Sumber : http://www.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Box&id=41547
Senin, 3 November 2003 Menikmati Ramadhan di Masjid Terbesar Eropa Berslogan Cinta untuk Semua, tapi Terancam Rasialis London,- Komunitas muslim kini mendapat respek cukup baik dari masyarakat sekitar dan pemerintah Inggris. Pihak kota ikut merasa memiliki ketika masjid agung dibangun di sana. Namun, mengapa masih diliputi kecemasan? ROHMAN BUDIJANTO, London BANGUNAN raksasa Masjid Baitul Futuh itu memberi warna lain dalam lanskap kota kecil Morden, di utara London, Inggris. Dua menara dan kubah kompleks masjid terbesar di Eropa ini mencuat gagah di tengah-tengah bangunan perumahan warga kota. Agak aneh, tentu ada bangunan ibadah bergaya Timur Tengah di tengah-tengah kota Barat. Dengan petunjuk menara itu, orang gampang mencari masjid yang terletak di tanah seluas 5,2 akre atau lebih dari 2,1 hektare tersebut. Setelah 35 menit naik kereta api bawah tanah (underground) dari pusat kota London, hanya perlu jalan kaki sekitar 400 meter ke masjid itu. Pembangunan di kompleks Baitul Futuh (Rumah Kemenangan) masih berlanjut, meskipun masjid utama sudah selesai dan berfungsi. Saat saya datang, alat-alat berat sudah tak bergerak dan para pekerja sedang berkemas-kemas karena jam kerja akan selesai menjelang pukul 04.00. Suasana cukup dingin, termasuk bagi orang-orang Inggris. Suhu sekitar 10 derajat. Segalanya basah karena hujan rintik-rintik. Selebihnya sepi. Seolah tak ada kegiatan. "Pemuda ini akan mengantar Anda,'' kata penjaga kulit hitam bernama Mohammad Yartey dengan ramah. Pemuda masjid bernama Umair Hassan mengantarkan saya ke dalam masjid. Saya agak bingung mencari mana pintu masuk ke masjid karena sebagian pintu belum berfungsi. Gedung-gedung utamanya sudah berdiri megah (masjid utama yang berdempetan dengan tiga gedung besar), namun tinggal menata interiornya. Yang paling menonjol dari bangunan itu adalah kubahnya; berdiameter 15,5 meter, 8 meter dari atap dan 23 meter dari tanah. Ada juga dua menara, yang tertinggi 25,5 meter. Di salah satu sisi tembok ada prasasti pembangunan. Tertulis di sana "Peletakan Batu Pertama oleh Hazrat Mirza Thahir Ahmad Khalifatul Masih IV 19 Oktober 1999." Juga ada prasasti lain di jejernya dengan tulisan "Diresmikan oleh Hazrat Mirza Thahir Ahmad Khalifatul Masih IV 3 Oktober 2003." Khalifah adalah imam besar di kalangan Ahmadiyah, sebagai penerus Mirza Ghulam Ahmad, sang pendiri. Kini kelompok ini diimami Hazrat Mirza Masroor Ahmad, sebagai Khalifatul Masih V, setelah yang terdahulu wafat. Saya melanjutkan langkah menuju tempat ibadah utama Masjid Baitul Futuh, yang dicapai dengan lewat pintu kaca yang selalu tertutup meski tak terkunci. Ini untuk keperluan praktis, karena setiap pintu bangunan di Inggris memang selalu tertutup, karena hawa dingin di luar serta demi keamanan. Setelah masuk ke ruangan mirip serambi besar, di karpet kasar saya melepas sepatu dan meletakkannya di rak-rak yang menempel di tembok di dalam masjid. Umair lalu membawa saya naik tangga ke lantai dua. Di ruang utama masjid, berkarpet selang-seling hijau dan abu-abu yang kira-kira bisa menampung 1.500 jamaah, sekitar 25 jamaah sedang mendengarkan imam Muniruddin Syams menderas Alquran dengan bacaan cepat. Kebanyakan mereka berpakaian celana longgar dan kemeja panjang, berjaket, serta mengenakan topi khas Pakistan atau Afghanistan, tempat asal mereka sebelum berimigrasi. Ada juga beberapa orang kulit hitam. Saya lalu diajak imam Syams dan Nasser menyusuri bagian dalam bangunan. Setelah turun dari masjid, memasuki pintu ke ruang besar lain di kompleks itu. Suasananya masih berantakan karena banyak bahan bangunan ditumpuk. Di situ nanti akan jadi ruang konvensi. Setelah melewati pintu lagi, masuk ke ruang olahraga. Sangat luas. Ada enam lapangan badminton di ruang yang berlangit-langit tinggi itu. Lantainya dari kayu. Lalu tibalah di tempat takjil, sebuah ruang luas yang belum jadi 100 persen. Sekitar 50-an orang berkumpul di sana. Mereka memegang piring kertas kecil berisi empat buah kurma dan sepotong martabak berukuran tiga jari. Juga disiapkan air dalam gelas kecil. Suasananya cukup meriah. Imam Syams memaksa melayani saya, meskipun saya mengatakan bisa mengambil sendiri. Ketika tiba pukul 04.40, saat buka puasa tiba. Orang-orang menikmati takjil itu dengan lahap, sembari bercakap-cakap riuh. Imam Syams mengajak bercakap-cakap soal bagaimana suasana Islam di Indonesia. Rupanya ia maklum benar, citra umat Islam sedang tidak terlalu mencorong. Di Inggris, Ahmadiyah justru mendapat respek cukup baik dari masyarakat sekitar. Kelompok yang bersemboyan Love for All Hatred for None (Kasih Sayang untuk Semua, Tanpa Kebencian kepada Siapa pun) ini berkembang terus sejak mendirikan misi dakwah pada 1913 di negeri Ratu Elizabeth itu. Bahkan, Masjid Fazl yang didirikan pada 1924 menjadi masjid pertama di Inggris dan dikenal sebagai Masjid London. Selain di London sebagai pusat organisasi, kini The Ahmadiyah Muslim Association (AMA) Inggris punya 12 cabang di Inggris, yakni di Birmingham, Bradford, Cambridge, Croydon, East London, Glasgow, Hounslow, Huddersfield, Leicester, Manchester, Oxford, dan Southal. Ikatan persaudaraan antarjamaah Ahmadiyah cukup kuat. Mereka gampang dikerahkan untuk menggerakkan dakwah. Seperti Masjid Baitul Futuh, yang didirikan di tanah bekas pabrik susu itu, didanai dari sumbangan jamaah Ahmadiyah di seluruh dunia. Kompleks itu, untuk masjidnya saja, menelan ongkos GBP 4 juta atau sekitar Rp 56 miliar. Di sana juga disiapkan fasilitas olahraga (termasuk ruang fitness), tempat konvensi, perpustakaan, toko buku, ruang arsip, dan ruang-ruang akomodasi lain. Akomodasi itu diperkirakan bisa menampung 10.000orang. Ruang parkirnya juga sangat luas. Sikap Ahmadiyah yang sangat inklusif dan properdamaian --selalu mengingatkan bahwa asal kata Islam itu 'damai'-- menjadikan kelompok ini mendapat simpati. Untuk pembangunan masjid itu dibentuk AMA Liaison Group (Kelompok Penghubung AMA) untuk dimintai pertimbangan. Mereka terdiri atas dewan lokal kota, kelompok warga, kalangan sekolah dan college, wakil dari berbagai organisasi, termasuk tokoh-tokoh gereja. Ahmadiyah juga mempromosikan agama yang memperjuangkan kesetaraan lelaki-perempuan. Masjid Baitul Futuh menyediakan ruang yang sama besar buat lelaki dan perempuan. Ruang ibadah untuk perempuan berada di lantai dasar, sedangkan ruang lelaki di lantai dua. Anak-anak juga dilibatkan dalam banyak kegiatan, termasuk perayaan hari anak-anak serta silaturahmi tahunan. Selain dari kalangan tokoh agama lain yang kerap diajak dialog, simpati juga didapatkan dari kalangan politisi Inggris. Contohnya, anggota parlemen Tony Colman dan John Bowis menjadi langganan pembicara di acara AMA. Tokoh politik perempuan, Dr Ann Lee, juga pernah diundang di acara AMA. Karena sikap adaptif dengan lingkungan ini, masjid Baitul Futuh akan dijadikan salah satu aset komunitas Kota Morden. Ini tak lain karena kegiatan AMA ikut mewarnai masyarakat. AMA ikut menyediakan layanan kesehatan. Selain itu, dia mendirikan radio Jalsa FM dan televisi satelit MTA (Muslim TV Ahmadiya) International yang siaran 24 jam dalam beberapa bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Ahmadiyah memang menyimpan sumber daya yang baik. Salah satu jamaahnya, almarhum Abdus Salam, sangat mereka banggakan karena meraih Nobel Fisika. Meskipun jamaahnya mayoritas dari kalangan kebanyakan, namun pengurus masjid kebanyakan kelas menengah, seperti pengusaha atau profesional.(jpnn) Sumber : http://www.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Box&id=41547