Selalu asyik membaca tulisan Pak Asvi, kalau boleh usul Pak, supaya lebih sering untuk membuka mata pada sejarah kita. Terimakasih, MLM
HKSIS <[EMAIL PROTECTED]> wrote: ----- Original Message ----- From: [EMAIL PROTECTED] To: [EMAIL PROTECTED] Cc: [EMAIL PROTECTED] Sent: Thursday, 24 May, 2007 20:23 Subject: [wahana-news] [Fwd: in memoriam Sri Moeljono Herlambang] Dimuat pada Media Indonesia, 24 Mei 2007 S.M. HERLAMBANG dan PELURUSAN SEJARAH AURI Oleh Asvi Warman Adam Marsekal Madya (purn) Sri Moeljono Herlambang meninggal 21 Mei 2007 karena sakit. Pria kelahiran Solo 9 November 1930 itu pernah menjadi Kepala Staf Angkatan Udara pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965. Hanya menjabat tiga bulan, ia meminta mengundurkan diri dan bahkan sempat ditahan militer. Bulan Mei 1967 ia diberhentikan dengan hormat dari jabatannya dengan hak pensiun. Setelah itu ia terjun ke dunia bisnis dan tampaknya cukup berhasil menjalankan roda perusahaannya Daria Dharma Group yang bergerak dalam bidang parawisata, penjualan pesawat dan properti. Ia pernah memimpin Dewan Parawisata Indonesia dan PP (Perhimpunan Purnawirawan) AURI bahkan sempat kuliah di Fakultas Ekonomi Extension Universitas Indonesia. Sri Moeljono Herlambang adalah angkatan pertama kadet penerbang TALOA di California, AS bersama-sama dengan Omar Dani, Saleh Basarah dan lain-lain. Kariernya menanjak, ia sempat menerbangkan pesawat jet tempur pertama AURI buatan Inggris, Februari 1958. Herlambang juga pernah menjadi penerbang pesawat kepresidenan yang dihibahkan Uni Soviet dan dinamai Bung Karno, "Dolok Martimbang". Ia bertugas menumpas pemberontakan Daoed Beureuh, PRRI/Permesta dan perjuangan merebut Irian Barat (Trikora). Ia sedang berada di Medan ketika meletus Gerakan 30 September 1965. Dengan menggunakan pesawat jetstar yang dipiloti Wage Mulyono, Herlambang kembali ke Jakarta. Ia turut mengatur agar tidak terjadi pertumpahan darah di Halim Perdanakusuma antara pasukan RPKAD dengan batalyon 454 Raiders dari Jawa Tengah. Herlambang mengajak Sarwo Edi yang datang ke Halim untuk bersama-sama naik pesawat menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor. Pelurusan sejarah Saya mengenal Sri Moeljono Herlambang setelah Soeharto jatuh ketika PP AURI mengadakan pertemuan 17 Desember 1998 untuk menulis buku sejarah mereka. Bersama dengan sejarawan senior Onghokham, kami diminta masukan mengenai apa yang sebaiknya ditulis. Saya usulkan agar dibuat semacam buku tentang kronologi peristiwa dari menit ke menit pada tanggal 1 Oktober 1965 di Halim Perdanakusuma. Buku itu akan mengungkap apa sebetulnya yang terjadi secara faktual. Tujuan penulisan buku ini adalah membantah tuduhan selama ini bahwa "Halim itu sarang pemberontak". Kesan demikian yang tertangkap ketika menonton film "Pengkhianatan G30S/PKI" yang diputar wajib setiap tanggal 30 September selama bertahun-tahun era Orde Baru. Film ini dihentikan penayangannya sejak tahun 1998, kabarnya atas permintaan dari PP AURI. Buku itu tersebut selesai dan diluncurkan 9 November 1999 di sebuah gedung pertemuan yang terletak di wilayah Halim Perdanakusuma. Buku yang berjudul "Menyingkap Kabut Halim" itu menjelaskan pertama, latihan sukarelawan Dwikora diadakan di desa Lubang Buaya, Pondok Gede yang tidak termasuk Halim Perdanakusuma. Kedua, AURI secara institusional tidak terlibat dalam upaya kudeta tersebut sungguhnya ada anggota pasukannya yang tersangkut seperti Mayor Udara Sujono. Ketiga, menjelaskan kegiatan Presiden Soekarno di Halim Perdanakusuma tanggal 1 Oktober 1965. Terutama menekankan bahwa kedatangan Bung Karno ke sana memang sesuai prosedur standar militer dalam keadaan darurat. Bila terjadi sesuatu yang membahayakan, Presiden dapat diterbangkan ke luar negeri atau ke mana saja dengan pesawat khusus. Tergambar pula bahwa sebelum peristiwa 1965 terdapat rivalitas antara pimpinan Angkatan Udara dengan Angkatan Darat. Setelah berhasil dalam pembebasan Irian Barat, Presiden Soekarno melancarkan program "Ganyang Malaysia". Karena keberhasilan Angkatan Udara dan Angkatan Laut dalam operasi Trikora, maka komandan Kolaga (Komando mandala Siaga) diserahkan kepada Omar Dani. Wakilnya adalah Brigjen Ahmad Wiranatakusuma. Kemudian Ahmad digantikan oleh Mayjen Soeharto yang selanjutnya mempertanyakan kenapa Omar Dani yang menjadi komandan (padahal Soeharto lebih senior). Dijelaskan pula bahwa pada tahun 1965, AURI merupakan salah satu kekuatan udara yang terkuat di Asia. Angkatan ini dipimpin oleh perwira yang masih muda seperti Omar Dani yang menjadi KSAU pada usia 38 tahun, sedangkan Herlambang menduduki posisi tersebut pada umur 35 tahun. Kebanyakan dari mereka merasa dekat dan loyal kepada Bung Karno. Omar Dani pernah mengatakan bahwa ia ingin seluruh insan AURI itu menjadi kleine Sukarnotjes atau Sukarno-Sukarno Kecil. Peristiwa Gerakan 30 September 1965 menyebabkan semua berubah, AURI dituding terlibat. Angkatan ini dijadikan bulan-bulanan. Mobil seorang perwira wara (wanita Angkatan Udara) ditabrak. Ibu-ibu AURI yang berbelanja di pasar di luar Halim diludahi. Pasukan karbol yang berdiri dalam sikap sempurna dan memberi hormat ketika lewat iringan jenasah 6 jenderal, diteriaki oleh prajurit yang berdiri di atas panser. Pada masa Orde Baru, stigma itu tetap melekat pada AURI. Namun seiring dengan berakhirnya rezim tersebut, keadaan kembali berangsur pulih. Dengan penerbitan buku Menyingkap Kabut Halim dan sederetan memoar tokoh seperti Omar Dani, Sri Moeljono Herlambang. Wisnu Djajengwinardo, Pedet Soedarman berbagai persoalan telah diklarifikasi dan ketangguhan angkatan udara sebelum era Orde Baru diungkap. Pelurusan sejarah AURI berjalan lancar dan tampaknya bisa menjadi model bagaimana persoalan masa lalu diselesaikan dengan baik. Kini trauma masa lampau itu telah berakhir. Sekarang perwira tinggi AURI (dan ALRI) pun bisa menjadi Panglima TNI. Persoalan sekarang setelah masalah sejarah dituntaskan adalah kondisi riil AURI itu sendiri. Apakah sistem pertahanan untuk negara yang demikian luas dan terdiri dari beribu pulau itu masih mengutamakan matra darat seperti pada era Orde Baru. Atau justeru kekuatan udara (dan laut) yang perlu dipercepat peningkatan kekuatannya ? Selamat jalan Pak Sri. Mission accomplished. (Dr Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI)