Terimakasih banyak, namun pembidikannya kurang tepat. Kerancuan dalam hubungan 
Pusat dan Daerah akan masih lama berjalan, apalagi kemacetan demokrasi 
berakibat proses desentralisasi politik dan ekonomi sangat kebablasan. 
Demokrasi selalu punya soal-soal yang harus dipecahkan sambil jalan. Pion atau 
peon anda itu melalui perjuangan mereka sendiri semoga akan mengecam banyak 
kebebasan. Namun perjoangan mengharuskan terkumpulnya kekuatan, bukan 
pemecahan, dan bukan sikap nihilistik yang menolak semuanya. "Mitos" itu kini 
sepenuhnya saya lihat digunakan oleh HMJK mungkin
  bahkan terhadap SBY! Namun beliau akan senang sekali kalau pasangan yang ada 
ini akan
  terpilih lagi. Bisnis famili must go on kan? Dalam NU cukup banyak arus dan 
kepentingan. MHJK juga berakar di NU. NU yang arusnya KH A Wahid harus terus 
kerjasama dengan nasionalis sejati apapun agamanya dan Muhammadiyah demi NKRI 
dan wong cilik.
   
  DM

Sunny <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
             
    Pak Manurung,
   
  Ada pepatah yang mengatakan "Dimana ada asap disitu ada api", jadi saya kira 
apa yang dikemukakan oleh pihak NU ada benarnya. Sebab kalau dilihat suara 
terbanyak terdapat di pulau Jawa, kedua kekayaan tertimbun di Jakarta, Surabya 
yang letaknya juga di pulau Jawa. 
   
  Mendapat suara penduduk pulau Jawa berarti kemungkinan menduduki krusi 
pangkat tinggi di ambang pintu.  Lihat saja  konsentrasi kampanye-kampanye 
pemilihan umum.  Apakah ada calon presiden berpidato di Balikpapapan, Bukti 
Tinggi, Manokwari, Kendari, Ende,  Boven Digul, Bengkulu, Nagoya etc? Mereka 
tidak akan ketempat-tempat tsb karena tidak memainkan peranan yang menentukan 
untuk memperoleh kekuasaan negara tertinggi. Bukankah kampanye mereka 
terkonsentrasi di pulau Jawa?  
   
  Selain itu juga bagi yang  berdomisili di periferi dari pusat kekuasaan, 
misalnya  di kepulauan Natuna, Alor, Nias, Tarakan, Ternate, Misol,  atau  di 
Palangkaraya atau di Timika mana bisa  mempunyai kesempatan berkampanye untuk 
memperoleh kedudukan tinggi itu? Jarak gerografis menyulitkan. Belum lagi soal 
fulus untuk kampanye. Rata-rata penduduk daerah periferi dari pusat kekuasaan 
berpendatan rendah atau  kasarnya miskin melarat. 
   
  Bukankah untuk dicalonkan menjadi presiden atau wakil presiden harus masuk 
partai politik, syarat utamanya ialah  makin banyak sumbangan pribadi kepada 
partai makin besar kemungkinan untuk naik tangga guna menduduki kursi demokrasi 
empuk. Anggota biasa yang hanya membayar uang iuran organisasi  tiap bulan 
tidak mempunyai pengaruh atau kesempatan. Apalagi kalau  pendidikannya hanya 
sekolah dasar, atau sekolah menengah. Mereka hanya berguna sebagai petani 
musiman yang tidak dapat menikmati hasil panen, selain nasi bungkus atau Tshirt 
waktu kampanye pemilu. Tidak ada  perubahan fundamentil kehidupan kepada 
pion-pion ini. Habis kampanye habis senyum naunis, ibarat habis manis sepah 
dibuang. Habis kampanye hilang pula senyum manis dan ingatan kepada pion-pion 
yang telah berjasa membawa paduka-paduka x atau ibu y ke kursi kekuasan .
   
  Bukan saja untuk kedudukan demikian sulit bagi para pion bin krocok, malah 
masuk akademi dinas militer, sekolah kedokteran, bidan pendidikan tinggi  itu 
dan ini dari sekolah-sekolah yang dikatagorikan bermutu juga sulit.  
Pertama-tama dibutuhkan biaya besar yang adalah di luar kemampuan pion-pion di 
periferi, karena  rata-rata berpendapatan rendah atau memang miskin. Jadi 
kesempatan mereka  bukan saja kecil tetapi juga menjadi tidak mungkin untuk 
mendapat posisi yang tinggi. Silahkan periksa siapa-siapa saja yang mempunyai 
kesempatan pendidikan demikian? Jadi kekuasan negara di RI dimonopoli oleh 
segelintir manusia yang mewariskan kedudukan tsb kepada turunannya
   
  Selain alasan-alasan yang disebutkan ini ada pula faktor lain yang tidak 
kalah pentingnya yaitu faktor agama. Mayoritas penduduk Indonesia beragama 
Islam. Ada alasan serius  dari agama sesuai perintah Allah, yaitu sekalipun  
orang Jawa, tetapi bukan beragama Islam, kesempatannya untuk jabatan-jabatan 
yang disebutkan  itu tidak dimungkinkan, sebab Allah telah mewahyukan melalui 
Al Quran  5:51 bahwa yang beragama Islam tidak boleh mengangkat orang Nasrani 
menjadi pemimpin dan juga tidak boleh berteman dengan mereka. Pintu bisa 
ditutup apabila didengar perintah Allah. Kalau pintu tertutup bagi agama 
sepupuh, tentu saja yang beragama Hindu, Buddha, Kongfucuisme, Shintoisme, 
Animisme, Kafirisme, Satanisme etc pun  tertutup pintunya.
   
  Tentu ada yang bilang  Pancasila memberikan jalan  keluar yang jitu,  tetapi 
hendaklah diingat bahwa pokok pertama dari Pancasila adalah keTuhanan yang Maha 
Esa. Pertanyaan yang dihadapi ialah Tuhan yang mana, atau Tuhan siapa, karena 
Tuhan mayoritas sesuai prinsipnya telah membatasi [QS 5:51] hak demokratis 
warganegara minoritas yang beragama bukan Islam. 
   
  Perlukah NKRI dipertahankan? Kalau perlu dipertahankan maka pertanyaannya 
bagaimana dan  kepentingan siapa yang harus diutamakan? Demikian coretan sesuai 
suara NU.
   

  Bagi yang mau kritik atau memperbaiki dan menambah coretan ini dipersilahkan.
   
   
  Wasalam,
   
   
    ----- Original Message ----- 
  From: Don Manurung 
  To: [EMAIL PROTECTED] ; mediacare@yahoogroups.com ; [EMAIL PROTECTED] ; 
[EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; 
[EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] 
  Sent: Sunday, April 01, 2007 1:30 PM
  Subject: [HKSIS] Re: [nasional-list] NU: Mitos Presiden Adalah Jawa Asli 
Harus Dihilangkan
  

  Mitos ini sekarang ditebarkan oleh Wapres HMJK dengan ucapannya bahwa beliau 
tidak akan maju sebagai capres 2009 karena "bukan orang Jawa". Mitos selalu 
tidak benar. Diharapkan penebaran itu bukan karena beliau minder, karena 
popularitasnya juga tidak bersinar-sinar benar. Juga ini ucapan bukan dari 
seorang negarawan, karena sifatnya memecah, bukan merekat bangsa yang majemuk 
ini.
   
  Mitos terkait timbul ketika Orba karena "kebosanan" dengan pemerintahan 
otoritatif Soeharto yang 32 tahun. Namun mitos itu tumbang karena BJ Habibie 
bukan Jawa. Gus Dur
  mengatakan punya darah Tionghoa. Megawati Soekarnoputri jelas berayah 
Jawa-Bali dan
  Ibu Fatmawati berasal dari Bengkulu. Jadi apa pasal? Setiap WNI, punya atau 
tidak S1, asal memenuhi persyaratan yang ada dan layak tanpa rekayasa, silahkan 
saja dengan penuh PD mencoba jadi capres.
   
  Minta maaf, ketua PB NU SA Siraj sebaiknya lebih sering berbincang-bincang 
dengan Gus
  Dur sekait multikulturalisme, liberalisme, demokrasi, posmo, Green movement, 
global warming dan banyak lagi pemikiran kontemporer sehingga akan 
dapatmenerangkan Piagam Madinah secara lebih mantap.
   
  Banyak sukses!
  DM

Kirim email ke