskin itu tak bakal mampu menopang tuntutan-tuntutan zaman 
yang semakin meningkat," itu sama sekali tidak benar, lain yang gatal lain yang 
digaruk. 

Pertama, perjuangan AhlusSunnah bukan hanya sekadar retorika, melainkan fakta 
dan kedua, Al Imam Asy-Syafi'i rahimahullah (150-204 H) menulis sebuah buku 
tentang prinsip-prinsip ijtihad yang dapat digunakan sebagai pedoman. Maka 
lahirlah kitab Ar-Risalah karya Imam Syafi'i sebagai kitab pertama dalam Ushul 
Fiqh. Dalam hal ibadah mahdhah (ritual), memang berlaku qaidah Ushul Fiqh: 
Hukum asal dalam ruang ibadah mahdhah adalah ikut pada apa yang diperintahkan 
Nash (Al-Quran dan Sunnah), tidak boleh menambahi, ataupun mengurangi. Namun 
dalam hal yang menyangkut mu'amalaat (non-ritual, sosiologis) berlaku Qaidah: 
Semua boleh, asal tidak bertentangan dengan Nash. 

Jadi dalam hal mu'amalaat, kita berlomba-lomba untuk terus berkarya, berkreasi 
seinovatif dan semodern mungkin dalam batas-batas yang tidak bertentangan 
dengan Al-Quran dan Sunnah. Tuntutan-tuntutan zaman yang semakin meningkat 
dapat dihadapi dengan qaidah Ushul Fiqh tersebut. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 8 Agustus 2010
    [H.Muh.Nur Abdurrahman]
http://waii-hmna.blogspot.com/2010/08/935-refleksi-kritik-siti-musdah-mulia.html

Kirim email ke