Salam Bung dimas
   
  Nama saya beka, saya bukan wartawan manapun
  Saya ikut dalam pertemuan hari rabu tanggal 6 desember 2006 sore di lt 3 
kompas, pertama untuk menunjukkan solidaritas saya sebagai teman kepada wisudo 
yang sedang tertimpa masalah ketidakadilan di tempat kerjanya, kedua untuk 
menunggu bagaimana keputusan top management kompas dalam mensikapi problem 
tersebut..akhirnya kita tahu kan bagaimana akhirnya..:(
   
  Satu catatan penting dalam kasus ini adalah wisudo dipecat bukan karena 
ketidakprofesionalan dia sebagai wartawan, tetapi lebih karena aktivitas dia 
sebagai pengurus perkumpulan pekerja kompas..suatu hal yang dilindungi oleh UU 
serikat pekerja.
  tetapi seperti yang mas satrio bilang, kondisi seperti itulah yang ada di 
kompas..
  Pemecatan tersebut juga masih menunjukkan betapa lemahnya posisi tawar 
pekerja/buruh di hadapan majikan, meskipun sudah dilindungi oleh sekian banyak 
UU..
   
  Saya kenal wisudo sudah cukup lama, sejak dia belum pindah ke desk humaniora. 
Kita sering kumpul-kumpul diskusi tentang situasi kekinian dan bagaimana 
mensikapinya.
  bagi saya, wisudo bukan hanya sekedar wartawan yang tugasnya menulis berita 
saja, tapi juga berkontribusi pada pemecahan problem-problem sosial yang ada 
sekarang ini.. memang penilaian saya ini sangat subyektif, tetapi itulah yang 
saya rasakan ketika berkawan lama dengan dia.. 
  
bung dimas, silahkan ada menilai sendiri bagaimana situasi yang ada..
   
  
dimastakha <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
          Bung, cobalah lebih balance. Anda kan wartawan senior, tidak usah
terjadi hanya percaya satu sumber. Jika itu terjadi, tentu memalukan
bukan?
Tanya juga teman2 di Kompas, apa yang sesungguhnya terjadi.
Jangan terkesan Bung ada dendam terhadap Kompas?
Serta, apakah tempat Anda bekerja saat ini lebih baik dari Kompas?

salam
dimast,
ikut prihatin juga

--- In mediacare@yahoogroups.com, Satrio Arismunandar
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Teman-teman,
> 
> Saya mendapat e-mail dari Sri Yanuarti (Yanu), peneliti LIPI,
pengurus pusat AIPI (Asosiasi Ilmu Politik Indonesia), dan istri dari
wartawan Kompas Bambang Wisodo, via milis AIPI. Isinya berkenaan
dengan kasus pemecatan Bambang Wisudo oleh manajemen Kompas, terkait
soal serikat pekerja di Kompas. Yanu adalah rekan saya di AIPI,
sedangkan Wisudo adalah juga rekan sesama pendiri AJI (Aliansi
Jurnalis Independen), dan dulu juga saya pernah sama-sama kerja di Kompas.
> 
> Saya sangat terkesan, bahwa menghadapi saat-saat sulit dan penuh
tekanan, Yanu, Wisudo dan keluarga tetap tenang dan tabah. Artinya,
perjuangan serikat pekerja ini bukan semata-mata urusan Wisudo, tetapi
sejak awal sudah disadari dan didukung penuh oleh istri/keluarga.
Tentu dengan berbagai risikonya.
> 
> Dalam kondisi ekonomi dan politik sekarang, di mana nuansa
pragmatisme dan oportunisme, kepentingan mau enak sendiri, masih
sangat kuat, saya merasa salut bahwa masih ada orang-orang yang
berjuang untuk idealismenya. 
> 
> Kalau Wisudo mau hidup enak dan nyaman di Kompas, perusahaan media
yang sudah sangat mapan di Indonesia (koran terbesar dan paling
berpengaruh), sebetulnya bisa saja. Kompas adalah salah satu dari
sedikit media yang menyediakan pensiun buat karyawannya. Namun, Wisudo
memilih jalan lain, dan kini dia menanggung risiko perjuangannya.
Yakni, dipecat oleh manajemen Kompas. 
> 
> Kita tidak tahu apa yang akan terjadi kemudian, dan tidak ingin
menduga-duga. Yang jelas, Wisudo dkk akan terus berjuang, di dalam
Kompas maupun di luar Kompas. Salah satu alternatifnya tentu lewat
jalur hukum (LBH). 
> 
> Di sini saya menilai, tindakan represif terhadap aspirasi karyawan
yang sah, seperti dialami Wisudo, tidak akan menghasilkan dampak yang
baik bagi perusahaan. Namun, yang jauh lebih merugikan Kompas
sebetulnya adalah masalah reputasi dan image, yang terkait dengan visi
dan misi Kompas, yang merupakan akar keberadaan perusahaan yang
didirikan PK Oyong (alm) dan Jakob Oetama ini. 
> 
> Bukankah Kompas adalah perusahaan media yang selama ini (lihat tajuk
rencana/editorialnya) sering mengangkat isu-isu demokratisasi,
keterbukaan, hak-hak asasi, dan sebagainya? Bukankah Kompas menganut
dan meyakini nilai-nilai "humanisme transendental"? Apakah itu sekadar
gincu, dan bukan genuine values yang dianut Kompas, mengingat secara
internal ternyata nilai-nilai itu masih dipertanyakan, karena tidak
terimplementasi? 
> 
> Jika demikian halnya, bagaimana Kompas sebagai institusi dan bagian
utama/tulang punggung KKG (Kelompok Kompas Gramedia) akan melangkah
memasuki abad baru dunia informasi dan globalisasi, dengan segala
dinamika perubahan, tantangan, ancaman, jika tanpa dukungan akar
nilai-nilai mendasar, yang memberi makna pada keberadaannya? 
> 
> Selama ini, perekat yang mempertahankan keutuhan KKG adalah figur
Pak Jakob Oetama (JO), sebagai generasi pendiri yang memiliki wawasan
kuat ke depan, nasionalisme, kharisma, wibawa dan intelektualitas.
Namun, dengan segala hormat atas kekuatan manajerialnya, JO tidak akan
memimpin KKG selama-lamanya. 
> 
> Lalu bagaimana KKG dan Kompas akan melangkah jika nanti ditinggalkan
JO, sementara core values yang menjadi landasan berdirinya dan
suksesnya lembaga Kompas, justru mengalami erosi karena
langkah-langkah "pragmatis-oportinistis" jangka pendek? Bukan tidak
mungkin, langkah-langkah semacam ini akan diteruskan oleh para
pimpinan Kompas/KKG pasca JO nanti. Mereka adalah generasi baru, yang
mungkin kurang menghayati nilai-nilai awal yang ditanamkan generasi
pendiri.
> 
> Mempertimbangkan hal itu, saya berharap, Pak Jakob dengan segala
kearifannya, sebagai figur yang menjadi panutan dan dihormati di KKG
dan Kompas, dapat ikut campur tangan melakukan intervensi. Karena yang
dipertaruhkan di sini BUKAN cuma nasib Wisudo, Yanu dan keluarga,
tetapi nasib dan survivabilitas dari KKG, Kompas, dan nilai-nilai
luhur (core values) yang selama ini dianut, diyakini, dihayati, dan
terbukti telah membesarkan Kompas.
> 
> Selain itu, yang dipertaruhkan bahkan juga bukan nasib sekian ribu
karyawan Kompas dan KKG, tetapi jutaan stakeholders yang berkaitan
dengan keberadaan institusi media besar ini, termasuk para pembaca
Kompas di seluruh pelosok Indonesia. Peran media sangat penting untuk
kemajuan negeri ini. Peran vital media seperti Kompas masih amat
dibutuhkan, untuk ikut menggalang dukungan dari jutaan rakyat
Indonesia -- yakni, mereka yang masih punya idealisme dan niat baik--
untuk bersama-sama menyelamatkan Indonesia. 
> 
> Sekali lagi, saya berharap, agar Pak Jakob, yang saya anggap sebagai
salah satu guru saya dalam ilmu jurnalistik dan wawasan kewartawanan,
bersedia untuk turun tangan langsung, demi kebaikan dan kelangsungan
institusi KKG dan Kompas, beserta nilai-nilai luhur yang selama ini
memberi makna pada keberadannya. 
> 
> 
> Wasalam,
> Satrio Arismunandar
> 
> (mantan jurnalis Kompas, yang dibesarkan di Kompas pada 1988-1995,
dan selama itu banyak belajar tentang ilmu jurnalistik dan kearifan
dari guru-guru saya di Kompas)
> 
> 
>
=========================================================================
> (dari milis AIPI, ditulis oleh Yanu:)
> 
> Saya ucapakan Terimakasih atas dukungan yang
> diberikan Mas Rio terhadap saya dan keluarga.
> Perlakukan yang diberikan jajaran manajement Kompas
> terhadap suami saya, adalah satu resiko yang sudah
> kami hitung sejak lama. Perjuangan suami saya Wis
> (Bambang Wisudo) tentang pemilikan saham karyaam
> bukanlah perjuangan yang dilakukan dalam hitungan
> hari. 
> Delapan tahun sudah, ia dan teman-temannya di
> Perkumpulan karyawan Kompas melakukan perjuangannya
> untuk menuntut mengembalian saham 20% yang diambil
> oleh perusahaan tanpa sepengetahuan karyawan. Selama
> itu pula, kami sudah terbiasa dengan berbagai
> kebijakan dari management Kompas untuk melakukan
> berbagai penjegalan atas apa yang diperjuangkan suami
> saya dan kawan-kawan. 
> Berkaca dari kasus Albert Kuhon, Mas Rio dan Mas
> Yudha, saya sadar betul bahwa pemecatan terhadap suami
> saya bukan tidak mungkin akan terjadi. Namun perlakuan
> dan tindakan para jajaran pimpinan kompas yang
> menggunakan cara-cara kekerasan yang brutal dan
> primitif adalah jauh dari banyangan kami. 
> Sebagai salah satu pilar demokrasi sekaligus
> intitusi yang menyuarakan serta menggembar-gemborka n
> persoalan HAM dan Demokrasi maka tidak sepantasnya
> Kompas melakukan tindakan brutal dan primitif (dengan
> melakukan penyeretan dan penyekapan) dalam proses
> pemutusan hubungan kerja. Bahkan sejauh yang saya
> tahu, pemecatan terhadap buruh linting di pabrik 
> rokokpun masih dilakukan cara-cara yang sangat sopan. 
> Sungguh suatu hal yang sangat ironis bagi Kompas
> yang bangga dengan logonya "Menyuarakan Amanat Hati
> Nurani Rakyat", perlakuan dan tindakan terhadap
> karyawannya justru jauh dari apa yang selama ini
> ditulis besar-besar di bawah kata KOMPAS.
> Jika saya sedih terhadap kasus suami saya, itu
> bukanlah karena suami saya dipecat dari Kompas tapi
> justru karena gambaran Kompas sebagai media tempat
> suami saya berkarya selama ini adalah Kompas telah
> mengkhianati dari nilai-nilainya sendiri. Kompas yang
> impikan oleh suami saya, yang pernah menjadi cita-cita
> suami saya, ternyata tidak lebih dan tidak kurang
> dibandingkan pabrik sandal jepit. 
> Saya justru bangga bahwa karena ditengah
> gemerlapnya fasilitas materi yang bisa dinikmati
> wartawan kompas, suami saya masih kukuh untuk
> menyatakan kebenaran, untuk menggugat hak-hak karyawan
> yang telah dirampas oleh perusahaan. Dengan itu pula
> kami dapat tetap melangkah dengan kepala tegak dan
> hati ringan saat kami meninggalkan kantor Kompas malam
> itu, karena Kompas tidak lebih dan tidak kurang
> dibandingkan pabrik sandal jepit.
> Salam
> Yanu (Istri Bambang Wisudo)
> 
> 
> 
>
__________________________________________________________
> Any questions? Get answers on any topic at www.Answers.yahoo.com. 
Try it now.
>



         


Beka Ulung Hapsara
Jln Pati No 16 Menteng
Jakarta 10310
Telp : (62-21)3151362
Hp   : 0811853543

 
---------------------------------
Want to start your own business? Learn how on Yahoo! Small Business.

Kirim email ke