http://jawapos.com/index.php?act=detail_c&id=296886
Senin, 30 Juli 2007,
Tan Malaka Ditembak di Jatim


Oleh Asvi Warman Adam

Pada 30 Juli 2007 (hari ini) pukul 10 pagi di Gedung Joang, Jakarta, buku 
Harry Poeze "Verguisd en Vergeten, Tan Malaka, De linkse Beweging en 
Indonesische Revolutien 1945-1949" (Dihujat dan Dilupakan: Tan Malaka, 
Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia 1945-1949) diluncurkan. Buku setebal 
2.194 halaman itu berharga 99,90 euro (sekitar Rp 1,2 juta). Kisah revolusi 
Indonesia tahun 1945-1949 di pulau Jawa tergambar dengan detail dalam buku 
klasik itu.

Setelah menulis disertasi mengenai Tan Malaka 1976 yang diterjemahkan ke 
bahasa Indonesia dalam dua jilid berjudul Pergulatan Menuju Republik 
1897-1925 (tahun 1988, diberedel tahun 1989) dan Pergulatan Menuju Republik 
1925-1945 (tahun 1999), Poeze melanjutkan kisah perjalanan hidup sampai 
akhir hayat Tan Malaka pada 1949. Tan Malaka boleh dikatakan subjek 
penelitian seumur hidup Harry Poeze, peneliti senior sekaligus direktur 
penerbitan KITLV Belanda.

Setelah Indonesia merdeka, perjuangan Tan Malaka mengalami pasang naik dan 
pasang surut. Dia memperoleh testamen dari Bung Karno untuk menggantikan 
bila yang bersangkutan tidak dapat menjalankan tugas. Namun, pada 1948, Tan 
Malaka dikenal sebagai penentang diplomasi dengan Belanda yang dilakukan 
pemerintah Indonesia dalam posisi merugikan. Sebagai pemimpin persatuan 
perjuangan, dia menuntut agar perundingan baru dilakukan bila Belanda 
mengakui kemerdekaan Indonesia 100 persen.

Pada 7 November 1948, dia mendirikan Partai Murba. Setahun kemudian, Tan 
Malaka ditembak. Dalam Pemilu 1955, Murba ikut pemilu dan hanya mendapatkan 
dua kursi di parlemen.

Namun, kedudukan partai itu kembali menguat ketika Bung Karno menjalankan 
demokrasi terpimpin. Soekarno menghadiri kongres Murba pada Desember 1950.

Tiga anggota partai atau simpatisannya yang masuk kabinet, yaitu Prijono, 
Adam Malik, dan Chaerul Saleh. Puncaknya adalah tanggal 28 Maret 1963, 
Presiden Soekarno mengangkat Tan Malaka sebagai pahlawan nasional.

Dihapus Orde Baru

Namun, sejak era Orde Baru, namanya dihapus dalam pelajaran sejarah yang 
diajarkan di sekolah. Gelar pahlawan nasional itu tidak pernah dicabut. 
Tetapi, dalam buku teks sejarah dia tidak boleh disebut. Menurut istilah 
seorang peneliti departemen sosial, Tan Malaka menjadi "off the record" 
dalam sejarah Orde Baru.

Rezim Orde Baru menganggap Tan Malaka sebagai tokoh partai yang dituduh 
terlibat pemberontakan beberapa kali. Hal tersebut merupakan kebodohan Orde 
Baru. Tan Malaka justru menolak pemberontakan PKI 1926/1927 sebagaimana 
ditulisnya dalam Naar de Republiek Indonesia (Kanton, April 1925 dan dicetak 
ulang di Tokyo, Desember 1925). Dia sama sekali tidak terlibat dalam 
peristiwa Madiun 1948. Bahkan, dalam berbagai peristiwa, Murba berseberangan 
dengan PKI.

Menjelang 1980, terjadi arus balik penulisan sejarah Tan Malaka, terutama 
melalui tulisan akademisi Harry Poeze di Belanda dan Helen Jarvis di 
Australia. Agustus 1977, jurnal Prisma menerbitkan nomor khusus "Manusia 
dalam Kemelut Sejarah" yang memuat tulisan Alfian "Tan Malaka: Pejuang 
Revolusioner yang kesepian". Disertasi Poeze diterbitkan sebagian Gafiti 
pada 1988 dan setahun kemudian dilarang oleh jaksa agung setelah terjual 
2.700 eksemplar.

Mobilitas perjuangan Tan Malaka secara intensif "tanpa henti selama 30 
tahun" tergambar dari kota yang disinggahinya (di dalam negeri) dari Pandan 
Gadang (Suliki), Bukit Tinggi, Batavia, Semarang, Yogya, Bandung, Kediri, 
hingga Surabaya; dan (di luar negeri) dari Amsterdam, Berlin, Moskow, Amoy, 
Shanghai, Kanton, Manila, Saigon, Bangkok, Hongkong, Singapura, Rangon, 
sampai Penang.

Setelah kegagalan pemberontakan 1926/1927, Tan Malaka mendirikan PARI 
(Partai Republik Indonesia) di Bangkok pada 1 Juni 1927. Walaupun bukan 
partai massa, organisasi itu dapat bertahan hidup selama sepuluh tahun. 
Padahal, pada saat yang sama, partai-partai nasionalis di tanah air lahir 
dan mati.

PARI dianggap berbahaya dan aktivisnya diburu-buru oleh intelijen Belanda. 
Selama satu dekade, PARI dapat mengembangkan sel mereka di kota-kota penting 
dan di kota kecil, seperti Cepu, Wonogiri, Kediri, Sungai Gerong, Palembang, 
Medan, Banjarmasin, dan Riau.

Meskipun awalnya gerakan Tan Malaka menentang kolonialisme terkait dengan 
kegiatan Komintern, pada gilirannya, dia melontarkan kritik. Tan Malaka 
tidak sepaham dengan Komintern yang menentang pan-Islamisme. Menurut 
Komintern, pan-Islamisme adalah bentuk baru imperalisme, padahal sebaliknya, 
kata Tan Malaka.

Rehabilitasi Tan Malaka

Cetakan ulang buku biografi Tan Malaka jilid 1 dan penerbitan jilid 2 (1999) 
baru bisa terbit pada era Reformasi. Kemudian, muncul berbagai buku, 
termasuk beberapa skripsi mengenai pemikiran Tan Malaka. Madilog diterbitkan 
ulang dan dibahas secara panjang lebar oleh Ignas Kleden.

Frans Magnis-Suseno menulis Dalam Bayangan Lenin, Enam Pemikiran Marxisme 
dari Lenin sampai Tan Malaka. (2003). Buku Naar de Republiek Indonesia 
dikagumi Daniel Dhakidae karena mengandung strategi militer. Di Sumatera 
Utara, diterbitkan ulang sebuah novel terbitan 1940, berjudul Tan Malaka di 
Medan karya Emnast (Muchtar Nasution). Penerbit Ombak Yogyakarta minggu lalu 
menerbitkan karya Dr Zulhasril Nasir, Tan Malaka dan Jaringan Kiri 
Minangkabau di Indonesia, Malaysia, dan Singapura.

Harry Poeze telah menemukan lokasi tewasnya Tan Malaka di Jawa Timur. Dengan 
dukungan dari keluarga dan lembaga pendukung Tan Malaka, dia sedang 
menjajaki kerja sama dengan Departemen Sosial RI untuk memindahkan makamnya 
ke Taman Pahlawan Kalibata. Hal itu, sebelumnya, perlu dilakukan pula 
investigasi forensik, misalnya dengan test DNA.

Lokasi tempat Tan Malaka disergap dan kemudian ditembak adalah desa T, 
sebuah desa yang memanjang sejajar dengan jalan yang menghampar di punggung 
terusan gunung Wilis. Penembakan itu dilakukan oleh ST atas perintah letnan 
dua S.

Pada masa selanjutnya, S pernah menjadi wali kota di sebuah kota besar di 
Jawa Timur dan terakhir berpangkat Brigjen, meninggal 1980-an. Penembakan 
tersebut bukanlah atas perintah pucuk pimpinan tentara karena tidak ada 
perbedaan strategi perjuangan antara Tan Malaka dan Jenderal Sudirman, namun 
memperlihatkan adanya faksi di kalangan tentara nasional akibat situasi 
politik semasa revolusi.

Pengungkapan sejarah itu bukanlah untuk pengusutan hukum, melainkan demi 
rehabilitasi nama baik seorang pahlawan nasional yang seyogianya 
disemayamkan di taman makam pahlawan bukan di tempat yang tidak jelas 
rimbanya. Semoga pemerintah Provinsi Jatim dapat memfasilitasi kegiatan 
luhur itu.


Dr Asvi Warman Adam, pengurus pusat Masyarakat Sejarawan Indonesia)

Kirim email ke