Menikah Lagi    

    [Cerpen]   Oleh Zaenal Radar T.

Aku berniat menikahi janda itu. Tapi, apakah istriku bersedia menerimanya? Dulu 
aku sudah berjanji pada istriku, bahwa kami akan setia sehidup semati. Kalau ia 
mendengar aku akan menikah lagi, apakah Ia sudi menjalaninya, menjadi istri 
yang dimadu?

Perempuan janda yang akan kunikahi itu tidak terlalu cantik. Usianya sekitar 
empat puluh lima tahun. Ia memiliki empat orang anak yang masih sekolah. 
Kehidupan keluarganya selalu kekurangan karena penghasilan yang tidak memadai. 
Sehari-harinya perempuan itu menjadi pelayan di sebuah rumah makan, Kupikir, 
kalau ia kunikahi, aku akan menjadi ayah dari anak-anak mereka, Menjadi 
penunjang ekonomi keluarganya.

Aku sudah lima kali berkunjung ke rumahnya, Keempat anaknya menerima 
kedatanganku dengan baik. Yang tertua kelas tiga SMA. Yang dua SMP dan satu 
lagi masih SMP. Tentu biaya yang ditanggung itu cukup berat bagi seorang 
perempuan tak bersuami yang tidak memiliki karir bagus dalam pekerjaannya.

Ketika berada di rumahnya, kusampaikan maksud kedatanganku, bahwa aku akan 
menikahinya, menjadi ayah anak-anaknya. 

"Mas harus pikir masak-masak. Saya sendiri sangat bersedia menjadi istri mas. 
Dan anak-anak kelihatannya senang menerima kehadiran mas. MungKin mereka ingin 
memiliki ayah, seperti teman-temannya. Tapi, bagaimana dengan keluarga mas 
sendiri?"

Pertanyaan itu tak bisa kujawab. Aku sendiri belum tahu apa reaksi keluargaku 
bila mendengar aku akan menikah lagi. Apakah hal itu sebaiknya kurahasiakan?

Aku tidak mau berbohong pada istri dan anak-anakku. Aku tidak mau memberi 
contoh yang tidak baik pada mereka. Seadainya ditutup-tutupi, pasti suatu saat 
akan tercium juga. Baiknya aku berterus terang saja, menjelaskan pada mereka 
bahwa aku akan menikah lagi!

Suatu sore seluruh keluargaku kukumpulkan di ruang tengah. Istri dan 
anak-anakku tampak bertanya-tanya, mengapa aku mengumpulkan mereka. Seperti ada 
sesuatu yang sangat penting. Atau mungkin juga mereka berfikir akan mendapatkan 
kejutan.

"Ada apa sih, yah? Ayah mau membawa kami keliling Bandung lagi? Atau, mungkin 
kita akan berangkat umroh ke tanah suci sekeluarga untuk yang kedua kali?"

"Bukan, bukan itu, Nada. Kamu dengar dulu cerita ayah. Dan kalian semua, jangan 
dulu marah pada ayah, Ayah akan menceritakan..."

Tiba-tiba aku berubah pikiran. Setelah kutimbang-timbang, rasanya tak baik 
menceritakan hal ini pada seluruh keluargaku. Mengapa tidak lebih baik 
kuceritakan pada istriku saja? Kalau istriku setuju, anak-anak mungkin lebih 
bisa diatur.

"Lho?! Kok, ayah jadi ragu begitu?" sosor Arman, anakku yang paling kecil. Hal 
itu membuat istriku tersenyum. Perempuan yang masih sangat kelihatan cantik itu 
tampak bangga melihat putra bontotnya kritis begitu.

"Ayo dong, yah! Ceritanya diterusin!"

"lya, ayah ini gimana sih? Katanya mau cerita??"

Kupandangi keempat anakku. Mereka terlihat penasaran pada cerita yang akan 
kusampaikan. Istriku masih tersenyum-senyum.

"Baik, akan ayah lanjutkan. Begini anak-anak. Besok kalian akan ayah titipkan 
di rumah nenek. Karena ayah dan ibu punya urusan yang sangat penting!"

"Maksud ayah apa?!" lagi-lagi Arman menyela. Dan ketiga anakku yang lain 
semakin bingung. Juga istriku, jadi ikut-ikutan bingung. Senyumnya tak lagi 
terlihat.

"Nanti saja akan ayah ceritakan setelah kalian pulang dari rumah nenek."

"Yaa, ayah...!"

Semua anak-anakku protes. Ibu mereka membujuk agar mereka mau mengerti.

Malam itu, saat anak-anak kutitipkan di rumah nenek mereka, aku akan berterus 
terang pada istriku. Mengapa hal ini kulakukan tidak di depan anak-anak, yakni 
agar menjaga kemungkinan yang tidak mengenakkan terjadi. Kalau tiba-tiba 
istriku mengamuk di depan anak-anak, khawatir akan menyebabkan kekacauan pada 
diri mereka nantinya. Dan seandainya istriku menahan amarahnya demi menjaga 
nama baiknya di depan anak-anak, ini juga tidak baik.

Aku ingin tahu tanggapan istriku sejujurnya, setelah mendengar apa yang akan 
kusampaikan nanti. Apakah ia bersedia bila aku menikah lagi?

Aku mesti mencari kalimat yang paling enak, paling masuk akal, paling 
beralasan, paling bisa diterima, sehingga istriku tidak terlalu terkejut. Ya, 
terkejut. Aku yakin istriku akan terkejut mendengar pengakuanku nanti. Dan aku 
tak mau ia akan terkejut dengan main-main, atau terkejut sekali! Aku ingin ia 
terkejut biasa-biasa saja. Aha, terkejut biasa-biasa saja...? Apa ada?

"Begini bu, tadi siang sebenarnya ayah ingin bercerita di depan anak-anak. Tapi 
ayah khawatir anak-anak tidak siap menerimanya. Dan ayah pikir, mereka belum 
mengerti pada hal-hal yang akan ayah ceritakan."
Istriku menatapku, dengan tak lupa menyunggingkan senyumnya. Aku melihat ia 
menghela napas perlahan, begitu rileksnya.

"Selama ini ayah telah bekerja keras demi ibu, demi anak-anak, juga demi 
persiapan kebutuhan kita kelak. Ayah ingin hidup kita bahagia, sampai akhir 
hayat..."

Istriku mengangguk. Senyumnya masih tersisa.

"Namun ayah merasa masih ada sesuatu yang kurang. Kita memang sudah cukup 
banyak beramal. Kita tak pernah lupa menyisihkan bagian harta kita untuk 
yayasan anak-anak yatim dan panti jompo. Setiap tahun kita pun tak pernah 
berhenti mengundang orang-orang tidak mampu untuk diberikan sedekah. Dan yang 
dimaksud kurang bagi ayah adalah..."

Kali ini istriku tak lagi tersenyum. Air mukanya seperti orang berharap-harap 
cemas. Menunggu sebuah keputusan yang tak bisa diterkanya.

"Ibu rasa.... ayah terus terang saja. Selama ini ibu merasa sudah menjadi ibu 
yang baik bagi ayah, bagi anak-anak, bagi keluarga besar kita, juga bagi 
lingkungan. Kalau masih ada yang kurang dari ibu, barangkali karena 
keterbatasan ibu sebagai manusia biasa, yang tak luput dari kekurangan."

"Maaf bu, ayah jadi tak enak mengutarakan ini... Sebab, ayah dan ibu pernah 
bersumpah sehidup semati..."

Tiba-tiba kulihat airmata istriku berair. Nampaknya perempuan cantik yang 
sangat kusayangi ini sudah mengetahui maksud pembicaraanku. Ia mulai terisak.

"Kalau ibu merasa bersalah... hiks... maafkan ibu... Tapi... jangan 
terlantarkan anak-anak kita.... Hiks... yang selama ini telah kita rawat dengan 
baik. Ibu cuma minta... kejujuran ayah... apa yang menyebabkan hal ini 
tejadi..."

Isak itu semakin menjadi-jadi. Aku sungguh beruntung telah mengungsikan 
anak-anak ke rumah nenek. Sebab kalau tidak, aku tak akan mampu menjelaskan 
pada anak-anak mengapa ibu mereka menangis.

"Bu,.. dengar dulu..."

"Kalau ayah sudah tak sayang padaku, ceraikan saja yah... ceraikan saja..." 
Istriku menangis.

"Ssst...Bu..."

''Ayah...tak usah...memberikan alasan macam-macam...! Tak perlu… bicara panjang 
lebar...! Hanya akan membuat sakit hati ibu! Hiks...Kalau ayah... hendak 
menceraikan ibu... ibu akan menerimanya dengan lapang dada...! Biarkan 
anak-anak ibu rawat..,! Dan ayah bisa pergi dengan perempuan lain yang menjadi 
pilihan ayah...!"

"Bu... dengar dulu..."

Tangis istriku makin menjadi-jadi. Aku bingung bagaimana menjelaskannya, Ia 
sudah termakan oleh perasannya sendiri.

"Bu, siapa yang mau menceraikan ibu?!"

Istriku diam, tapi isaknya masih sesekali terdengar. Aku merengkuh tubuhnya, 
tapi ia mengelak. Huh, baru kali ini ia begitu.

"Bu, dengar ya..."

Aku ceritakan tentang seorang janda yang memiliki empat anak yang masih sangat 
membutuhkan seorang ayah. Kuceritakan dengan jujur bagaimana perempuan yang 
hendak kunikahi itu.

"Bagaimana Bu? Apakah ibu mau menerimanya??!"

Istriku menarik nafas dengan berat. Menghelanya sambil menggelengkan kepala.

"Bu...?!"

Istriku tetap diam, lalu berlari ke kamarnya. Aku mengejarnya. Namun tak 
berhasil menangkapnya karena ia telah mengunci pintu kamar dari dalam, 
Semalaman ini istriku mengunci diri di dalam kamar, dan aku tak bisa tidur di 
ruang tengah.

Pagi-pagi sekali, ketika suara azan subuh terdengar, aku beranjak ke kamar 
mandi. Aku mengambil wudhu lalu melangkah ke ruang sembahyang. Di sana, aku 
sudah melihat istriku tengah bersujud, sambil tubuhnya terguncang-guncang 
karena isak tangis.

Selama seminggu aku dan istriku berdiam-diam. Kami bicara seperlunya saja. Di 
depan anak-anak, kami berpura-pura mesra. Namun selepas anak-anak keluar rumah, 
istriku ke kamarnya mengunci diri.

Namun suatu sore, saat aku pulang kantor, pintu kamarnya lupa terkunci, Padahal 
anak-anak belum pulang karena tes tambahan, atau yang terbesar mungkin sedang 
mampir di rumah salah satu temannya. Seminggu ini aku memang kehilangan 
konsentrasi mengurus anak-anak.

Di dalam kamar, aku tidak menemukan istriku. Lalu kuhubungi nomor telepon 
genggamnya. Ternyata tidak diaktifkan. Setelah itu kuhubungi anak-anakku satu 
persatu. Aku menyuruh mereka segera pulang.

Sebelum anak-anak pulang, istriku sudah kembali ke rumah. Ketika kutanya, ia 
tak menyahut. Rupanya, genderang perang sudah berbunyi. Namun aku tidak mau 
berperang dengan istriku sendiri. Selama ini kami tak pernah serius bertengkar. 
Kalau pun pernah, tak lebih dari dua jam kami akan akur kembali. Tapi kini, 
sudah seminggu kami berdiam-diam.

Aku tak mau menyalahkannya. Kesalahan harus kutumpahkan pada diriku sendiri. 
Aku tak mau mengorbankan keluarga hanya karena kepuasanku semata. Sejujurnya 
kuakui, keinginanku menikah dengan perempuan janda dengan empat orang anak itu 
bukan semata-mata rasa kasihan pada mereka. Namun juga karena benih cinta yang 
secara tak sengaja bersemi di antara aku dan janda penunggu rumah makan itu.

Selain ingin menikahinya, aku juga berharap mendapat kasih sayangnya, sekaligus 
bisa membantu keluarga perempuan itu. Dan nampaknya semua itu tak mungkin aku 
lakukan. Sebab aku harus menyelamatkan keluargaku.

Menarik kembali sayap istriku yang mungkin hendak terbang meninggalkanku!

Biar bagaimanapun, aku tak mau kehilangan istriku. Aku dan dia telah berjanji 
sahidup semati. Kami tak mungkin bisa dipisahkan, kecuali oleh ajal!

Sore menjelang malam, kami semua berkumpul. Istriku seperti biasa, terlihat 
sangat ceria di depan anak-anak. Padahal aku tahu, barangkali hatinya telah 
remuk. Ia memang perempuan yang sangat pandai menjaga perasan di depan 
anak-anak. Aku sangat beruntung menjadikannya sebagai istri.

Menjelang malam, anak-anak berangkat tidur. Istriku sepetri biasanya, masuk 
terlebih dahulu ke kamar. Tetapi kali ini ia tak menguncinya. Ketika kubuka, ia 
masih belum tidur. Ia kudapati tengah membaca sebuah majalah, terlihat begitu 
santai.

Di kamarku sendiri, aku bagai orang asing, Inilah mungkin hukuman bagi orang 
yang bersalah, yang merasa terpenjara oleh perasaannya sendiri.

"Bu..."

Istriku melipat majalah, memberikan konsentrasi penuh terhadapku. Sungguh 
perubahan yang sangat menggembirakan. Sebelum ini aku tak pernah mendapat 
kesempatan bicara padanya. Tapi kali ini, sepertinya ia siap mendengar 
kata-kataku.

"Bu, maafkan kata-kata ayah tempo hari. Ayah sungguh menyesal mengatakannya 
pada ibu. Ayah memang lelaki tak tahu di untung. Ayah lelaki yang tak 
mensyukuri karunia Tuhan..."

Aku berhenti. Tapi istriku tak menunjukkan perubahan sikap. Ia masih saja diam, 
seolah tak mau memotong kata-kataku.

"Bu... maafkan ayah..."

Baru kali ini, sepanjang sejarah pernikahan kami, aku meneteskan airmata 
kesedihan di depan istriku.

"Bu... maafkan bila ayah telah khilaf... Ayah tak mau kehilangan ibu. Demi 
Tuhan, ayah tak mau bercerai. Dan ayah berjanji tak akan menikah lagi..."

Istriku beranjak dari tempatnya, lalu merapatkan tubuhnya ke dekatku. Tak 
sadar, kepalaku sudah berada di pangkuannya. Dan kurasakan, ia membelai-belai 
rambutku. Menunjukkan kasih sayangnya, yang selama ini tak pernah hilang sejak 
kami menikah dulu.

“Ayah... ibu juga minta maaf..."

Sambil berkata begitu, istriku masih tetap membelai-belai rambutku. Aku menjadi 
seperti anak kecil yang manja pada orang tuanya.

"Ibu minta maaf telah menyusahkan ayah. Selama ini ibu mengurung diri bukan 
bermaksud membenci ayah. Ibu hanya perlu menenangkan diri agar perasaan sakit 
yang ibu rasakan tak terlihat oleh orang lain, apalagi oleh anak-anak kita... 
Tadi siang ibu sudah mendatangi perempuan yang menjanda itu, dan bertemu dengan 
anak-anak mereka. Nampaknya mereka memang memerlukan seorang lelaki untuk 
menjadi pelindung mereka..."

"Kalau sekiranya ayah bersungguh-sungguh mau membantu mereka, dan terbersit 
rasa sayang ayah terhadap perempuan itu, ibu ikhlas melepas ayah... untuk 
menjadi kepala keluarga bagi mereka... Hanya saja, biarkanlah hal ini menjadi 
rahasia kita berdua. Anak-anak jangan sampai tahu."

Dengan teramat tegar kata-kata itu diucapkannya. Namun ketika kutatap wajahnya, 
kulihat bola matanya basah.

"Bu..."

"Sudahlah, yah... jangan lagi bicarakan masalah ini. Semuanya sudah jelas. Mari 
kita tidur..."

Istriku menggeser tubuhnya, lalu beringsut mematikan lampu kamar. Ia meluruskan 
tubuhnya di ranjang, aku di sebelahnya. Tak lama kemudian kudengar dengkuran. 
halusnya. Dan malam itu, aku tak berkutik di sampingnya. Aku tak beranjak ke 
mana-mana, meski kedua biji mata ini sulit sekali kupejamkan


Yathie 
(Ingati bila Sunyi, Rindui bila Jauh, Fahami bila Keliru, Nasehati bila Lalai 
dan Maafkan bila Terluka. Alangkah Indahnya ukhuwah bila sgalanya karena Allah 
SWT)

 
---------------------------------
Be a PS3 game guru.
Get your game face on with the latest PS3 news and previews at Yahoo! Games.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke