Quote:
"..
Yang mengherankan, mengapa diskusi Dialektika Demokrasi itu tidak mengajukan

syarat bahwa seorang pemimpin nasional seharusnya seorang yang punya harga
diri,
a man of honour. Apakah seorang pemimpin, avant tout, tidak seharusnya
begitu?
Apalagi seorang pemimpin nasional?
.."

Harga diri.. kebanggaan.. Bagaimana kalau begini:

http://www.iht.com/articles/2003/08/08/edweiss_ed3_.php

"..
Susilo Bambang Yudhoyono, a retired general who is now coordinating minister
of security
and political affairs, speaks of America in glowing terms. "I love the
United States, with all
its faults. I consider it my second country."
.."

Atau memang gambaran publik Indonesia memang seperti itu? :-(
Bukankah pemimpin adalah gambaran dari (mayoritas) yang dipimpinnya.. dan
sebaliknya,
publik (akan) meniru yang (diplot?) menjadi pemimpin.. Anehnya yang kaya'
begitu yang
'menang pemilu'.. Duh Gusti..

Berdasarkan fakta di atas, mengharapkan Freeport, Newmont, ExxonMobil gak
menghisap
kekayaan alam Indonesia untuk kepentingan mereka sendiri.. cuma utopia aja
(minimal
sampai saat ini).. Apalagi dengan adanya salah satu 'organ' kelompok yang
menerima dana
dari satu MNC; padahal di sisi lain mereka menolak habis"an peran kelompok
di belakang
MNC tersebut (baca: Yahudi).. Saya gak ada urusan sama Yahudi.. Gak lucu
aja, di depan
gembar-gembor boikot, di belakang (mau) terima dana dari mereka.. :-p

CMIIW..

Wassalam,

Irwan.K

On 12/16/06, angel < [EMAIL PROTECTED]> wrote:

  A HONOR MAN, Itu yang sulit di dapatkan... jika ada pemimpin yang
menghargai HONOR dari dirinya sendiri... yang diaktualisasikan menallui
kejujurannya, semangatnya yang tak henti2 dan kenal lelah, yang secara
maximal berusaha mengabdikan diri untuk perbaikan.... tanpa pamrih pribadi
maupun kelompok... yang mempunyai "big picture" untuk bangsa, yang mampu
menuntun bangsa ini menuju masa depan yang gemah ripah lor jinawi.......
diamana kita mencarinya?? kapan dia muncul????

Salam
Angel

*"Pandji R. Hadinoto" <garudamukha@ yahoo.com>* wrote:

   *Sabtu, 16 Desember 2006 *


  *Kualifikasi Pemimpin Nasional * *Daoed Joesoef* Dalam diskusi
Dialektika Demokrasi antara beberapa wartawan dan sejumlah politisi
mengemuka syarat-syarat andalan bagi seorang pemimpin nasional. Dia harus
muda, jujur, berani, dan pluralis. Pengertian "muda" pasti tidak dikaitkan
dengan "umur", tetapi dengan "semangat" dan "ketegaran" yang umumnya inheren
dengan kemudaan jasmaniah. Yang perlu disadari, masa "muda" merupakan
kesempatan emas untuk membuat diri menjadi dewasa dalam berpikir dan
bertindak. Jadi, bukan "muda" yang merupakan atribut terpuji dari seorang
pemimpin, tetapi "kedewasaan" yang seharusnya terbentuk pada usia formatif. 
Kamus
bahasa mengaitkan pengertian "cerdas" dengan kesempurnaan perkembangan akal
budi dan ketajaman pikiran. Bila sulit untuk mengatakan "tidak cerdas"
mereka yang sudah menempuh pendidikan formal S-1, bahkan berkualifikasi guru
besar, kini banyak menduduki kursi pimpinan eksekutif, legislatif, dan
yudikatif. Mereka rata-rata spesialis di bidang-bidang tertentu, dan
berhasil dengan expert knowledge yang dimiliki. Namun, setelah
dipercaya—berkat dukungan partai untuk memimpin penanganan urusan nasional,
memecahkan masalah kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat yang
saling berkaitan— prestasi mereka jauh dari yang diharapkan. Terlihat,
mereka sebenarnya spesialis tanpa spirit yang holistis, sensualis tanpa hati
yang komprehensif. Ada kecerdasan lain yang diharapkan dari seorang
pemimpin nasional, bukan seukur format pribadi, tetapi yang proporsional
dengan pembawaan (nature) masalah nasional yang serba kompleks, baik dalam
ruang maupun waktu. Maka, kalaupun disebut "spesialis", dia seharusnya
berupa spesialis dalam konstruksi keseluruhan. Artinya, kalaupun terpanggil
untuk menjadi pemimpin nasional, sebelumnya harus membiasakan diri dalam
berpikir pluri, interdisipliner, dan bertindak in terms of them. *
Kejujuran* Syarat "kejujuran" adalah wajar karena kehidupan duniawi
diliputi enigma, kepalsuan, kecurangan, kemunafikan, dan fluktuasi. Di sini,
semua itu sudah "menghiasi" kehidupan dan praktik politik sehari-hari. Bila
demikian, makna "jujur" yang diketengahkan itu pantas jika diungkapkan in
terms of "kebenaran", yaitu (i) harus menjunjung tinggi kebenaran, (ii)
mengelakkan apa saja yang berlawanan dengan kebenaran dan kesadaran yang
mendalam tentang kebenaran, (iii) terus memupuk kebenaran dalam ingatan,
(iv) bisa membedakan antara "kebenaran" dan "berkata benar". Sejauh
mengenai "ukuran" kebenaran, bisa dipakai "kebenaran yang terjelaskan dan
menjelaskan" (explanatory truth) dari tradisi ilmu pengetahuan, bisa mengacu
pada "kebenaran yang bernilai" (valuable truth) dari nurani, atau keduanya
sekaligus melalui dialog intelektual. Adapun "berani", sama dengan
"jujur", lebih banyak pada domain karakter. Demi pembentukan kebajikan dalam
dunia politik dan kebaikan tingkah parpol, kedua faktor itu perlu dikaitkan
dalam pembinaan, oleh (calon) pemimpin itu sendiri. Hal ini perlu ditegaskan
karena keanggotaan parpol tidak mendukung perwujudannya, tidak mendorong
kadernya untuk "berani" mengungkap "kejujurannya". Menurut pembawaannya,
parpol bersifat eksklusif. Hanya anggota/kadernya yang baik. Padahal,
"kejujuran" menuntut "keberanian" untuk mengakui kelebihan anggota/kader
parpol lain dalam melayani kepentingan nasional. Selain itu, parpol hanya
menggugah semangat untuk mengkritik, tidak dikembangkan untuk menjadi kritis
demi disiplin dan martabat partai. Sejauh mengenai ungkapan "pluralis",
kedengarannya wajar bila dituntut pada figur seseorang yang akan dipercaya
memimpin bangsa majemuk ini. Namun, ia adalah suatu istilah dengan konotasi
positif-universal yang menurut logikanya adalah tunggal secara gramatikal,
menggambarkan proses (dan hasilnya) yang membuat manusia berpandangan luas,
tidak picik, jauh dari miopia sosial-kultural-religius. Di lain pihak,
sebagai kata berbentuk tunggal, "pluralis" dipakai untuk menyatakan artian
jamak, mengacu peramuan khusus dari pandangan dunia, kebiasaan, struktur,
budaya dan ide, yang membentuk keseluruhan historis dan yang ko-eksis dengan
lain-lain varietas atas gejala ini. Syarat yang dituntut pada seorang
pemimpin nasional, gaung ideologis dari "pluralis" yang satu ini adalah
lebih kompleks dan lebih subtil. *Bukan "agamis" * Yang menarik, diskusi
itu tidak menyebut "agamis" sebagai salah satu kualitas ideal pemimpin
nasional. Dalam dirinya, ini merupakan pengungkapan ide nonteologis dan
optimistik tentang suatu kemajuan yang kontinu dalam manusia dan masyarakat.
Maka, ia dapat dikatakan mencerminkan kemenangan intelektual. Bila
diyakini bahwa membangun dunia sosial bersendikan penalaran human, orang
terdorong secara logis menganalisis aneka alternatif melalui studi yang
teliti. Jadi, harus disiapkan jalan bagi pengembangan ilmu-ilmu sosial dan
eksperimental yang kondusif bagi realisasi tekad itu. Lebih-lebih bila
diingat betapa selama ini politik sebagai "kiat" cenderung tidak menggubris
politik selaku "ilmu" hingga membuahkan profesi yang sering mencelakakan
demokrasi. Berbeda, misalnya, dengan perkembangan historis "kedokteran". Ia
yang pada awalnya diperlakukan sebagai "kiat" (techne), semakin lama semakin
memadu dengan kedokteran sebagai "ilmu" begitu rupa hingga melahirkan
praktik, profesi, yang penuh kebajikan bagi manusia dan masyarakat. Yang
mengherankan, mengapa diskusi Dialektika Demokrasi itu tidak mengajukan
syarat bahwa seorang pemimpin nasional seharusnya seorang yang punya harga
diri, a man of honour. Apakah seorang pemimpin, avant tout, tidak seharusnya
begitu? Apalagi seorang pemimpin nasional? Daoed Joesoef *Mantan Ketua
Dewan Direktur CSIS, Jakarta*


Kirim email ke