http://www.tempointeraktif.com/



Skandal Dana Taktis Departemen
Sabtu, 05 Mei 2007 

Merebaknya kasus pencairan dana Departemen Kelautan dan Perikanan ke kas partai 
politik dan politikus membuka kembali catatan buruk praktek pendanaan politik. 
Kasus ini menunjukkan rawannya anggaran taktis departemen disalahgunakan untuk 
membiayai berbagai kekuatan politik dan politikus di parlemen. Dalam konteks 
anggaran, hal ini menunjukkan buruknya praktek pengelolaan keuangan negara di 
departemen pemerintah pada satu sisi dan besarnya tekanan berbagai kekuatan 
politik untuk merongrong anggaran di departemen di sisi yang lain.

Kisah dana taktis di pemerintah sebenarnya bukan berita baru. Belum lekang dari 
ingatan mengalirnya dana sejenis dari rekening Dana Abadi Umat yang dikelola 
oleh Departemen Agama. Dana sisa proyek haji yang seharusnya untuk mendukung 
kegiatan keagamaan berubah fungsi dan mengalir ke beberapa politikus dan 
menteri. Lebih buruk lagi, dana ini lebih banyak mengalir untuk membiayai 
kegiatan pribadi menteri dan pejabat departemen terkait, seperti untuk tambahan 
tunjangan, ongkos naik haji, perbaikan jalan menuju rumah pribadi menteri, 
jalan-jalan menteri dan keluarga ke luar negeri, serta biaya umrah untuk 
anak-anak pejabat negara.

Kasus aliran Dana Abadi Umat hanya salah satunya. Badan Pemeriksa Keuangan 
bahkan pernah mempermasalahkan tidak kurang dari 600 rekening khusus yang masih 
mengatasnamakan menteri dan pejabat negara. Hal ini menunjukkan besarnya volume 
anggaran negara yang mudah diselewengkan dan berada di luar mekanisme 
pengelolaan anggaran negara serta sulit tersentuh audit laporan keuangan BPK.

Mengalirnya dana taktis Departemen Kelautan dan Perikanan ke berbagai parpol, 
organisasi masyarakat, elite kekuasaan, dan politikus, selain menunjukkan 
praktek penyalahgunaan kekuasaan, menunjukkan buruknya praktek penganggaran di 
pemerintah. Buruknya praktek penganggaran pemerintah sangat jelas digambarkan 
oleh hasil audit BPK pada 2004 dan 2005 yang tidak dapat diberi opini 
(disclaimer).

Buruknya hasil audit ini, selain karena penyajian laporan keuangan pemerintah 
yang masih tidak sesuai dengan standar akuntansi pemerintah yang ada, karena 
masih terdapat selisih laporan keuangan yang cukup besar: Rp 3,4 triliun pada 
2004 dan Rp 1,9 triliun pada 2005. Ini berarti terdapat cukup besar jumlah dana 
yang belum dapat dipertanggungjawabkan oleh pemerintah setiap tahun. BPK bahkan 
mengkhawatirkan pendapat hasil audit tetap akan sama (disclaimer) untuk 
implementasi anggaran pada 2006.

Keterangan mantan menteri Rokhmin Dahuri kepada Komisi Pemberantasan Korupsi 
menyebutkan bahwa dana taktis departemen yang pernah dipimpinnya sebenarnya 
diambil dari dana operasional menteri Rp 100 juta setiap bulan dan dana 
"sukarela" dari pejabat eselon I di lingkungan Departemen Kelautan dan 
Perikanan. "Sudah tradisi". Di zaman masih menjabat Direktur Jenderal Pesisir 
dan Pulau-pulau Kecil pun Rokhmin mengaku sudah ada pungutan semacam ini 
sebesar Rp 100-200 juta setiap bulan.

Pertanyaannya, dari mana para pejabat di lingkungan departemen mendapatkan dana 
untuk disetorkan ke rekening dana taktis? Hal ini menjadi penting karena 
masing-masing pejabat ini memegang wewenang implementasi anggaran pemerintah di 
bagiannya masing-masing. Pembentukan dana taktis dari sumber-sumber yang 
terkait dengan implementasi anggaran negara memiliki indikasi kuat korupsi 
anggaran negara dari pungutan proyek-proyek departemen.

Hal ini juga pernah terjadi di Komisi Pemilihan Umum dalam pengelolaan dana 
Pemilu 2004, dengan setiap rekanan harus menyetorkan sejumlah uang ke bagian 
keuangan KPU, yang kemudian dibagikan kepada anggota KPU dan instansi terkait 
setelah pemilu. Dari fakta ini, menjadi penting mengusut tidak hanya aliran 
dana dari rekening dana taktis ke berbagai pihak, tapi juga "dana rekanan" yang 
mengalir ke para pejabat di departemen yang bersangkutan.

Politik dana taktis

Mengucurnya dana Departemen Kelautan dan Perikanan ke berbagai kekuatan politik 
semakin menunjukkan bahwa rekening dana taktis sengaja dipersiapkan untuk 
menjaga kemesraan pejabat di departemen dengan berbagai kekuatan politik. 
Jabatan politik, apalagi sekelas menteri, tentu saja didapat atas peran 
berbagai kekuatan politik, terutama partai politik yang memiliki akses dan 
pengaruh kuat terhadap kekuasaan. Tidak mengherankan jika kekuasaan atas 
departemen, terutama kekuasaan atas anggaran, juga diarahkan agar dapat 
memberikan keuntungan politik sebagai bentuk balas budi.

Mantan Sekretaris Jenderal Departemen Kelautan dan Perikanan mencatat tidak 
kurang dari 1.700 transaksi uang mengalir dari dana taktis Departemen Kelautan 
dan Perikanan. Dua puluh persen di antaranya sedikitnya mengalir ke empat 
partai politik besar, tiga tim sukses pasangan calon presiden, beberapa 
politikus "kakap" di Dewan Perwakilan Rakyat, serta berbagai ormas. Luasnya 
sebaran dana ini menunjukkan besarnya tekanan politik terhadap departemen. Dari 
pengakuan Rokhmin, dana ini juga dipergunakan untuk memfasilitasi berbagai 
kegiatan DPR, terutama dalam rangka penyusunan Rancangan Undang-Undang 
Perikanan yang dibahas pada saat itu. Artinya, meskipun sudah memiliki dana 
resmi di departemen terkait, juga alokasi pembuatan undang-undang dalam 
anggaran DPR, dana-dana tidak jelas tetap saja mengalir deras ke kantong 
politikus dalam rangka pelaksanaan fungsi legislasi. Rokhmin juga mengakui 
besarnya hambatan dalam hubungan kerja dengan DPR dalam membahas program kerja 
dan anggaran jika dilakukan tanpa pelicin.

Dipandang dengan lebih jernih, bisa jadi penyalahgunaan kekuasaan atas aliran 
dana taktis departemen tidak semata dipicu oleh pejabat di departemen yang 
membutuhkan proteksi politik dan kelancaran hubungan kerja dengan instansi 
tertentu (baca: DPR), tapi juga oleh besarnya kekuatan penekan dari luar. 
Meskipun untuk membuktikan hal ini, harus diperiksa sesuai dengan konteks 
pengucuran dana.

Terungkapnya skandal dana taktis Departemen Kelautan dan Perikanan ini 
seharusnya menjadi pelajaran untuk menertibkan rekening-rekening dana taktis di 
departemen yang berjumlah ratusan. Pembiaran berbagai rekening tidak jelas di 
departemen sama saja dengan melanggengkan korupsi di departemen. Atau memang 
ini yang menjadi alasan perebutan jabatan politik di departemen?

Ibrahim Fahmy Badoh, MANAJER DIVISI KORUPSI POLITIK INDONESIA CORRUPTION WATCH 

Kirim email ke