Wido,

Secara bahasa dan logika memang tidak ada yang salah dg "di Inggris" dan
"lagi-lagi" nya. Tapi di tengah kecurigaan antara "barat" dan "timur", dan
kecurigaan antar umat beragama, judul ini menjadi tidak peka secara sosial.
Saat ini ada kecenderungan teman-teman aktifis Islam untuk menyamaratakan
bahwa semua yang dari barat itu pasti memusuhi Islam, dan judul berita ini
memperkuat kecurigaan itu.

 

Padahal kita tahu bahwa masalahnya adalah ada sebagian orang yang tidak bisa
menghargai perbedaan (dg tidak setuju jilbab) namun ada sebagian yang lain
yang mendukung. Perbedaan inilah yang tidak tertangkap dari judul dan isi
berita tersebut. Tidak berimbang. 

 

Coba seandainya ada berita berjudul "Di Saudi Arabia, seorang laki-laki
beristri tiga lagi-lagi melecehkan TKI". Apa kesan kita membaca judul
seperti itu? Stigma bahwa selama ini pria arab berperangai buruk terhadap
perempuan akan semakin melekat bukan? Dan tentu identitas arabnya akan
identik dg identitas agama. Padahal dari segi logika dan bahasa tidak salah.
Ini yang saya sebut pemberitaan yang kurang peka.

 

Padahal kalau mau lebih taktis, alih-alih kita menyorot uskup yang tidak
setuju jilbab, bukankah lebih baik menyorot uskup yang justru mendukung? Di
tengah suasana dunia yang makin mencurigai, pemberitaan semacam ini akan
lebih mendinginkan suasana. Akan lebih taktis jika uskup yang mendukung
tersebut lantas didekati, supaya ada teman seperjuangan. Kalau perlu
permasalahan pelarangan pemakaian simbol2 agama di perancis bisa dibawa ke
mahkamah internasional. Tirulah cara "lobi yahudi" dalam hal ini. Bawa
masalah itu ke tingkat formal, koridor hukum, bukan hanya kasak-kusuk berbau
SARA dan bernuansa konspirasi. Jadi yang perlu kita lakukan adalah mencari
teman, pandai2 melihat persamaan, bukannya makin membeda-bedakan. Tanpa bisa
sinergi dg elemen lainnya, gerakan Islam hanya akan meniru tingkah laku dan
keburukan mereka yang dikritiknya.

 

Oh ya, FYI saya sendiri bersikap tidak setuju kalau ada
pelarangan-pelarangan terhadap jilbab dan simbol2 agama lain. Karena jilbab
bukan sekedar pakaian namun juga cara orang beribadah. Melarang penggunaan
jilbab berarti melarang orang beribadah.

 

Mohon maaf juga sebelumnya kalau ada salah2 kata, 

 

aquino

 

 

 

 

 

From: mediacare@yahoogroups.com [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf
Of Wido Q Supraha
Sent: 15 Nopember 2006 10:28
To: 'aquino'; mediacare@yahoogroups.com
Subject: RE: [mediacare] Di Inggris, Jilbab Lagi-Lagi Dilecehkan, Dianggap
Tidak Sesuai Norma Kesopanan

 

Mas Aquino,

 

Frasa "Di Inggeris" berbeda dengan kata "Inggeris melecehkan".

Saya kira tidak ada masalah dengan frasa "Di Inggris", karena ia menunjukkan
lokasi tempat terjadinya. Dan kenapa ada kata "lagi-lagi", lebih disebabkan
karena ini adalah komentar yang kesekian kalinya dari usaha-usaha
orang-orang yang 'terpandang' dan memiliki 'simpatisan' dengan berkata-kata
dan beropini, bahkan 'berusaha' atas sesuatu yang ia tidak memiliki
pengetahuan akan hal itu.

 

Mohon ma'af sebelumnya,

 

--wqs

 

Powered by Gentoo!

 

  _____  

From: aquino [mailto:[EMAIL PROTECTED] 
Sent: Wednesday, November 15, 2006 9:20 AM
To: mediacare@yahoogroups.com
Cc: 'Wido Q Supraha'
Subject: RE: [mediacare] Di Inggris, Jilbab Lagi-Lagi Dilecehkan, Dianggap
Tidak Sesuai Norma Kesopanan

 

Yang menolak adalah satu orang; uskup John Sentamu, tapi di judul berita
ditulisnya "Di Inggris...." Apakah John Sentamu mewakili Inggris secara
keseluruhan? Tentu tidak, buktinya ada Uskup Rowan William yang membela hak
memakai jilbab.

 

Hati-hati gaya propaganda media massa!

 

 

  _____  

From: mediacare@yahoogroups.com [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf
Of Wido Q Supraha
Sent: 14 Nopember 2006 16:34
To: mediacare@yahoogroups.com
Cc: [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED];
[EMAIL PROTECTED]
Subject: [mediacare] Di Inggris, Jilbab Lagi-Lagi Dilecehkan, Dianggap Tidak
Sesuai Norma Kesopanan

 

 

Di Inggris, Jilbab Lagi-Lagi Dilecehkan, Dianggap Tidak Sesuai Norma
Kesopanan

Selasa, 14 Nov 06 15:02 WIB

 

Pernyataan Keuskupan York-institusi tertinggi kedua dalam Church of
England-tentang jilbab lagi-lagi menyinggung perasaan warga Muslim,
khususnya Muslimah di negeri itu. Betapa tidak, Uskup York, John Sentamu
mengatakan jilbab tidak sesuai dengan "norma-norma kesopanan."

 

Pernyataan itu terlontar dalam wawancaranya dengan surat kabar British Daily
Mail. Dalam wawancara itu, Sentamu ditanya apakah Muslimah Inggris yang
mengenakan jilbab layak berharap bisa diterima oleh publik Inggris?

 

Sentamu menjawab, "Para ulama Muslim seharusnya mengatakan tiga hal.
Pertama, apakah ini sesuai dengan norma-norma kesopanan? Kedua, apakah ini
akan membuat anda lebih aman? Dan ketiga, Islam yang bagaimana yang anda
tunjukkan dengan mengenakan jilbab?"

 

Sentamu kemudian menambahkan, "Pada pertanyaan pertama, saya tidak berpikir
bahwa jilbab benar-benar sesuai (dengan norma kesopanan)."

 

Sentamu lebih lanjut mengatakan, ia melepas kalung salibnya saat berkunjung
ke masjid atau sinagog dan menutup kepalanya ketika berada di kuil penganut
Sikh. "Karena saya akan masuk ke rumah orang lain," dalihnya.

 

"Dan saya tidak bisa dengan mudah mengatakan, 'terimalah saya apa adanya,
anda suka atau tidak.' Saya pikir di masyarakat Inggris anda bisa mengenakan
apa saja yang anda inginkan, tapi anda tidak bisa berharap masyarakat
Inggris mengubah pandangan di sekitar anda. Tidak ada satupun kelompok
minoritas yang bisa berharap hal itu akan terjadi di kehidupan publik atau
sipil," sambung Sentamu.

 

Komentar Sentamu tentang jilbab, bertolak belakang dengan pandangan Kepala
Church of England, Uskup Rowan William yang secara terbuka membela hak
mengenakan jilbab.

 

Komentar Sentamu memicu reaksi keras dari para Muslimah di Arab Saudi dan
Inggris, baik Muslimah yang mengenakan jilbab dan cadar maupun yang tidak.
"Apa-apaan ini, menilai dari apa yang kita kenakan dan tidak kita kenakan,"
kritik Wafa Ahmad, seorang guru di Jeddah yang ketika berada di luar Arab
Saudi mengaku tidak mengenakan jilbab atau cadar.

 

"Mengapa seluruh dunia tidak bisa melepaskan masalah jilbab dari kepala
mereka dan menghentikan obsesi soal apa yang dikenakan di kepala...Mengapa
Barat merasa begitu terancam dengan kaum perempuan yang menutup atau tidak
menutup wajah dan kepalanya? Saya betul-betul tidak mengerti," ujar Wafa.

 

Seorang Profesor studi kewanitaan di Universitas King Saud di Riyadh
mengatakan,"Norma kesopanan macam apa yang dibicarakan uskup ini? Kesopanan
atau berkerudung juga diajarkan dalam Kristen dan Yudaisme. Mengapa semuanya
hanya fokus pada Muslim?"

 

"Saya katakan pada masyarakat Barat, tidakkah mereka yang berceramah pada
kita tentang kebebasan individu? tentang wawasan dan menerima perbedaan?"
tandas profesor itu.

 

Seorang pengusaha asal Arab Saudi mengatakan, ketika di Roma berlakulah
seperti yang dilakukan orang-orang Roma, dalam arti bukan berarti harus
melepas jilbab ketika berada di tengah orang Roma.

 

"Salah seorang anak perempuan saya mengenakan jilbab, tapi saya yakin
tujuannya mengenakan jilbab bukan untuk mencari perhatian. Maka ia
mengenakan pakaian yang

 

dipadukan untuk berbaur, kadang mengenakan bandana atau topi...Orang -orang
tahu ia seorang Muslim karena kepalanya selalu tertutup," ujar pengusaha
itu.

 

Di Inggris sendiri, mantan duta besar Inggris untuk Uzbekistan, Craig Murray
menyatakan, sangat buruk jika seorang pemimpin Kristen menyulut api
Islamofobia. "Ada-ada saja mengatakan bahwa jilbab tidak 'pantas'. Mengapa
setiap orang harus sama dalam aturan berpakaian? Tak seorangpun yang
melarang Dr Sentamu mengenakan jubah pendeta atau baju seperti ulama. Itu
urusan dia," sambung Murray.

 

Pertanyaan kritis juga dilontarkan oleh seorang wartawan di Inggris Isla
Rosser-Owen, apakah Uskup Sentamu berpikiran sama terhadap para biara yang
juga menutup kepalanya seperti Muslimah yang berjilbab. "Dalam tatanan yang
lebih tradisional, banyak dari para biara yang bukan hanya menutup kepalanya
tapi juga hampir seluruh wajahnya. Apakah mereka juga akan melontarkan
pernyataan sama?" tanya Rosser-Owen.

 

Seorang mahasiswi universitas di Inggris yang mengenakan cadar, Ayesha
Muhammad menilai komentar Sentamu sebagai pembenaran politik yang "gila."

 

"Dia mengatakan melepas kalung salibnya saat masuk ke masjid, cukup adil.
Tapi dia tidak diharapkan untuk melakukan itu dan tak seorang Muslim yang
akan tersinggung jika dia tetap mengenakan kalung salibnya saat berada di
masjid," tegas Ayesha.

 

Ia menambahkan,"Warga Muslim tidak meminta untuk mengubah negara. Mungkin
ada kelompok minoritas yang menginginkan hukum syariah, tapi mayoritas hanya
ingin bisa hidup sebagai seorang Muslim." (ln/arabnews)

 

Source : http://www.eramusli
<http://www.eramuslim.com/news/int/455977d7.htm> m.com/news/int/455977d7.htm

 

 

Kirim email ke