Islam yang bermuatan: aqidah (pokok keimanan), jalannya hukum dan akhlaq, 
meliputi cakrawala yang luas, yaitu petunjuk untuk mengatur baik kehidupan 
nafsi-nafsi (individu), maupun kehidupan kolektif dengan substansi yang 
bervariasi seperti keimanan, ibadah ritual (spiritualisme), karakter 
perorangan, akhlaq individu dan kolektif, kebiasaan manusiawi, ibadah 
non-ritual seperti: hubungan keluarga, kehidupan sosial politik ekonomi, 
administrasi, teknologi serta pengelolaan lingkungan, hak dan kewajiban 
warga-negara, dan terakhir yang tak kurang pentingnya yaitu sistem hukum yang 
teridiri atas komponen-komponen: substansi aturan-aturan perdata-pidana, 
damai-perang, nasional-internasional, pranata subsistem peradilan dan apresiasi 
hukum serta rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat yang berakhlaq. Semua 
substansi yang disebutkan itu bahasannya ada dalam Serial Wahyu dan Akal - Iman 
dan Ilmu. Maksudnya Wahyu memayungi akal , dan Iman memayungi ilmu. 

one liner Seri 418
insya-Allah akan diposting hingga no.800 
no.terakhir 935
*******************************************************************

BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM

WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU
[Kolom Tetap Harian Fajar]
418. Pandangan Marxisme Tentang Sejarah dan Negara

Dalam  tulisan ini dipakai istilah marxis kalau penekanannya pada buah- 
pikiran, sedangkan komunis, kalau penekanannya  sebagai kekuatan sosial 
politik. Filsafat historische materialisme (buah pikiran  Karl Marx yang 
materialistik dalam menafsirkan sejarah) merupakan paradigma dari seluruh 
sistem pemikiran Marx.  Dengan menjiplak metode dialektika dari Hegel  (these,  
 anti-these, synthese),  Marx  memahamkan proses sejarah  sebagai   rentetan 
konflik  (antagonism)  dalam wujud revolusi di antara  dua  kelas yang  
berlawanan (these melawan anti-these). Buah  dari  revolusi itu menghasilkan 
kelas baru (synthese), yang ordenya lebih tinggi dari  kedua  kelas (these dan 
anti-these) yang  selesai  tabrakan itu. Demikianlah proses yang dialektis itu 
berjalan terus. Begitu tumbuh  orde sosial-ekonomi yang baru (new emerging 
force),  maka terjadilah  pula  konflik dengan kelas hasil synthese  tadi  (old 
established force). Maka terjadilah pula revolusi, kekuatan  baru (anti-these)  
 melabrak kekuatan lama  (these)  yang   berupaya mempertahankan  status-quo,  
oleh karena jika terjadi perubahan sistem-ekonomi tentu saja akan menghapuskan 
supremasi kelas yang bertahan itu. Marx sama sekali menepis mengenai  
kemungkinan terjadinya konsiliasi ataupun kompromi dari kedua kelas itu.

Teori  pertentangan kelas itu ditimba Marx dari sejarah  Abad Pertengahan  di 
Eropah (rentang waktu antara zaman Klasik  dengan Renaissance,  dari abad ke-5 
M., hingga sekitar tahun  1500  M.). Golongan  tukang pada waktu itu bertumbuh 
menjadi kelas  saudagar dan  industriawan,  yang  kemudian  disebut  kelas  
borjuis  lalu menjadi anti-these dari  kelas  feodal  (these)  sebagai  kelas 
penguasa. Benturan kelas borjuis dengan kelas feodal tersebut membuahkan 
synthese berupa kelas kapitalis. Selanjutnya tanpa didukung oleh fakta sejarah 
Marx berspekulasi  menduga  bahwa  proses  dialektis  berlanjut  terus dengan  
timbulnya kelas baru, yaitu kelas proletar, sebagai anti-these dari kelas  
kapitalis.  Revolusi  kelas  proletar   itu akan menghasilkan masyarakat tanpa 
kelas, dan inilah akhir sejarah pertentangan   kelas  menurut  spekulasi  Marx. 
  Kemudian   Marx berangan-angan  lebih  lanjut, yaitu masyarakat tanpa  kelas  
ini nanti  dapat  berjalan tanpa negara, semua orang  bekerja sesuai dengan 
kemampuannya dan mendapatkan sesuai dengan  kebutuhannya. Untuk itu diperlukan 
waktu antara yang dikendalikan oleh Diktator Proletar. Menurut Marx negara 
harus bubar, oleh karena negara itu tidak lain dari alat kelas atas untuk 
menekan kelas bawah,  yaitu alat kelas feodal menekan kelas borjuis dan alat 
kelas  kapitalis menekan kelas proletar.

Ada tiga hal yang perlu dikuliti dari pemahaman Marx tersebut. 

Pertama, pendapatnya yang menepis akan kemungkinan terjadinya kompromi diantara 
kelas yang baru tumbuh yang  ditekan  dengan kelas  lama  yang  menekan. Pada 
tahun 1689  di  Inggris  terjadi kompromi  antara  golongan feodal sebagai 
kelas  penguasa  dengan kelas  borjuis. Tidak seperti rekannya di daratan Eropa 
 golongan aristokrat di Inggris mempunyai sikap keterbukaan, sehingga dapat 
mengakomodasikan diri untuk menerima perubahan-perubahan dalam sistem 
sosial-ekonomi. Maka perubahan sistem sosial-ekonomi dapat berlangsung dengan 
mulus tanpa tumbangnya dengan  sengit  kelas penguasa.  Di  sinilah  letak 
kesalahan  Marx,  yaitu mengadakan rampatan (generalisasi) dengan hanya melihat 
di daratan Eropa.  (Kecerobohan Marx  dengan  generalisasi  ini tampak  pula  
dalam  pandangannya terhadap  agama, bahwa agama itu candu bagi rakyat,  yang  
insya-Allah akan dibahas tersendiri dalam sebuah nomor seri).

Kedua, pertentangan kelas antara kaum feodal  sebagai  kelas penekan  dengan  
kaum  borjuis sebagai kelas  yang  ditekan.  Apa sesungguhnya yang terjadi pada 
Abad Pertengahan di Eropah,  kalau disimak dengan teliti, kelas borjuis 
bukanlah kelas yang  ditekan oleh  kelas feodal. Pertikaian antara kelas feodal 
 dengan  kelas borjuis bukanlah pertikaian antara kelas penekan dengan  kelas 
yang  ditekan. Karena sesungguhnya kelas yang ditekan  oleh  kaum feodal adalah 
petani yang terikat pada tanah. Kelas petani inilah kelas  yang  tertekan, baik 
oleh kelas feodal maupun  oleh kelas borjuis,  ibarat seekor kelinci yang 
dijepit dua ekor gajah  yang berkelahi.  Kedua  ekor gajah itu adalah kelas 
feodal  dan  kelas borjuis, sedangkan sang kelinci adalah petani.

Ketiga, apakah mungkin terjadi masyarakat tanpa kelas,  tanpa negara, yang 
berjalan seperti arloji otomatis. Masyarakat  angan-angan  (utopia), tanpa 
negara, tanpa kelas, orang bekerja  sesuai dengan  kemampuannya dan mendapatkan 
sesuai  dengan kebutuhannya yang berjalan seperti arloji otomatis tidak 
berhasil  diwujudkan oleh  Diktator  Proletar, dengan hancurnya  Uni  Sovyet.  
(Arloji otomatis adalah  ungkapan pengasuh kolom ini saja, bukan dari Marx).  
Alhasil  konsep Marx yang materialistik dalam  menafsirkan sejarah yang menjadi 
paradigma dari seluruh sistem pemikiran Marx ditolak oleh kenyataan sejarah.

Walaupun teori pertentangan kelas yang berwujud pemberontakan adalah  hasil 
generalisasi yang ceroboh dari Marx, namun kaum komunis sudah menganggapnya 
doktrin yang dogmatis. Para marxist telah dua kali  memberontak di Indonesia, 
yaitu  pemberontakan komunis   di  Madiun  yang  dikendalikan  dari  Uni Sovyet 
dan pemberontakan Gestapu PKI yang dikendalikan dari RRC.  Sungguh kebablasan 
jika ada pendapat yang ingin memberi kebebasan  para kamerad  itu atas nama 
demokrasi dan HAM untuk menyebarkan komunisme. Sebab   walaupun kekuatan 
komunis sukar  untuk memberontak   kembali,  namun  sekurang-kurangnya mereka 
dapat mengecoh masyarakat miskin, lagi pula mereka akan bergerak  bebas 
menanamkan   antagonisme  dalam  masyarakat.  Kita  sudah   cukup dipusingi  
oleh peristiwa Banyuwangi, Ketapang,  Kupang,  Sambas, Ambon  dan Maluku Utara, 
yang boleh jadi dicetuskan  oleh  orang-orang yang terpikat pada teori 
pertentangan kelas dari Marx. Maka pimpinan MPR  tidak perlu mengagendakan 
peninjauan  tentang Tap MPRS No.XXV/MPRS/1966.
Bagi generasi muda Islam tidak perlu terpikat oleh teori "ilmiyah"  
pertentangan  kelas dari Marx.  Ingatlah  akan  Firman Allah: WTLK ALAYAM 
NDAWLHA BYN ALNAS (AL 'AMRAN, 140), dibaca: wa tilkal  ayya-mu  nuda-wiluha- 
baynan na-s  (s. ali   'imra-n), artinya:  hari-hari itu Kami gulirkan di 
antara manusia  (3:140). WaLlahu A'lamu bi Al Shawa-b
*** Makassar, 8 April 2000
    [H.Muh.Nur Abdurrahman]
http://waii-hmna.blogspot.com/2000/04/418-pandangan-marxisme-tentang-sejarah.html



Kirim email ke