Masalahnya memang pada penekanan. Tekanan itu bisa untuk menggiring pembacanya karena stigma yang terbentuk dan lain-lain. Tapi penekanan juga bisa digunakan untuk membuat orang aware dan membaca beritanya.
Dalam konteks berita di bawah (yang sudah saya hapus, soalnya kepanjangan jadinya..) rasanya keberimbangan sudah cukup, yang pro dan kontra sudah ditampilkan. Saya setuju dengan Mas Aquino mengenai kecenderungan judulnya menjurus, tapi mudah2an saja ini hanya semacam "penarik perhatian" dan bukan untuk menumbuhkan kebencian. Sudah cukup banyak kebencian di sekitar kita tanpa harus kita tambah-tambahi lagi. Tetapi kalo kita membaca dalam posisi netral, memang jatuhnya kayak Mas Wido, ngga ada yang salah kok.. Itu kan cuma judul.. Mohon maaf saya kurang paham soal media, apakah penarik perhatian pada judul (maksud saya judul "bombastis") semacam ini diperbolehkan atau tidak. Dalam hal ini saya sedang mencoba belajar mengenai hal-hal ini dan jadinya tertarik untuk ikutan dalam diskusi ini. Tapi ya karena masih belajar, mohon maaf kalo pendapat saya tidak memberi kontribusi apa-apa dalam diskusi ini. Ari AMS (yang sedang belajar untuk penerbitan buletin tentang akuntabilitas dan yang seperti itu) --- In mediacare@yahoogroups.com, "aquino" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Wido, > > Secara bahasa dan logika memang tidak ada yang salah dg "di Inggris" dan > "lagi-lagi" nya. Tapi di tengah kecurigaan antara "barat" dan "timur", dan > kecurigaan antar umat beragama, judul ini menjadi tidak peka secara sosial. > Saat ini ada kecenderungan teman-teman aktifis Islam untuk menyamaratakan > bahwa semua yang dari barat itu pasti memusuhi Islam, dan judul berita ini > memperkuat kecurigaan itu. > > > > Padahal kita tahu bahwa masalahnya adalah ada sebagian orang yang tidak bisa > menghargai perbedaan (dg tidak setuju jilbab) namun ada sebagian yang lain > yang mendukung. Perbedaan inilah yang tidak tertangkap dari judul dan isi > berita tersebut. Tidak berimbang. > > > > Coba seandainya ada berita berjudul "Di Saudi Arabia, seorang laki-laki > beristri tiga lagi-lagi melecehkan TKI". Apa kesan kita membaca judul > seperti itu? Stigma bahwa selama ini pria arab berperangai buruk terhadap > perempuan akan semakin melekat bukan? Dan tentu identitas arabnya akan > identik dg identitas agama. Padahal dari segi logika dan bahasa tidak salah. > Ini yang saya sebut pemberitaan yang kurang peka. > > > > Padahal kalau mau lebih taktis, alih-alih kita menyorot uskup yang tidak > setuju jilbab, bukankah lebih baik menyorot uskup yang justru mendukung? Di > tengah suasana dunia yang makin mencurigai, pemberitaan semacam ini akan > lebih mendinginkan suasana. Akan lebih taktis jika uskup yang mendukung > tersebut lantas didekati, supaya ada teman seperjuangan. Kalau perlu > permasalahan pelarangan pemakaian simbol2 agama di perancis bisa dibawa ke > mahkamah internasional. Tirulah cara "lobi yahudi" dalam hal ini. Bawa > masalah itu ke tingkat formal, koridor hukum, bukan hanya kasak-kusuk berbau > SARA dan bernuansa konspirasi. Jadi yang perlu kita lakukan adalah mencari > teman, pandai2 melihat persamaan, bukannya makin membeda-bedakan. Tanpa bisa > sinergi dg elemen lainnya, gerakan Islam hanya akan meniru tingkah laku dan > keburukan mereka yang dikritiknya. > > > > Oh ya, FYI saya sendiri bersikap tidak setuju kalau ada > pelarangan-pelarangan terhadap jilbab dan simbol2 agama lain. Karena jilbab > bukan sekedar pakaian namun juga cara orang beribadah. Melarang penggunaan > jilbab berarti melarang orang beribadah. > > > > Mohon maaf juga sebelumnya kalau ada salah2 kata, > > > > aquino > > > > > > > > > > > > From: mediacare@yahoogroups.com [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf > Of Wido Q Supraha > Sent: 15 Nopember 2006 10:28 > To: 'aquino'; mediacare@yahoogroups.com > Subject: RE: [mediacare] Di Inggris, Jilbab Lagi-Lagi Dilecehkan, Dianggap > Tidak Sesuai Norma Kesopanan > > > > Mas Aquino, > > > > Frasa "Di Inggeris" berbeda dengan kata "Inggeris melecehkan". > > Saya kira tidak ada masalah dengan frasa "Di Inggris", karena ia menunjukkan > lokasi tempat terjadinya. Dan kenapa ada kata "lagi-lagi", lebih disebabkan > karena ini adalah komentar yang kesekian kalinya dari usaha-usaha > orang-orang yang 'terpandang' dan memiliki 'simpatisan' dengan berkata-kata > dan beropini, bahkan 'berusaha' atas sesuatu yang ia tidak memiliki > pengetahuan akan hal itu. > > > > Mohon ma'af sebelumnya, > > > > --wqs > > > > Powered by Gentoo! > > > > _____ > > From: aquino [mailto:[EMAIL PROTECTED] > Sent: Wednesday, November 15, 2006 9:20 AM > To: mediacare@yahoogroups.com > Cc: 'Wido Q Supraha' > Subject: RE: [mediacare] Di Inggris, Jilbab Lagi-Lagi Dilecehkan, Dianggap > Tidak Sesuai Norma Kesopanan > > > > Yang menolak adalah satu orang; uskup John Sentamu, tapi di judul berita > ditulisnya "Di Inggris...." Apakah John Sentamu mewakili Inggris secara > keseluruhan? Tentu tidak, buktinya ada Uskup Rowan William yang membela hak > memakai jilbab. > > > > Hati-hati gaya propaganda media massa! > > > > > > _____ > > From: mediacare@yahoogroups.com [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf > Of Wido Q Supraha > Sent: 14 Nopember 2006 16:34 > To: mediacare@yahoogroups.com > Cc: [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED]; > [EMAIL PROTECTED] > Subject: [mediacare] Di Inggris, Jilbab Lagi-Lagi Dilecehkan, Dianggap Tidak > Sesuai Norma Kesopanan > > > > > > Di Inggris, Jilbab Lagi-Lagi Dilecehkan, Dianggap Tidak Sesuai Norma > Kesopanan > > Selasa, 14 Nov 06 15:02 WIB > > > > Pernyataan Keuskupan York-institusi tertinggi kedua dalam Church of > England-tentang jilbab lagi-lagi menyinggung perasaan warga Muslim, > khususnya Muslimah di negeri itu. Betapa tidak, Uskup York, John Sentamu > mengatakan jilbab tidak sesuai dengan "norma-norma kesopanan." > > > > Pernyataan itu terlontar dalam wawancaranya dengan surat kabar British Daily > Mail. Dalam wawancara itu, Sentamu ditanya apakah Muslimah Inggris yang > mengenakan jilbab layak berharap bisa diterima oleh publik Inggris? > > > > Sentamu menjawab, "Para ulama Muslim seharusnya mengatakan tiga hal. > Pertama, apakah ini sesuai dengan norma-norma kesopanan? Kedua, apakah ini > akan membuat anda lebih aman? Dan ketiga, Islam yang bagaimana yang anda > tunjukkan dengan mengenakan jilbab?" > > > > Sentamu kemudian menambahkan, "Pada pertanyaan pertama, saya tidak berpikir > bahwa jilbab benar-benar sesuai (dengan norma kesopanan)." > > > > Sentamu lebih lanjut mengatakan, ia melepas kalung salibnya saat berkunjung > ke masjid atau sinagog dan menutup kepalanya ketika berada di kuil penganut > Sikh. "Karena saya akan masuk ke rumah orang lain," dalihnya. > > > > "Dan saya tidak bisa dengan mudah mengatakan, 'terimalah saya apa adanya, > anda suka atau tidak.' Saya pikir di masyarakat Inggris anda bisa mengenakan > apa saja yang anda inginkan, tapi anda tidak bisa berharap masyarakat > Inggris mengubah pandangan di sekitar anda. Tidak ada satupun kelompok > minoritas yang bisa berharap hal itu akan terjadi di kehidupan publik atau > sipil," sambung Sentamu. > > > > Komentar Sentamu tentang jilbab, bertolak belakang dengan pandangan Kepala > Church of England, Uskup Rowan William yang secara terbuka membela hak > mengenakan jilbab. > > > > Komentar Sentamu memicu reaksi keras dari para Muslimah di Arab Saudi dan > Inggris, baik Muslimah yang mengenakan jilbab dan cadar maupun yang tidak. > "Apa-apaan ini, menilai dari apa yang kita kenakan dan tidak kita kenakan," > kritik Wafa Ahmad, seorang guru di Jeddah yang ketika berada di luar Arab > Saudi mengaku tidak mengenakan jilbab atau cadar. > > > > "Mengapa seluruh dunia tidak bisa melepaskan masalah jilbab dari kepala > mereka dan menghentikan obsesi soal apa yang dikenakan di kepala...Mengapa > Barat merasa begitu terancam dengan kaum perempuan yang menutup atau tidak > menutup wajah dan kepalanya? Saya betul-betul tidak mengerti," ujar Wafa. > > > > Seorang Profesor studi kewanitaan di Universitas King Saud di Riyadh > mengatakan,"Norma kesopanan macam apa yang dibicarakan uskup ini? Kesopanan > atau berkerudung juga diajarkan dalam Kristen dan Yudaisme. Mengapa semuanya > hanya fokus pada Muslim?" > > > > "Saya katakan pada masyarakat Barat, tidakkah mereka yang berceramah pada > kita tentang kebebasan individu? tentang wawasan dan menerima perbedaan?" > tandas profesor itu. > > > > Seorang pengusaha asal Arab Saudi mengatakan, ketika di Roma berlakulah > seperti yang dilakukan orang-orang Roma, dalam arti bukan berarti harus > melepas jilbab ketika berada di tengah orang Roma. > > > > "Salah seorang anak perempuan saya mengenakan jilbab, tapi saya yakin > tujuannya mengenakan jilbab bukan untuk mencari perhatian. Maka ia > mengenakan pakaian yang > > > > dipadukan untuk berbaur, kadang mengenakan bandana atau topi...Orang -orang > tahu ia seorang Muslim karena kepalanya selalu tertutup," ujar pengusaha > itu. > > > > Di Inggris sendiri, mantan duta besar Inggris untuk Uzbekistan, Craig Murray > menyatakan, sangat buruk jika seorang pemimpin Kristen menyulut api > Islamofobia. "Ada-ada saja mengatakan bahwa jilbab tidak 'pantas'. Mengapa > setiap orang harus sama dalam aturan berpakaian? Tak seorangpun yang > melarang Dr Sentamu mengenakan jubah pendeta atau baju seperti ulama. Itu > urusan dia," sambung Murray. > > > > Pertanyaan kritis juga dilontarkan oleh seorang wartawan di Inggris Isla > Rosser-Owen, apakah Uskup Sentamu berpikiran sama terhadap para biara yang > juga menutup kepalanya seperti Muslimah yang berjilbab. "Dalam tatanan yang > lebih tradisional, banyak dari para biara yang bukan hanya menutup kepalanya > tapi juga hampir seluruh wajahnya. Apakah mereka juga akan melontarkan > pernyataan sama?" tanya Rosser-Owen. > > > > Seorang mahasiswi universitas di Inggris yang mengenakan cadar, Ayesha > Muhammad menilai komentar Sentamu sebagai pembenaran politik yang "gila." > > > > "Dia mengatakan melepas kalung salibnya saat masuk ke masjid, cukup adil. > Tapi dia tidak diharapkan untuk melakukan itu dan tak seorang Muslim yang > akan tersinggung jika dia tetap mengenakan kalung salibnya saat berada di > masjid," tegas Ayesha. > > > > Ia menambahkan,"Warga Muslim tidak meminta untuk mengubah negara. Mungkin > ada kelompok minoritas yang menginginkan hukum syariah, tapi mayoritas hanya > ingin bisa hidup sebagai seorang Muslim." (ln/arabnews) > > > > Source : http://www.eramusli > <http://www.eramuslim.com/news/int/455977d7.htm> m.com/news/int/455977d7.htm >