Siaran Pers JATAM, 10 Januari 2007

BERHENTI MENYATAKAN BANJIR LUMPUR PANAS LAPINDO
BENCANA ALAM !


Jakarta. Banjir lumpur panas akibat blow out pengeboran sumur Banjar Panji 1 oleh PT Lapindo Brantas sejak 29 Mei 2006 telah banyak memakan korban. Tindakan-tindakan penanganan yang dilakukan sebagian besar berujung pada ketidakpastian bagi masyarakat korban dan lingkungan sekitarnya. Alih-alih berupaya memastikan tanggung jawab perusahaan, Ketua DPR RI Agung Laksono malah menyatakan kejadian tersebut sebagai bencana alam (Media Indonesia, 9/01/07). Padahal menetapkan kejadian ini sebagai bencana alam akan beresiko merugikan rakyat korban dan negara dalam jangka panjang.

Banjir lumpur panas Lapindo telah menimbulkan korban setidaknya 21 ribu jiwa lebih atau lebih dari 3.500 KK mengungsi, 11 desa dan + 350 ha lahan pertanian terendam lumpur, serta 23 bangunan sekolah dan tak kurang dari 20 perusahaan tutup. Lumpur lapindo telah meningkatkan angka pengangguran akibat kehilangan pekerjaan. Kejadian ini juga telah melumpuhkan transportasi jalan tol GempolSurabaya yang berakibat kerugian dialami perusahaan-perusahaan jasa angkutan dan transportasi ekonomi lainnya.

JATAM memprotes keras pernyataan Ketua DPR RI yang menyatakan kejadian di atas sebagai bencana alam. Sebagai Ketua DPR RI dan petinggi partai Golkar, Agung Laksono mestinya mengetahui benar apa implikasi menetapkan kejadian ini sebagai bencana alam. Tindakan tersebut akan menghapus penyebab utama dan pemicu kejadian, yaitu pengeboran Sumur Banjar Panji 1 oleh Lapindo Brantas. Lantas seperti kejadian bencana alam biasa, banjir dan longsor, maka alamlah yang akan dijadikan kambing hitam. Karena alam tak bisa bertanggung jawab maka rakyatlah yang terkena getahnya. Tak hanya harus merelakan harta bendanya hilang akibat bencana alam. Rakyat juga harus rela menerima penanganan ala kadarnya seperti yang terjadi pada banyak penanganan bencana lainnya di negeri ini. Ujung-ujungnya warga korban harus pontang-panting agar bisa bertahan hidup. Sementara pemerintah jelas tak memiliki pendanaan yang cukup di tengah bencana berulang yang marak di negeri ini. Kecuali pemerintah bisa mengemis bantuan dari luar negeri atau menambah utang baru. Tak hanya itu, pemerintah juga akan menanggung biaya infrastruktur yang rusak akibat kejadian ini.

Bagaimana dengan Lapindo? Jika kejadian ini ditetapkan sebagai bencana alam, maka perusahaan bisa membatalkan janji membayar pembelian tanah dan asset rakyat 4 desa yang sudah terendam. Lapindo juga tak perlu membayar biaya pengalihan pipa gas Pertamina yang meledak beberapa waktu lalu, peninggian kabel dan relokasi kabel optik Telkom, serta kerugian PLN akibat dimatikannya jaringan SUTET dan pemindahan gardu trafo listrik. Bahkan perusahaan bisa balik menuntut segala biaya yang dikeluarkannya sebagai biaya produksi dan harus dimasukkan dalam cost recovery. Artinya negaralah yang harus membayar segala biaya yang telah dikeluarkan oleh Lapindo.

Sungguh beresiko menjadi warga Indonesia, Republik yang selalu menyebut dirinya negara hukum. Bagaimana tidak, jika pengurus negaranya kerap menempatkan rakyatnya sebagai pelengkap penderita atas nama investasi dan pertumbuhan ekonomi semata. Penanganan banjir lumpur Lapindo memberikan potret cukup lengkap mengenai hal itu. Tak ada satu pun pejabat Lapindo yang ditangkap, tak ada satu pun pejabat BP Migas dan Departemen ESDM yang diperiksa, apalagi meminta maaf dan mengundurkan diri karena lalai mengurus sektor-sektor hulu migas. Tak ada upaya tegas pemerintah untuk menyita aset-aset Santos, EMP dan MEDCO, sebagai pemegang saham Lapindo untuk memastikan tersedianya dana yang bisa dicairkan bagi penanganan banjir lumpur panas.

Ironisnya, meskipun terlihat berpihak kepada korban melalui keluarnya Kepres No 13/2006 dengan memerintahkan Lapindo membayar kerugian warga, tetapi pemerintah terkesan enggan memastikan perusahaan bertanggung jawab. Presiden SBY bahkan membiarkan Menteri Kesejahteraan Rakyat Abu Rizal Bakrie, sekaligus pemilik saham Lapindo, sekali-dua bersikap layaknya pemilik Lapindo, bukan pejabat publik. Keppres yang diharapkan banyak orang menjadi tameng ampuh menangani banjir lumpur, belakangan terbukti tidak bergigi. Tim Nasional Penanganan Banjir Lumpur Lapindo sendiri terang-terangan mengaku belum menerima gaji dan tersendat dukungan peralatan dan operasional dalam penanganan lapangan akibat kesulitan dana. Sekali lagi kondisi ini dibiarkan terus berlarut.

Sebaliknya, hingga saat ini warga 11 desa yang terkena dampak dipaksa "mensubsidi" Lapindo dengan rela menjual tanah dan assetnya dengan harga murah, mutu hidupnya menurun, pendidikan dan kesehatannya terganggu. Demikin pula publik, harus mensubsidi Lapindo dengan terganggunya transportasi dan kegiatan ekonomi menuju dan ke luar jalan tol GempolSurabaya. Sementara pemberitaan banjir lumpur mulai berkurang di berbagai media, tertutup oleh kejadian dan bencana lain. Warga korban dan lingkungan sekitarnya semakin tidak jelas nasibnya. [ ]

Kontak Media
Luluk Uliyah (JATAM) 021-79181683, 0815 9480 246

Kirim email ke