Jakarta, Kompas - Islam dan Barat saat ini seperti dua kutub yang
berseberangan. Dalam situasi demikian diperlukan kesadaran dan usaha
dari kedua budaya ini untuk mau saling berinteraksi dan memahami
perbedaan yang ada sehingga kesalahpahaman dan stereotip antarkeduanya
bisa dihilangkan.

Hal itu dikemukakan oleh Jacqueline Wasilewski, ahli kajian
antarbudaya dari The International Society for Intercultural
Education, Training, and Research dalam seminar "Islam and the West:
>From Coexistence to Engagement" di Jakarta, akhir pekan lalu. Seminar
yang digelar oleh Bina Antarbudaya ini dimaksudkan untuk memperingati
50 tahun Program Pertukaran Pelajar American Field Service (AFS) di
Indonesia.

Program pertukaran pelajar seperti AFS, menurut Wasilewski, merupakan
suatu wahana pembelajaran antarbudaya yang efektif. Peserta program
harus belajar untuk bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan yang
memiliki nilai, cara hidup, dan cara pikir yang sangat jauh berbeda
dengan lingkungan asal.

Ribuan peserta AFS dari berbagai negara Barat tinggal di keluarga
Muslim, juga sebaliknya. "Tinggal bersama keluarga asing dengan budaya
yang berbeda, mereka tidaklah belajar sebagai "penonton", tetapi
sebagai "pemain" yang turut mengalami dan menghayati kehidupan budaya
lain yang sangat berbeda sehingga dapat lebih merasakan dan memahami
secara mendasar dan mendalam," kata Wasilewski.

Para alumni AFS yang telah dibekali dengan pemahaman antarbudaya itu
kini tersebar di berbagai penjuru dunia. AFS asal Indonesia di
antaranya penyair Taufiq Ismail, Tanri Abeng, dan pendidik Arief
Rachman. (LOK)


http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0708/27/humaniora/3793827.htm  



Kirim email ke