Peradi Pertanyakan Kantor Hukum Ihza & Ihza dan Yusril

* Peradi Pertanyakan Kantor Hukum Ihza & Ihza 
 Koran Tempo - Rabu, 11 April 2007

Jakarta -- Penggunaan nama Menteri-Sekretaris Negara Yusril Ihza
Mahendra di firma hukum Ihza & Ihza kembali dipersoalkan Perhimpunan
Advokat Indonesia (Peradi). "Penggunaan nama orang yang bukan advokat
ini maksudnya apa," kata Sekretaris Jenderal Peradi Harry Ponto di
Jakarta kemarin.

Sorotan itu muncul terkait dengan persidangan terdakwa korupsi
perpanjangan hak guna bangunan (HGB) Hotel Hilton di Pengadilan 
Negeri Jakarta kemarin. Nama Hidayat Achjar, pengacara dari Ihza & 
Ihza, sempat disebut oleh terdakwa Pontjo Sutowo, kendati akhirnya 
ia tak menangani kasus tersebut. Sebelumnya, firma ini juga menangani
pencairan dana Motorbike Limited milik Tommy Soeharto di BPN Paribas
London.

Harry mengatakan kasus-kasus besar yang ditangani Ihza & Ihza ini
patut dipertanyakan. Meski demikian, Peradi tidak akan memvonis firma
hukum ini telah menjual nama Yusril Ihza untuk menyelesaikan kasus
yang ditanganinya.

Peradi juga tidak bisa menilai tindakan Yusril mengenalkan Hidayat
Achjar kepada Pontjo Sutowo dalam kasus perpanjangan HGB Hilton
sebagai pelanggaran kode etik profesi. "Soalnya, Yusril bukan
advokat," ujar Harry. "Yang paling mungkin adalah menilai Yusril
sebagai pejabat negara."

Sementara itu, Ketua Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat Trimedya
Panjaitan menilai apa yang dilakukan firma hukum Ihza & Ihza yang
menawarkan diri menangani kasus Hilton sebagai hal yang wajar dan 
sah. "Asalkan dilakukan dengan profesional," kata politikus Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan ini.

Menurut Trimedya, persoalan baru muncul jika ditemukan kejanggalan,
seperti penyalahgunaan jabatan atau terjadi kolusi dalam prosesnya. 
Ia menyarankan agar Presiden Yudhoyono mengambil sikap atas reaksi 
yang berkembang di masyarakat berkaitan dengan firma hukum yang 
didirikan oleh salah seorang anggota kabinetnya.

Kolega Yusril, Hamdan Zulfa, tak mau berkomentar banyak soal kantor
pengacara Yusril itu. Ia hanya menjelaskan bahwa Yusril tidak
berpraktek di kantor hukum Ihza & Ihza. "Dia dulu mendirikan saja,"
ujar Wakil Ketua Umum Partai Bintang Bulan ini. FANNY FEBIANA |
GUNANTO ES

Sumber: Koran Tempo - Rabu, 11 April 2007
==============
* Yusril Pernah Tawarkan Bantuan kepada Pontjo Sutowo
 Koran Tempo - Rabu, 11 April 2007

JAKARTA - Pontjo Sutowo, terdakwa kasus korupsi perpanjangan hak guna
bangunan (HGB) Hotel Hilton (sekarang Hotel The Sultan), menyatakan
Menteri-Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra pernah menawarkan
bantuan kepada dirinya.

Dia mengungkapkan Yusril mengenalkannya dengan Hidayat Achjar,
pengacara dari Ihza & Ihza, firma hukum yang sebagian sahamnya
dimiliki Yusril. "Katanya mungkin bisa membantu persoalan yang saya
hadapi," kata Pontjo menirukan tawaran Yusril dalam persidangan di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kemarin.

Presiden Direktur PT Indobuildco tersebut disidang dalam kasus yang
merugikan negara Rp 1,7 triliun. Selain Pontjo, kuasa hukum
Indobuildco yang mengurus izin perpanjangan HGB, Ali Mazi, disidang 
di tempat yang sama kemarin.

Pontjo mengaku mendatangi Yusril di kantornya pada 2006 untuk
berkonsultasi tentang masalah Hilton. Saat itu status dirinya masih
sebagai saksi dalam kasus tersebut. Sebelum mengenalkan Hidayat,
Yusril menjelaskan soal banyaknya tuduhan bahwa instansinya telah
membagi-bagi lahan Gelora Senayan. Agar pertanggungjawabannya tidak
susah, Yusril meminta kasus HGB Hilton dicarikan jalan keluar. Saat
itu juga Pontjo dikenalkan kepada Hidayat.

Kepada Pontjo, Hidayat mengatakan siap membantu mengurus kasusnya.
Tapi bantuan ini urung direalisasi karena ada perbedaan pandangan.
Meski tidak ada titik temu, Pontjo masih sempat menawari Hidayat
melanjutkan kasus ini. Hidayat tidak memberikan jawaban dan hanya
berjanji menghubungi dirinya. "Pertemuan itu tidak ada follow up-nya
sampai saya jadi tersangka," katanya.

Hidayat ketika dimintai konfirmasi membenarkan dirinya diperkenalkan
kepada Pontjo oleh Yusril. Dia berada di ruang kerja
Menteri-Sekretaris Negara karena dipanggil Yusril untuk suatu
keperluan. "Tapi bukan membicarakan kasus Hilton," ujarnya.

Dalam pertemuan selama 10 menit itu, Hidayat menyarankan agar Pontjo
membayar hak pengelolaan lahan kepada negara. "Setelah itu, bisa
dibuat perjanjian ulang," katanya.

Hidayat mengatakan saran itu atas nama pribadi dan tidak ada 
kaitannya dengan tempat dia bekerja, firma hukum Ihza & Ihza. 
Hidayat mengaku tahu banyak soal kasus Hilton dan Indobuilco. Dia 
pernah dimintai pendapat hukum atas utang Indobuildco ke bank di 
India dan Amerika serta saat pembangunan Hotel Hilton yang kedua 
pada 1980-an.

Sementara itu, Menteri-Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra belum
bisa dimintai konfirmasi terkait dengan masalah ini. Beberapa kali
dihubungi, telepon selulernya tidak diangkat. Begitu pula dengan
konfirmasi melalui pesan pendek yang juga tidak dijawab.

Kasus ini bermula ketika masa berlaku izin HGB Hilton yang terbit 
pada 1973 habis pada 2003. Untuk memperpanjang izin, Badan Pertanahan
Nasional DKI Jakarta meminta Indobuildco melengkapi rekomendasi dari
Menteri-Sekretaris Negara Muladi. Rekomendasi diperoleh dari Ali
Rahman, Menteri-Sekretaris Negara di masa Presiden Abdurrahman Wahid.
Padahal rekomendasi izin perpanjangan ini sudah dibekukan oleh Muladi
sebelum diganti oleh Ali Rahman. IRMAWATI | FANNY FEBIANA

Sumber: Koran Tempo - Rabu, 11 April 2007
====================
* Menteri Yusril Dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi
 Koran Tempo - Selasa, 10 April 2007

JAKARTA - Gerakan Anti-korupsi Indonesia (GAKI) melaporkan Menteri-
Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra ke Komisi Pemberantasan 
Korupsi dalam berbagai kasus. "Kami minta KPK jangan tebang pilih 
dalam memberantas korupsi," kata Sekretaris Jenderal GAKI Arief 
Sugiarto di gedung KPK, Jakarta, kemarin.

Berdasarkan laporan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan, pada 2002-
2005, Yusril diduga terlibat dalam pencabutan gugatan Badan 
Pengelola Gelora Bung Karno terhadap Kajima Overseas dan PT Senayan 
Trikarya Sempana, yang berpotensi merugikan negara sebesar Rp 7,5 
miliar. 

Selain itu, kata dia, sewaktu menjabat Menteri Hukum dan Hak Asasi 
Manusia, Yusril diduga terlibat dalam persetujuan prinsip penunjukan 
langsung atas proyek pengadaan alat sidik jari otomatis pada 2004 
senilai Rp 18,48 miliar, yang diduga merugikan negara Rp 6 
miliar. "Dia yang menandatangani surat persetujuan penunjukan 
langsung itu," katanya. 

Prosedurnya, Arief melanjutkan, harus ada izin dari presiden sebelum 
menyetujui penunjukan langsung, seperti syarat dalam Keputusan 
Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa oleh 
Pemerintah. Arief menyayangkan jika KPK hanya menetapkan mantan 
Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Zulkarnain Yunus, staf 
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Aji Effendi, dan rekanan 
Direktur Utama PT Sentra Filindo Eman Rahman sebagai tersangka. 

Berkaitan dengan kedua kasus tersebut, Arief mendesak KPK segera 
melakukan penyelidikan terhadap lima transaksi yang rata-rata 
bernilai di atas Rp 100 juta, yang belum diklarifikasi dalam 
kenaikan harta kekayaan Yusril. 

Harta kekayaan Yusril sendiri, kata dia, mengalami kenaikan sebesar 
245 persen atau Rp 4,8 miliar dalam kurun waktu tiga tahun. Sebelum 
menjabat Menteri Hukum dan HAM pada 28 Agustus 2001, harta 
kekayaannya senilai Rp 2 miliar ditambah US$ 110 ribu. Sedangkan 
setelah menjabat pada 26 November 2006, hartanya naik menjadi Rp 4,8 
miliar. 

Juru bicara KPK, Johan Budi S.P., mengatakan telah menerima berkas 
laporan tersebut. "Itu (laporan) akan ditelaah dan ditindaklanjuti," 
katanya. 

Ketika dihubungi Tempo, Yusril menolak berkomentar. "Saya harus baca 
dulu laporannya," ujarnya singkat. RINI KUSTIANI | AQIDA SWAMURTI 

Sumber: Koran Tempo - Selasa, 10 April 2007

================
KOMPAS: Rabu, 11 April 2007
 
* Disertasi: Sistem Penegakan Hukum Masih Terkesan Feodalis 

Semarang, Kompas - Sistem penegakan hukum Indonesia perlu ditinjau 
ulang karena belum banyak berarti mengatasi dan menjerat pelaku 
korupsi. Hal ini disebabkan sistem penegakan itu masih berasas 
oportunistis dan terkesan feodalis. 

"Asas oportunistis ini salah satunya terjabarkan dalam diri seorang 
jaksa agung yang notabene adalah penegak hukum. Ia bisa mendeponir 
atau boleh tidak menuntut satu perkara atas pertimbangan tertentu," 
kata Artidjo Alkostar, Hakim Agung RI, dalam jumpa pers berkaitan 
dengan disertasinya yang berjudul Korelasi Korupsi Politik dengan 
Hukum dan Pemerintahan di Negara Modern, Selasa (10/4). 

Konsekuensi atas penerapan asas itu adalah munculnya fenomena tebang 
pilih. Seorang jaksa bisa memilih siapa yang akan dituntut atau yang 
tidak akan dituntut. Tidak heran jika banyak warga masyarakat 
menilai pemberantasan korupsi di Indonesia masih kurang adil dan 
merata, satu dituntut dan diadili, tetapi yang satu lagi dibiarkan 
saja seolah-olah tidak terjadi apa-apa. 

Artidjo mengemukakan halangan lain tidak atau sulit terjeratnya para 
koruptor adalah masih dipraktikkannya feodalisasi hukum, yaitu 
menindak seorang pejabat tinggi harus izin presiden terlebih dahulu. 
Praktik ini sudah dilakukan sejak zaman Hindia Belanda berkuasa di 
Indonesia, menghukum seseorang harus izin gubernur 
jenderal. "Praktik seperti ini membuat proses hukum semakin berlarut-
larut. Penindakan terhadap para koruptor juga terkesan setengah 
hati," ujarnya. 

Hakim agung yang pernah menangani perkara mantan Presiden Soeharto 
ini menegaskan, seharusnya penindakan para koruptor di kalangan 
pejabat tinggi tidak perlu meminta izin presiden. Hal ini 
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27, yaitu segala 
warga negara berkedudukan sama di dalam hukum dan pemerintahan. 

Untuk itu, Artidjo mengusulkan agar sistem penegakan hukum yang 
berasas oportunistis dan terkesan feodalis itu ditinjau ulang. Ia 
mengusulkan agar asas oportunistis diganti dengan asas legalis 
dengan belajar dari Jerman. (AB4) 
============

Kirim email ke