TENTANG SUFI

Oleh
Salim Al-Hilali dan Ziyad Ad-Dabij
Bagian Pertama dari Tiga Tulisan 1/3





Tasawuf merupakan gerakan berpola pikir filsafat klasik yang mengekor kepada 
para filosof dan ahli syair Romawi, India dan Persia. Namun, dalam hal ini, 
kita akan membatasi kajian masalah sufi dengan berkedok Islam. Kedok Islam ini 
dikenakan sebagai upaya menutupi hakikatnya. Maka barangsiapa yang meneliti dan 
mengamati gerak-geriknya, niscaya akan berkesimpulan, bahwa sufi bukan Islam. 
Baik menyangkut aqidah, prilaku dan pendidikan.

MENGENAL BEBERAPA KEYAKINAN SUFI
Sesungguhnya para penguasa sufi telah berusaha memelihara keyakinan-keyakinan 
tasawuf, yakni, dengan merancukan dan menghapuskan ayat-ayat Al-Kitab Al-Karim. 
Membolak-balik, serta merubah pemahaman Sunnah An-Nabawiyah yang telah suci. 
Akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menakdirkan untuk agama ini, 
orang-orang yang memperbaharui agama-Nya.

Yakni, dengan membersihkan Islam dari bermacam aqidah dan filsafat yang 
mengalir dalam benak manusia akibat pengaruh pola pikir keberhalaan. Maka, 
diungkaplah borok-borok mereka, dipilah perkataan mereka serta diterangkan 
kebohongannya. Metoda merekapun dibuyarkan dengan menelaah kitab-kitab induk 
sufi. Berikut secara ringkas ditampilkan keyakinan-keyakinan mereka.

ILMU LADUNI
Istilah ini dikaitkan kepada firman-Nya Subhanahu wa Ta'ala tentang nabi Khidir:

"wa 'allamnaahu min Ladunnaa 'ilmaan"
"Artinya :...Dan Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.". [Al-Kahfi : 65].

Yang dimaksud dengan ayat diatas, menurut mereka, adalah disingkapnya alam 
ghaib bagi mereka. Caranya, dengan kasyaf (penyingkapan), tajliyat (penampakan) 
serta melakukan kontak langsung dengan Allah dan Rasulullah shallallahu 'alaihi 
wa sallam[1]. Mereka berdalil dengan firman-Nya Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Dan bertaqwalah kepada Allah, maka Allah akan mengganjari kepada 
kalian semua". [Al-Baqarah : 282].

Pemikiran ilmu laduni dipelopori oleh Hisyam Ibnu Al-Hakam (wafat 199H), 
seorang penganut Syi'ah yang mahir ilmu kalam. Ia berasal dari Kufah. [2]

Orang-orang sufi, dalam rangka merealisir ajarannya, menempuh beberapa jalan. 
Jalan terpenting itu, diantaranya :

[1] Menjauhkan diri dari menuntut ilmu syar'i. Dikatakan oleh Al-Junaid, 
seorang pentolan sufi, "Yang paling aku sukai pada seorang pemula, bila tak 
ingin berubah keadaannya, hendaknya jangan menyibukkan hatinya dengan tiga 
perkara berikut : mencari penghidupan, menimba ilmu (hadits) dan menikah. Dan 
yang lebih aku sukai lagi, pada penganut sufi, tidak membaca dan menulis. 
Karena hal itu hanya akan menyita perhatiannya".[3]

Demikian pula yang dikatakan Abu Sulaiman Ad-Darani, "Jika seseorang menimba 
ilmu (hadits), bepergian untuk mencari penghidupan, atau menikah, sungguh ia 
telah condong kepada dunia"[.4]

[2] Menghancurkan sanad-sanad hadits dan menshahihkan hadits-hadits dha'if 
(lemah), munkar dan maudhu' (palsu) dengan cara kasyaf. Sebagaimana dikatakan 
Abu Yazid Al-Busthami, "Kalian mengambil ilmu dari mayat ke mayat. Sedang kami 
mengambil ilmu dari yang Maha Hidup dan tidak pernah mati. Hal itu seperti yang 
telah disampaikan para pemimpin kami : "Telah mengabarkan pada aku hatiku dari 
Rabbku". Sedang kalian (maksudnya, kalangan Ahlu Al-hadits) mengatakan : "Telah 
mengabarkan kepada kami Fulan". Padahal, bila ditanya dimana dia (si Fulan 
tersebut) ?. Tentu akan dijawab : "Ia (Fulan, yakni yang meriwayatkan ilmu atau 
hadits tersebut) telah meninggal". "(Kemudian) dari Fulan (lagi)". Padahal, 
bila ditanyakan dimana dia (Fulan tadi)? Tentu akan dijawab : "Ia telah 
meninggal".[5] Dikatakan pula oleh Ibnu Arabi, "Ulama Tulisan mengambil 
peninggalan dari salaf (orang-orang terdahulu) hingga hari kiamat. Itulah yang 
menjauhkan atau menjadikan timbulnya jarak antara nasab mereka. Sedang para 
wali mengambil ilmu dari Allah (secara langsung -peny). Yakni, dengan cara Ia 
(Allah) mengilhamkan kedalam hati para wali"[6]. Dikatakan oleh Asy-Sya'rani, 
"Berkenan dengan hadits-hadits. Walaupun cacat menurut para ulama ilmu hadits, 
tapi tetap shahih menurut ulama ilmu kasyaf".[7].

[3] Menganggap menimba ilmu (hadits) sebagai perbuatan aib dan merupakan jalan 
menuju kemaksiatan serta kesalahan. Ibnu Al-Jauzi menukil, bahwa ada seorang 
syaikh sufi melihat seorang murid membawa papan tulis (baca : buku), maka 
dikatakannya kepada murid tersebut :"Sembunyikan auratmu".[8] Bahkan, mereka 
saling mewariskan sebagian pameo-pameo yang bertendensi menjauhkan peninggalan 
salaf, umpanya : Barang siapa gurunya kitab, maka salahnya lebih banyak dari 
benarnya.

Sanggahan terhadap pernyataan-pernyataan sebagaimana diungkap diatas :

Pertama.
Barangsiapa berkeyakinan, bahwa dengan kemampuannya dapat berjumpa dengan 
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, seperti keadaan nabi Khidir dengan 
nabi Musa, maka ia telah kafir berdasarkan ijma' para ulama kaum muslimin. 
Karena, nabi Musa tidaklah diutus kepada nabi Khidir, dan tidak pula nabi 
Khidir diperintahkan untuk mengikuti nabi Musa.

Padahal Allah telah menjadikan masing-masing nabi mempunyai jalan dan minhaj 
yang berbeda-beda. Dan peristiwa yang demikian itu, berulang kali terjadi 
sebelum beliau diutus sebagai nabi. Seperti, sezamannya nabi Luth denga nabi 
Ibrahim, nabi Yahya dengan nabi Isa.

Sesungguhnya para nabi tersebut dibangkitkan untuk kaumnya saja, sedangkan 
Muhammad shalallallahu 'alaihi wa sallam dibangkitkan untuk seluruh manusia 
hingga hari kiamat. Telah bersabda Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Adalah para nabi diutus untuk kaumnya saja, sedangkan aku diutus 
untuk seluruh manusia". [Hadits Shahih Riwayat Bukhari dan Muslim].

"Artinya : Tidak seorang pun dari umat ini yang mendengar tentangku, baik 
Yahudi atau Nashrani, kemudian tidak beriman kepadaku, melainkan akan 
dimasukkan ke neraka" [Hadits Shahih Riwayat Muslim I/93]

Aqidah semacam ini merupakan asasnya Islam, berdasarkan firman-Nya Subhanahu wa 
Ta'ala.

"Artinya : Tidaklah engkau Kami utus kecuali untuk seluruh manusia, sebagai 
pemberi khabar gembira dan pemberi peringatan". [Saba' : 28]

Dan firman-Nya Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Katakanlah, wahai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah 
kepada kalian semua". [Al-A'raf : 157]

Dan siapa saja yang 'alim, baik jin maupun manusia, diperintahkan untuk 
mengikuti rasul yang ummi ini. Maka barangsiapa yang mengaku bahwa dengan 
kemampuannya dapat keluar dari minhaj dan petunjuk nabi Muhammad shallallahu 
'alaihi wa sallam ke minhaj lainnya, walaupun minhaj Isa, Musa, Ibrahim, maka 
dia sesat dan menyesatkan. Telah bersabda Shalallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Seandainya Musa turun, lalu kalian semua mengikutinya dan 
meninggalkan aku, maka sungguh sesatlah kalian. Aku adalah bagian kalian, dan 
kalian adalah bagian dari umat-umat yang ada". [Riwayat Baihaqi dalam Syu'abu 
al-Iman, dan lihat pula dalam Irwa'al-Ghalil karangan Al-Bani hal. 1588]

Adapun keyakinan orang-orang sufi bahwa nabi Khidir masih tetap hidup, selalu 
berhubungan dengan mereka, mengajarkan kepada mereka ilmu yang diajarkan Allah 
kepadanya, seperti nama-nama Allah yang Agung, hal ini merupakan dusta dan 
mengada-ada. Karena menyelesihi Al-Qur'an secara nyata :

"Artinya : Dan tidaklah kami jadikan seorang manusiapun sebelummu abadi". 
[Al-Anbiya' : 34]

"Artinya : Tidak ada satu jiwapun yang bernafas pada hari ini yang datang dari 
zaman seratus tahun sebelumnya, sedangkan dia saat sekarang ini masih hidup". 
[Hadits Riwayat Ahmad dan Tirmidzi dari Jabir]

Hadits-hadits yang menerangkan masih hidupnya nabi Khidir semuanya maudhu' 
(palsu) menurut kesepakatan seluruh ulama hadits.[9]

Kedua.
Adapun hujjah mereka dengan firman-Nya Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Dan bertaqwalah kepada Allah dan Allah akan mengajarimu (ilmu)". 
[Al-Baqarah : 282]

Hal itu bukanlah hujjah, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah 
menerangkan pemahaman ayat ini dan telah menentukan cara mencari ilmu yang 
disyari'atkan dan diwajibkan atas setiap muslim. Seperti sabdanya Shallallahu 
'alaihi wa sallam.

"Artinya : Sesungguhnya ilmu itu (diperoleh) dengan cara belajar". [Hadits 
Riwayat Daruquthni dalam Al-Ifrad wa al-Khatib dalam tarikhnya dari Abu 
Hurairah dan Abu Darda'. Lihat Silsilah Ash-Shahihah 342]

Kata innama (sesungguhnya) disini adalah untuk membatasi.

Ketiga.
Perihal pendapat mereka yang menyatakan, bahwa mencari ilmu dengan cara belajar 
adalah jalan yang memayahkan, terlalu bertele-tele, dianggap condong kepada 
dunia serta menyita perhatian dan kesungguhan (walaupun telah tinggi dalam 
menuntut ilmu tadi), tetap dianggap tidak sempurna. Kecuali, bila ditempuh 
dengan cara kasyaf dan ilham.

Berkenan dengan ilmu itu sendiri, termasuk tentunya dalam pengamalannya. Bahkan 
sebatas mencari ilmu semata. Berkata Ibnu Al-Jauzi, "Iblis menginginkan untuk 
menutup jalan tersebut dengan cara yang paling samar. Memang jelas bahwa yang 
dimaksud adalah mengamalkannya bukan sebatas mencari ilmu saja. Namun, dalam 
hal ini para penipu itu telah menyembunyikan masalah pengamalannya. [10] Dan 
tidaklah kasyaf yang mereka dakwakan itu, kecuali hanya khayalan setan belaka.

"Artinya : Maukah Aku khabarkan kepada kalian tentang kepada siapa setan turun 
? (Setan) turun kepada setiap pendusta dan suka berbuat dosa. Mereka 
menghadapkan pendengarannya itu (kepada setan), dan kebanyakan mereka adalah 
orang-orang pendusta". [Asy-Syu'ara : 221-223]

"Artinya : Tidaklah kamu melihat bahwasanya Kami telah mengirim setan-setan itu 
kepada orang-orang kafir untuk menghusung mereka agar berbuat maksiat dengan 
sungguh-sungguh ? Maka janganlah kamu tergesa-gesa memintakan siksaan bagi 
mereka, karena sesungguhnya Kami hanya menghitung (hari siksaan) itu untuk 
mereka dengan perhitungan yang teliti. Ingat ketika hari Kami mengumpulkan 
orang-orang yang bertaqwa kepada Rabb yang Maha Pemurah sebagai perutusan yang 
terhormat. Dan kami akan menghalau orang-orang yang durhaka ke neraka Jahannam 
dalam keadaan dahaga". [Maryam : 83-86]

Adapun pengakuan mereka, seperti pensyarah Al-Ushul katakan, bahwa kasyaf 
merupakan bagian dari iman yang benar. Dan maksud kasyaf adalah disingkapkannya 
sebagian yang tersembunyi, dan tidak tampak, mengetahui gerak-gerik jiwa dan 
niat serta kelemahan sebagian manusia. Kasyaf semacam inilah yang disebutkan 
dalam hadits syarif sebagai firasat seorang yang beriman. [11] Jadi bila ada 
perkataan mereka semacam ini : "Telah mengabarkan kepadaku hatiku dari Rabb-ku" 
tidak lain adalah perkataan khurafat.

Keempat.
Sebagian mereka mengakku dapat melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam 
dalam tidurnya, lalu mengajarkan kepadanya beberapa perkara dan memintanya 
untuk berbuat begini dan begitu. Seperti, kata Ibnu Arabi, "Sesungguhnya aku 
telah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam mimpi. Aku 
melihatnya saat sepuluh akhir di bulan Muharram 627H, di Mahrusah, Damsyiq. 
Saat itu di tangan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam membawa kitab. Maka 
sabdanya kepadaku, 'Kitab ini adalah kitab Fushush Al-Hikam'. Ajarkan dan 
sebarkan kepada manusia agar bisa memetik manfa'at darinya. Kemudian aku 
katakan, Aku dengar dan taat kepada Allah, Rasul-Nya serta ulil amri diantara 
kita sebagaimana yang engkau perintahkan. Maka, aku pun berusaha merealisasikan 
cita-cita dan aku murnikan niatku serta kubulatkan tekad untuk mengajarkan 
kitab ini sebagaimana diajarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. tanpa 
mengurangi dan menambahinya".

Bantahan Terhadap Pendapat Diatas Adalah Sebagai Berikut:

[1] Para Rasul tidak memerintahkan kemaksiatan apalagi kekufuran, seperti yang 
memenuhi kitab Fushush Al-Hikam. Seperti, mengkafirkan nabi Allah, Nuh (hal. 
70-72), meyakini bahwa Fir'aun itu telah beriman (hal. 21), membenarkan 
pendirian Samiri dan perbuatannya dalam membuat patung (yang menimbulkan fitnah 
di kalangan bani Israil) hingga mengibadahinya (hal. 188).

[2] Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menyuruh menyelisihi 
syari'at. Sesungguhnya, ada yang mengatakan bahwa setan menampakkan diri dalam 
bentuk nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di hadapan Ibnu Arabi. Padahal 
mustahil hal itu bisa terjadi. Dia (Ibnu Arabi) telah tertipu dan terperdaya. 
Walau ia mengatakan yang demikian itu dengan niat baik dan prasangka bersih. 
Tetapi yang demikian itu mustahil, karena setan tidak akan mampu menyerupai 
nabi. Maka, bagaimana hal itu bisa terjadi padahal Nabi yang ma'shum 
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda :

"Artinya : Barangsiapa yang melihatku (dalam mimpinya) maka sesungguhnya akulah 
dia. Karena sesungguhnya setan tidak bisa menyerupaiku". [Hadits Shahih Riwayat 
Tirmidzi dari Abu Hurairah, mempunyai penguat yang sangat banyak, sebagiannya 
Shahih diriwayatkan Bukhari dan Muslim. Lihat Shahih Al-Jami' dan ziyadahnya 
V/293]

Berdasarkan keterangan diatas, maka kita berkeyakinan bahwa Ibnu Arabi dan para 
pengikutnya adalah dajjal-dajjal Khurasan. Sedang perkataan-perkataan mereka 
dusta dan tidak mengandung kebenaran sama sekali.

[Disadur dari kitab Al-Islam fi-Dha'u Al-Kitab wa As-Sunnah, cet.II, hal. 
81-97. Dan dimuat di majalah As-Sunnah edisi 17/II/1416H-1996M, dengan judul 
Borok-Borok Sufi]
________
Foote Note.
[1]. Ihya 'Ulummuddin, Al-Ghazali, I/19-20 dan III/26, cet. Istiqomah, Qahirah.
[2]. Minhaj As-Sunnah, Syaikh Islam Ibnu Taimiyah, hal. 226
[3]. Quwat Al-Qulub, III/35
[4]. Al-Futuhat Al-Makkiyah, Ibnu Arabi, I/37.
[5]. Al-Kawakib Ad-Durriyah, hal. 226 dan Al-Futuhat Al-Makkiyah, I/365.
[6]. Al-Kawakib Ad-Durriyah, hal. 246 dan Rasail, Ibnu Arabi, hal.4.
[7]. Al-Mizan, I/28.
[8]. Tablis Iblis, hal. 370.
[9]. Al-Manar Al-Munif, Ibnu Qayim Al-Jauziyah.
[10]. Shaid Al-Khaathir, Ibnu Jauzi, I/144-146.
[11]. Syarah Al-Ushul Al-Isyrin, hal 27.



SYARI'AT DAN HAKIKAT
Para pemimpin sufi mengatakan, bahwa setiap ayat mempunyai unsur lahir dan 
bathin. Atau, Islam itu terdiri dari syari'at dan hakikat. Syari'at, bila 
dibandingkan dengan hakikat, laksana buih. Hakikat merupakan tingkatan paling 
sempurna, puncak dan sangat tinggi dalam tangga peribadahan Islam.

Cara agar mampu untuk mencapainya adalah dengan memiliki ilmu laduni, kasyaf 
Rabbani serta Faidh Ar-Rahmani. Dalihnya, hadits yang diriwayatkan imam Bukhari 
dari Abu Hurairah :

"Artinya : Aku menghafalkan dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dua 
kantung ilmu. Adapun salah satunya telah aku sebarkan. Sedangkan lainnya, bila 
ku sebarkan akan dipotong tenggorokan ini". [Hadits Riwayat Bukhari dalam kitab 
Fitan]

Padahal ini sebagai isyarat dari beliau rahimahullah tentang akan tidak adanya 
kaitan antara ilmu batin dan ilmu zhahir. Kalau tidak begitu, pasti beliau akan 
mencantumkannya dalam Al-'Ilm. Sesungguhnya, Al-Hafidz Ibnu Hajar telah 
menerangkan masalah tersebut secara rinci dalam kitabnya, Fathu Al-Bari I/216.

Oleh karena itu, barangsiapa menyatakan Islam terdiri dari lahir dan batin, 
berarti dia telah menyangka Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam 
menghianati tugas kerasulannya. Tapi, inilah kenyataannya. Mereka berkeyakinan, 
Rasulullah hanya menyampaikan yang zhahir saja. Sedang, yang batin beliau 
beritahukan kepada orang-orang tertentu.[1]

Demi Allah, sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berlepas dari 
yang mereka kaitkan kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan Allah, 
malaikat Jibril serta orang-orang shalih dari kalangan yang beriman menyaksikan 
yang demikian itu. Berfirman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Pada hari ini Aku sempurnakan untuk mu agamamu, dan Aku lengkapkan 
untukmu semua ni'mat-Ku serta Aku ridhai bagimu Islam sebagai agama". 
[Al-Maidah : 3]

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah meminta persaksian dihadapan segenap 
manusia muslim yang berkumpul di bawah Jabal Ar-Rahmah pada hari haji akbar. 
Kata beliau, "Sesungguhnya, kalian akan ditanya tentang aku. Maka, apakah yang 
akan kalian katakan ?" Jawab mereka : "Kami bersaksi bahwa engkau telah 
menyampaikan risalah Rabb-mu dan telah menunaikannya. Engkau telah menasehati 
umatmu dan menunaikan kewajibanmu".

Lantas beliau bersabda seraya mengacungkan telunjuknya ke arah langit dan 
menggerak-gerakkannya kehadapan manusia : "Ya Allah, saksikanlah. Ya Allah, 
saksikanlah". [Potongan dari hadits Jabir bin Abdullah tentang hajinya 
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Di-tahqiq ulang Syaikh Muhammad 
Nashiruddin Al-Albani dalam Hijjah An-Nabi, hal. 37-41].

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pun telah menyatakan secara terang-terangan, 
dan hal ini sebagai hujjah nyata guna menampar setiap pendusta dan yang suka 
berbuat dosa. Kata beliau :

"Artinya : Sesungguhnya seorang nabi tidak mengenal main isyarat (dengan 
mata)". [Hadits Shahih Riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, dari Anas. lihat Shahih 
Al-Jami' II/303]

Maksudnya memberi isyarat dengan isyarat rahasia. Hal ini agar tidak ada 
seorangpun yang berburuk sangka yang menyebabkan tumbuhnya keyakinan, bahwa 
dalam agama Allah ada rahasia yang tidak banyak diketahui manusia.

Yang semakna dengan hadits ini adalah sabdanya :

"Artinya : Sesungguhnya tidak selayaknya bagi seorang nabi mempunyai mata yang 
khianat". [Hadits Shahih Riwayat Abu Dawud, Nasa'i dan Hakim dari Sa'id. Lihat 
Shahih Al-Jami' II/307]

AL-HULUL WA AL-ITTIHAD
Sebagaimana kelomppok sufi berkhayal, siapa saja yang menempuh jalan ilmu 
batin, pada akhirnya akan mencapai tingkatan melebur bersama dzat Allah. Ketika 
itulah ia menempati dzat tersebut, hingga bercampur sifat ketuhanan dengan 
tabiat kemanusiaan. Bentuk lahirnya manusia, tetapi hakikat batinnya adalah 
sifat ketuhanan.

Orang-orang yang berpikiran demikian, misalnya Al-Hallaj, ibnu Al-Faradh, Ibnu 
Sab'in dan lainnya dari kalangan sufi. Berikut ini kami paparkan sebagian 
perkataan mereka : Al-Hallaj berkata : [2]

Maha Suci yang menampakkan sifat kemanusiannya,
Kami rahasiakan sifat ketuhanannya yang cemerlang,
Kemudian Ia menampakkan diri pada mahluknya,
Dalam bentuk orang yang sedang makan dan minum,
Hingga mahluknya dapat menentukannya, seperti
jarak antara kedipan mata dengan kedipan yang lain.
Siapakah dia ? Dialah Rabbu Al-Arbab
yang tergambar dalam seluruh bentuk pada
hamban-Nya, Fulan. [3]

Dan Ibnu Al-Faradh berkata : [4]

Tidaklah aku shalat kepada selainku,
dan tidaklah shalatku kepada selainku
ketika menunaikan dalam setiap raka'atku.

Dan cukuplah bagi orang-orang sufi merasakan kesedihan tatkala Ibnu Al-Faradh 
berpayah-payah dibalik fatamorgana. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, tatkala 
menceritakan keadaan Ibnu Al-Faradh : "Orang yang mengucapkan sya'ir tersebut 
ketika meninggalnya mengucapkan syair sebagai berikut :

Jika kedudukanku dalam cinta disisi-Mu,
tidak seperti yang pernah aku jumpai,
maka sesungguhnya aku telah membuang-buang umurku.
Angan-angan yang menancap dalam diriku beberapa lama,
dan pada hari ini aku mengiranya sebagai mimpi kosongku belaka.

At-Tusturi berkata : [5]

Akulah yang dicintai dan yang mencintai,
tidak ada selainnya.

Para syaikh tasawuf tersebut mencari-cari dalih dengan hadits yang berbicara 
masalah wali. Padahal, segala dalih dan alasan itu tak mendukung mereka. 
Misalnya sebuah hadits :

"Artinya : Tidak henti-hentinya seorang hamba mendekatkan diri kepadaku dengan 
perbuatan-perbuatan yang disunnahkan hingga Aku mencintainya. Maka jika Aku 
mencintainya, Akulah yang menjadi pendengarannya yang dia gunakan untuk 
mendengar, dan penglihatannya yang dia gunakan untuk melihat, dan tangannya 
yang dia julurkan, dan kakinya yang dia langkahkan. Maka, jika ia meminta 
kepada-Ku, sungguh aku akan beri. Dan jika ia minta perlindungan kepada-Ku, 
sungguh Aku akan melindunginya". [Hadits Riwayat Bukhari, akan tetapi kami 
ringkas sesuai dengan makna pembahasan].

Hadits ini menunjukan dengan sangat adanya pembedaan dan pemisahan. Dalam hal 
ini ada 'Abid (yang beribadah) dan Ma'bud (yang diibadahi). Sa-il (yang 
meminta) dan Mas-ul (yang diminta), 'A-idz (yang minta perlindungan) dan Mu'idz 
(yang melindungi). Sedang, orang-orang sufi tersebut mengaku bahwa Allah 
berdiam dalam dzat hambanya. Yaitu, jika Dia menjadi dia dan keduanya menjadi 
dua dzat yang menyatu.

Betapa anehnya ! Bagaimana akal orang-orang sufi tersebut menerimanya dengan 
cara membenarkan kebohongan ini ? Dan bagaimana pula hingga lisan mereka 
mengulang-ngulangnya ? Sungguh, Kursi-Nya seluas langit dan bumi, maka 
bagaimana mungkin jasad manusia dapat menampung-Nya ?.

Adapun hadits berikut :

"Artinya : Langit dan bumi-Ku sempit bagi-Ku, akan tapi hati hamba-Ku yang 
beriman lapang bagi-Ku"

Maka hadits ini adalah hadits palsu menurut kesepakatan para ulama ilmu hadits.



WIHDAH AL-WUJUD
Pemahaman hulul wa al-ittihad mengantarkan para sufi pada perkataan wihdah 
al-wujud. Istilah ini berdasar pola pikir orang-orang sufi bermakna, bahwa 
dalam hal ini tidak ada yang wujud kecuali Allah. Maka, tidaklah segala yang 
nampak ini kecuali penjelmaan dzat-Nya semata. Yaitu, Allah. Maha Suci Allah, 
Rabb kita, Rabb yang Maha Mulia dari apa yang mereka sifatkan.

Ibnu Arabi berkata : "Tidak ada yang tampak ini kecuali Allah, dan tidaklah 
Allah mengetahui kecuali Allah".

Dan termasuk dalam keyakinan ini adalah orang-orang yang mengatakan :"Akulah 
Allah, Maha Suci Aku". Seperti, Abu Yazid Al-Bustahmi.[6]

Katanya : "Rabb itu haq dan hamba itu haq. Maka, betapa malangku. Siapakah 
kalau demikian yang menjadi hamba ? Jika aku katakan hamba, maka yang demikian 
itu haq, atau aku katakan Rabb, sesungguhnya aku hamba".

Dikatakan pula : [7] "Suatu saat hamba menjadi Rabb tanpa diragukan, dan suatu 
saat seorang hamba menjadi hamba tanpa kedustaan".

Keberanian mereka kepada Allah sampai puncaknya ketika tukang sya'ir mereka, 
Muhammad Baha'uddin Al-Baithar mengatakan : [8] "Tidaklah anjing dan babi itu 
melainkan sesembahan kita, dan tidaklah Allah itu melainkan rahib-rahib yang 
ada dalam gereja-gereja".

Pensyarah kitab Aqidah At-Thahawiyah, Ibnu Abil 'Izzi Al-Hanafi, berkata 
:"Perkataan yang demikian itu mengantarkan manusia pada teori hulul wa 
al-ittihad. Hal ini lebih keji daripada kafirnya orang-orang Nashrani. Karena 
orang-orang Nashrani mengkhususkan menyatunya Alllah hanya dengan Al-Masih, 
sedangkan mereka memberlakukan secara umum terhadap seluruh mahluk. termasuk 
keyakinan mereka pula, bahwa Fir'aun dan kaumnya memiliki kesempurnaan iman, 
sangat mengenal Allah secara hakiki.

Termasuk dari cabangnya pula, bahwa para penyembah berhala berada diatas 
kebenaran, dan mereka sesungguhnya beribadah kepada Allah, tidak kepada 
lainnya. Keyakinan lainnya, tida ada perbedaan dalam penghalalan dan 
pengharaman antara ibu, saudara perempuan dan yang bukan mahram. Dan tidak ada 
perbedaan antara air dengan khamer, zina dengan nikah. Semuanya itu berasal 
dari sumber yang satu. Dan termasuk cabangnya pula, bahwa para nabi 
mempersempit manusia. Maha Tinnggi Allah dari apa yang mereka katakan". [9]

Keyakinan semacam ini merupakan puncak tertinggi dari kekafiran, yang dengannya 
hancurlah seluruh agama, membatalkan seluruh syari'at, dihalalkan seluruh 
perkara yang diharamkan, dan disamakannya orang yang beriman dengan orang 
fasik, orang bertaqwa dengan orang binasa, muslim dengan mujrim, yang hidup 
dengan yang mati. Berfirman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Apakah Kami hendak menjadikan orang-orang muslim seperti orang-orang 
yang suka berbuat dosa, bagaimana kalian dengan apa yang kalian putuskan. 
Apakah kalian mempunyai kitab yang dapat dibaca ? [Al-Qalam : 35-37].

Benar, mereka mempunyai kitab selain Al-Qur'an. yaitu, Al-Fushush Al-Hikam dan 
Al-Futuhat Al-Makkiyah. Dan telah berfirman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Apakah Kami hendak menjadikan orang yang beriman dan beramal shalih 
seperti orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi. Ataukah Kami hendak 
menjadikan orang-orang yang bertaqwa seperti orang-orang kafir". [Shad : 28].

Dan apa yang kami paparkan di sini bukanlah hasil istimbath kami dan bukan pula 
ijtihad. Akan tetapi, semua itu adalah perkataan mereka yang diucapkan dengan 
lisannya. Yang syaikh paling senior diantara mereka selalu mengulang 
kekafirannya dan menyatakan kefasikannya.

Bila pembaca menghendaki hakikat yang kami paparkan dan dalil yang kami 
kukuhkan, maka lihatlah kitab Al-Fathu Ar-Rabbani dan Al-Faidh Ar-Rahmani, 
karangan Abdul Ghani An-Nablisi hal. 84,85,86,87.

Semoga Allah memaafkan kita.

[Disadur dari kitab Al-Islam fi-Dha'u Al-Kitab wa As-Sunnah, cet.II, hal. 
81-97. Dan dimuat di majalah As-Sunnah edisi 17/II/1416H-1996M, dengan judul 
Borok-Borok Sufi]
________ 
Fote Note
[1]. Ihya'Ulumuddin, AL-Ghazali, I/19
[2]. Ath-Thawasin. Al-Hallaj, cet. Masoniyah, hal. 139
[3]. Tablis Iblis, Ibnul Jauzi, hal.145.
[4]. Majmu' Fatawa, Ibnu Taimiyah, XI/247-248
[5]. Ma'arij At-Tashawuf Ila Laqaiq At-Tashawuf, Ahmad Bin 'Ajibah, hal.139.
[6]. Al-Futuhat Al-Makiyah, I/354.
[7]. Fushush Al-Hikam, hal.90
[8]. Shufiyat, hal.27
[9]. Syarh Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, hal.79




CAHAYA (NUR) MUHAMMADI
Termasuk dalam madzhab wihdah al-wujud, ialah adanya keyakinan dikalangan 
orang-orang sufi tentang masalah Aqthab, Autad, Abdal, Aghwats, An-Najba (yakni 
beberapa istilah status, jabatan atau peringkat dikalangan sufi), bahwa ruh 
Allah berdiam pada diri mereka sehingga merekalah yang mengatur apa yang ada.

Mereka menduduki kedudukan Allah dalam mencipta dan mengatur. Yang demikianpun 
termasuk keyakinan Syi'ah terhadap para imamnya. Seperti dikatakan Khumeini 
dalam kitabnya Al-Hukumah Al-Islamiyah hal.52 : "Sesungguhnya imam mempunyai 
kedudukan yang terpuji dan derajat yang tinggi, dan kekuasaan untuk mencipta 
serta tunduk di bawah kekuasaannya seluruh unsur dari semesta ini. Dan termasuk 
madzhab kami yang sangat penting pula, bahwa para imam kita mempunyai kedudukan 
yang tidak dapat diraih oleh para malaikat terdekatpun, dan tidak pula oleh 
nabi yang didekatkan. Dan berdasarkan riwayat-riwayat yang ada pada kita, 
dengan hadits-haditsnya, bahwa Rasul teragung Shallallahu 'alaihi wa sallam dan 
para imam, mereka semua, sebelum adanya alam semesta ini berupa cahaya yang 
dijadikan Allah mengelilingi Ars-Nya. [1]

Sesungguhnya orang-orang sufi, dimana beribu-ribu kaum muslimin dari segala 
penjuru dirangkul mereka, lalai ketika mengangkat orang-orang tersebut (para 
imamnya) ke derajat ketuhanan atau yang mendekati hal itu. Yaitu menjadikan 
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkedudukan diantara mereka dalam 
mengatur semesta, baik masalah penciptaan dan pengaturan, mendatangkan manfaat 
dan memberikan madharat, qadha dan qadar .... Maka, mulailah mereka 
mengada-ngadakan perkataan terhadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam 
melalui teori Al-Haqiqah Al-Muhammadiyah yang mengeluarkan Rasulullah dari alam 
manusia dan menjadikannya cahaya (nur). Dari cahaya Muhammad itulah seluruh 
mahluk diciptakan.

"Artinya : ... Sungguh besar perkataan yang keluar dari mulut mereka. Tiadalah 
yang mereka katakan itu kecuali dusta". [Al-Kahfi : 5]

Berikut ini sebagian dari perkataan mereka :

[1]. Muhammad Adalah Asal Semesta.
"Sesungguhnnya akal yang pertama adalah dinasabkan kepada Muhamad. Karenanya 
Allah menciptakan Jibril di waktu terdahulu. Maka Muhammad adalah bapak bagi 
Jibril dan merupakan asal dari seluruh alam semesta".[2]

[2]. Muhammad Di Atas 'Arsy.
"Mahluk yang pertama adalah debu, dan mahluk yang pertama yang berwujud secara 
hakiki adalah Muhammad yang disifatkan istiwa' di atas 'Arsy Ar-Rahmani, yaitu 
'Arsy ilahi. [3]

[3]. Cahaya Muhammad (Nur Muhammadi) Adalah Cahaya Allah.

[4]. Muhammad Adalah Penjaga Atas Semesta.

[5]. Semesta Diciptakan Karena Muhammad.

Ibnu Nabatah Al-Mishri berkata :
Kalau bukan karenanya,
tidak adalah bumi dan tidak pula ufuk.
Tidak pula waktu, tidak pula mahluk,
tidak pula gunung.

[6]. Muhammad Mengetahui Yang Ghaib.

Berikut ini dalil-dalil mereka yang mereka sembunyikan di balik 
punggung-punggunya :

Hadits pertama.
"Artinya : Pertama kali yang diciptakan Allah adalah cahaya nabimu, wahai 
Jabir" [Hadits Palsu]

Hadits kedua.
"Artinya : Aku sudah menjadi nabi sedangkan Adam masih berwujud antara air dan 
tanah". [Hadits Palsu. Lihat Syarah Jami'ash-Shagir III/91 dan Asna Al-Mathalib 
hal. 195]

Ini adalah perkataan yang sangat lemah dan matan-nya mungkar. Bukankah air 
adalah bagian dari tanah ? Adapun hadits shahih berlafadz : "Artinya : Aku 
sudah menjadi Nabi, sedangkan Adam adalah keadaan antara ruh dan jasad", tetapi 
ini pada ilmu Allah yang azali.

Hadits ketiga.
"Artinya : Kalau tidak karena engkau, maka bintang-bintang itu tidak 
diciptakan". [Shan'ani berkata bahwa hadits ini Palsu dan disepakati Imam 
Syaukani dalam kitab Fawaid Al-Majmu'ah hl. 116]

Padahal sesungguhnya Allah telah menutup berbagai jalan menuju perbuatan yang 
melebih-lebihkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Allah Subhanahu wa 
Ta'ala berfirman.

"Artinya : Katakanlah, sesungguhnya aku ini adalah manusia seperti kamu semua. 
Hanyasanya diwahyukan kepadaku (wahyu). Sesungguhnya sesembahanmu adalah 
sesembahan yang Esa. Maka barangsiapa yang mengharapkan bertemu dengan Rabbnya, 
hendaklah ia beramal dengan amalan yang shalih dan tidak menyekutukan sesuatu 
pun dengan-Nya". [Al-kahfi : 110]

Dan berfirman Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Katakanlah, Maha Suci Rabbku. Bukankah aku ini hanya seorang manusia 
yang menjadi rasul ?". [Al-Isra : 93]

Dan berfirman Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Katakanlah, tidaklah aku mengatakan kepada kalian semua bahwa aku 
mempunyai perbendahaaran Allah, tidak pula aku mengetahui yang ghaib, tidak 
juga aku katakan bahwasanya aku ini malaikat. Tidaklah aku mengikuti kecuali 
apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah, apakah sama orang yang melihat dengan 
orang yang buta ? Apakah kalian semua tidak berpikir ?". [Al-An'am : 50]

Telah bersabda pula beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Janganlah kalian semua melebih-lebihkan aku seperti orang-orang 
Nashrani melebih-lebihkan Isa anak Maryam. Sesungguhnya aku adalah hamba, maka 
katakanlah hamba Allah dan utusan-Nya". [Hadits Shahih Riwayat Bukhari dan 
Muslim]

Dan telah bersabda Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Sesungguhnya aku ini adalah manusia yang dapat marah pula". [Hadits 
Shahih Riwayat Bukhari dan Muslim]

Dan riwayat lainnya yang sangat banyak. Inilah sifat-sifat kemanusiaan yang di 
sandang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sejak lahirnya hingga bertemu dengan 
Rabbnya. Beliaulah yang mengajak manusia untuk mencontohnya dan menempuh 
jejak-jejaknya.

Kalau bukan dari alam kita, tidaklah kita diperintahkan untuk mengikuti beliau 
dan menjalani sunah-sunahnya. Siapakah yang lebih benar perkataannya dari 
Allah, sedangkan Dia telah menyetujui hakikat ini melalui lafadz-lafadz Qur'ani 
yang pasti dan terinci :

"Artinya : Mereka berkata, kenapa tidak diturunkan kepada kita malaikat ? kalau 
diturunkan kepada mereka malaikat, maka pasti telah diselesaikan perkaranya 
(dengan dibinasakan mereka semua) kemudian mereka tidak diberi tangguh. Dan 
kalau seandainya Kami turunkan malaikat, pasti akan Kami jadikan dia seorang 
manusia, Kami-pun akan jadikan mereka tetap ragu sebagaimana mereka kini ragu". 
[Al-An'am : 8-9]

Dan ketahuilah, semoga Allah menambahkan ilmu kepadamu, semesta ini adalah 
mahluk yang diciptakan dengan tujuan tertentu. Yaitu beribadah kepada Allah. 
Seperti dinyatakan dalam firman-Nya.

"Artinya : Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah 
kepada-Ku". [Adz-Dzariyat : 56]


PENDIDIKAN SUFI
Supaya ajaran tasawuf mencapai tujuannya, mereka kenakan pada tokoh-tokohnya 
sifat bebas dari dosa ('ishmah). Selain itu, menuntut kepada muridnya agar 
bersikap seperti mayit di tangan yang memandikannya. Maka janganlah engkau 
melampauinya dengan mengambil ilmu sufi dari guru lain, karena seorang murid 
yang menimba ilmu dari dua guru ibarat seorang wanita di tangan dua lelaki. [4]

Ibnu Arabi berkata : "Sesungguhnya termasuk syarat imam batin, hendaklah ia 
ma'shum (bebas dari dosa)" [5] Katanya lebih lanjut : "Dan engkau, wahai para 
murid yang tertipu dan tersesat, bantulah apa yang diinginkan terhadap engkau. 
Dan bersangka baiklah, jangan membantah. Bahkan yakinilah. Dan manusia dalam 
masalah ini mempunyai perkataan yang banyak. Tapi terserah dirilah, niscaya 
engkau akan selamat. Dan Allah lebih mengetahui perkataan para walinya. [6]

Kami tidak mengetahui kenapa banyak ulama kaum muslimin berdiam diri terhadap 
kekufuran dan keingkaran yang bersembunyi dalam pakaian Islam yang bertujuan 
menipu, menyesatkan serta mengajak kaum muslimin untuk meyakininya serta 
menegakan agama mereka di atas asasnya ? Sesungguhnya termasuk suatu kebaikan 
jihad di sisi Allah untuk menghapuskan fitnah ini dari kalangan muslimin, 
karena sesungguhnya fitnah lebih kejam dari pembunuhan.

Kenapa kaum muslimin tidak terang-terangan memerangi mereka secara keseluruhan 
demi tumbangnya kepalsuan-kepalsuan yang telah memburamkan keindahan Islam ?.

Bahkan kenyataannya banyak kaum muslimin yang tersembelih kesesatan dan 
kekufuran ini. Dan tidaklah menyelamatkan mereka dari keadaan yang demikian ini 
kecuali usaha para ulama Islam untuk menyingkap kebatilan-kebatilan tadi dengan 
berbagai bahasa dan dengan berbagai kedudukan. Maka wahai Rabbku, bangkitkanlah 
orang-orang yang memperbaharui agama-Mu ini, karena sesungguhnya kaum sufi 
telah kembali bangkit dengan wajah baru pula.


[Disadur dari kitab Al-Islam fi-Dha'u Al-Kitab wa As-Sunnah, cet.II, hal. 
81-97. Dan dimuat di majalah As-Sunnah edisi 17/II/1416H-1996M, dengan judul 
Borok-Borok Sufi]
________ 
Fote Note.
[1] Al-Hukumat Al-Islamiyah, Khumeini, hal. 52
[2] Al-Insan Al-Kamil lil Jalil, hal.4
[3] Futuhat Al-Makkiyah, I/152
[4] Ihya' Ulumuddin, I/50-51 dan III/75-76
[5] Futuhat Al-Makkiyah, III/183
[6] Muqaddimah AL-Futuhat, I/5



[Non-text portions of this message have been removed]





------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Join modern day disciples reach the disfigured and poor with hope and healing
http://us.click.yahoo.com/lMct6A/Vp3LAA/i1hLAA/TXWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah.
Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke