Manneke,
Sudah beratus-ratus tahun lalu saya mengajak orang2 seperti YHG Yth
ini menyadari soal etnis Cina sebagai etnis yang ter/ditandai (marked
category). Yah, apa daya, saya harus ulangi: YHG Yth sudah keracunan
tingkat akut!! (hehe,, jadi ingat debat kita menyangkut Mei 98 di
milis ini dengan 'seseorang' --puuinter, dosen pula-- yang juga
keracunan ideologi jenis lain. Sama capeknya ya Manneke)

Syak wasangka saya: mungkin YHG punya kewajiban/tugas memoles2 wajah
militer dan Orba.

Di bawah ini contoh usaha saya menyadarkan orang2 spt YHG Yth.
I.

--- In [EMAIL PROTECTED], "idakhouw" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

Pada 13 Juli 2006 saya bertanya jawab dengan salah seorang anggota
milis Tionghoa-net yang didalamnya ada Bung YHG juga.
Saya merasa sudah cukup jelas menerangkan pertumbukan antara aspek
kelas ekonomi dan aspek etnisitas menyangkut konglomerat Cina
Indonesia, dan seingat saya Bung YHG tidak berkomentar apa2.

Apa boleh buat kalau Bung YHG tidak 'dong' juga, terlalu sibuk mencari
kenikmatan lewat menyakiti diri sendiri, alias sibuk bermasokis ria,
barangkali :=)

Diskusi saya hampir setahun lalu itu sbb:

> Cie Ida memang tepat mengkritisi analogi yang saya pinjam dari Pak
> Christianto Wibisono tersebut, ada satu proses penyamarataan dalam
jalan
> ceritanya, yaitu semua Tionghoa dianggap anak gemuk (financially
> strong). 

Sedari awal saya mengerti yang ingin digambarkan oleh Pak C. Wibisono
maupun Pak Daniel (thanks juga untuk elaborasi lebih lanjutnya), saya
cuma selalu kuatir dan prihatin thd. pribadi2/'tokoh'2 dalam etnis ini
sendiri yg cenderung(?) mengamini/mengekalkan stereotype/cara pandang
yg meng-homogen-kan/generalisasi etnisnya sebagai si Gemuk itu (selain
juga prihatin/tidak setuju dengan representasi Cina Indonesia as such
dalam media massa dllnya, seperti sudah saya singgung di email lalu)

Dalam kelompok axis si Gemuk kan sebetulnya juga ada nama2 spt.
Bakrie, Sukamdani, Kalla, Probosutedjo,
Suharto&sons&daughters&grandsons&granddaughters, Fadel,,,, namun
setiap wacana si Gemuk mengemuka, warna2 ini tidak muncul, tapi axis
etnisitas (Cina Indonesia) yang menguat, karena si Gemuk (axis kelas)
adalah stereotype Cina Indonesia (axis etnisitas), di sinilah
'pertumbukannya'. Ini yang harus diusahakan diubah, harus terus
didengungkan (seperti elaborasi Pak Daniel): Ini persoalan kelas.

Saya kutipkan sebuah berita yg diforward di milis Budaya Tionghua
baru2 ini:
"Purnawan juga mengatakan, .... Di saat pendidikan
anak-anak nonpribumi dihambat, maka mereka menyekolahkan anaknya ke luar
negeri. Itulah, yang juga menyebabkan generasi Tionghoa menjadi
selangkah lebih maju dari kaum mayoritas.(sjs,D2-41a)"
(Penggalan dari berita: SUARA MERDEKA Selasa, 21 Februari 2006 Ketika
Warga Tionghoa Menemukan Jati Dirinya)



Pernyataan2 seperti inilah yang mengekalkan stereotype itu. IMO,
figur2 yang sudah dianggap sebagai 'tokoh' etnis Cina Indonesia
sebaiknya lebih sensitif berkomentar di media massa.
Selain usahakan menghindari statement yang bersifat mengekalkan
stereotype Cina Indonesia, di lain pihak saya pikir sebaiknya
selalulah juga berusaha mengkonstruksi citra bahwa Cina Indonesia
adalah bagian dari identitas Indonesia, titik.
Hal lainnya, statemen di kutipan di atas juga semakin memperkuat
polarisasi antara 'kami' dan 'mereka'.

Saya sadar, sulit (atau bahkan tak mungkin) menghilangkan dikotomi
'kami' dan 'mereka', sebab bagaimanapun memang ada perbedaan itu dan
saya tidak bermaksud menghilangkannya, saya hanya berharap di tingkat
'para tokoh' teruslah usahakan mengeliminir ketegangan di antara
perbedaan itu, dan bukannya malah makin mengekalkannya.

Saya pikir kini saatnya, ketika kesempatan bicara terbuka lebar,
untuk berkata bahwa si Gemuk (yang kelihatannya dalam analogi Pak
Wibisono dan Pak Daniel merepresentasikan golongan konglomerat
Cina-Indonesia dan yang sedikit di bawahnya), selain sebagai persoalan
kelas, juga cuma salah satu sudut wajah Cina Indonesia saja, dan -yang
lebih penting- mereka itu bukan mayoritas.

Salam,
Ida Khouw

--- In mediacare@yahoogroups.com, Manneke Budiman <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> 
> Anda ini keliatan intelek tapi sesungguhnya logikanya keplintir. Ini
hasil brainwash dikatotor militer Orba ya? Nggak heran kalo gitu. 
> 
> Saya dituding menyepelekan dukungan RRC-PKI? Anda ini lagi baca
postingan saya atau baca Doktrin TNI AD? Yang saya bilang--kali ini
bukan mata Anda yang lebar--urusan RRC dan PKI jangan menjadikan WNI
turunan Cina sebagai tumbalnya. Kalo Anda mau jadi tumbal, go ahead,
tapi jangan bawa-bawa yang lain, oke? Nah, masih kurang jelaskah makna
statement saya?
> 
> segenting apapun situasi keamanan, tidak pernah boleh suatu
pemerintah melakukan stigma atas sekelompok warga berdasar etnisnya.
Tugas negara yang utama adalah melindungi seluruh warganya. Anda
doktrinnya militer sih, jadinya oke-oke aja buat Anda jika negara
melakukan tindak diskiriminasi etnik atas nama KEAMANAN. Keliatan
nggak kini ideologi yang Anda pakai untuk berargumen itu sumbernya
dari mana? Anda bilang, "kebijakan Orba bukan untuk mendiskriminir
warga Cina, tetapi dalam rangka pemulihan keamanan dan mempercepat
proses integrasi bangsa." Ha ha ha ha! Yap Hong Gie, betul-betul Anda
ini pemimpi di siang bolong. Bunyinya mirip siaran Menpen zaman
Suharto. Penuh eufimisme. Mana ada di dunia ini pemulihan keamanan
bisa dicapai lewat diskriminasi (yang dihaluskan dengan
istilah"percepatan integrasi bangsa") kecuali di negara-negara
totaliter kaya Indonesia zaman Orba? Ada nggak negara demokratis yang
melakukan hal seperti ini? Kasih dong contoh. Nggak usah debat kusir doan
>  g.
> 
> Hai Yap, ngomogn-ngomong, pemerintah-pemerintah yang selama PD II
dulu mendiskriminasi warganya itu, kini pada meminta maaf dan
memberikan kompensasi kepada keturunan para korban. Anda? He he he,
masih saja sibuk mebetul-betulkan kebijakan rasis yang dipraktikkan
Orba. Katak dalam tempurung!
> 
> Ya, saya doyan membawa kasus Nazi sebagai ilustrasi dengan tujuan
untuk MENDRAMATISIR argumetasi saya. Tumben kali ini Anda cepet
nangkep. Mau tau alasannya? Karena di dunia ini banyak orang rabun dan
pelupa yang tak ngerti sejarah, kaya Anda ini. Jadi, perlu diingatkan
terus. Jangan bosen ya. Pasti isu ini akan senantiasa saya sorongkan
lagi ke muka Anda.
> 
> Pemerintah "memberikan kesempatan kepada etnis Cina untuk
mengendalikan bisnis dan industri"? Tidakkah Anda pernah terusik untuk
bertanya mengapa? Kebijakan ekonomi yang aneh ini sendiri sudah
diskriminatif sifatnya, jika argumen Anda itu betul. Kok kesempatan
bisnis diberikan kepada etnis tertentu saja sebagai keistimewaan? Ini
juga diskriminasi namanya, Bung! Tapi, dasar Anda produk Orba tulen,
maka kebijakan yang bunyinya indah tapi isinya busuk inipun ditelan
bulat-bulat sebagai kebaikan Orba. Kebanyakan ikut Penataran P4 ya dulu?
> 
> Apa yang tak saya akui? Bahwa para konglomerat Cina itu dipakai
Cendana? Lho? Di mana saya pernah menyangkalinya? Anda rupanya bukan
cuma ngimpi, tapi juga sambil keluyuran ngelindur kaya orang sleep
walking ya. Back to the point: konglomerat item itu dekat dengan
Cendana dan dipakai mereka. Tidakkah ini menunjukkan adanya cacat
dalam kebijakan politik Orba? Jadi, tujuannya bukan untuk "mempercepat
integrasi bangsa" dong, seperti Anda bilang? Tujuannya duit dan
kekayaan pribadi di atas penderitaan ratusan juta manusia dong. Bangun
Yap!
> 
> Tambahan info: Cina yang ngabur itu bukan semuanya buronan!
Lagi-lagi Anda bikin generalisasi jongkok yang makin menunjukkan
kapasitas benak Anda seberapa. Sepanjang sejarah Orba, banyak sekali
etnik Cina yang ngabur akibat kekerasan etnik yang selalu berulang
itu. Nggak ingat ya peristiwa Pekalongan, Semarang, Solo, dll itu?
Atau gak mampu ngeliat karena buta? Di tempat saya kini berada, ada
ratusan etnik Cina yang kabur selama paroh kedua 1998. Mereka korban.
Mereka tinggalkan bisnis, rumah, tanah, sanak-saudara hanya untuk satu
tujuan: kehidupan yang aman buat anak-anak mereka. Ada psikiater yang
rela jadi janitor, dan insinyur kimia yang rela jual hotdog di
perempatan jalan. Demi keselamatan anak-anak gadis mereka. Atau Anda
bilang ini isapan jempol aja?
> 
> Ya betul Yap Hong Gie: diperlukan kebesaran jiwa. Dan sayangnya satu
hal ini yang tak Anda miliki. 
> 
> manneke
> 
> 
> -----Original Message-----
> 
> > Date: Sat Oct 06 12:41:58 PDT 2007
> > From: "Yap Hong-Gie" <[EMAIL PROTECTED]>
> > Subject: [mediacare] Re: Isu Soeharto Cina =>  Manneke Budiman #59740
> > To: mediacare@yahoogroups.com
> >
> > Bung Manneke Yth,
> > 
> > Saya diajarkan kalau mencari solusi untuk suatu kasus, harus dimulai
> > dengan membaca peta situasi (mapping) kejadian, memperhatikan
> > faktor-faktor external dan internal yang mempengaruhi, mempelajari
> > sebab dan akibatnya, kemudian baru membuat kesimpulan, untuk mencari
> > solusinya.
> > Terbalik dengan Anda, yang sudah mempunyai kesimpulan, kemudian
> > membuat analisa dan mencari pembenaran untuk mendukung kesimpulan Anda
> > tersebut.
> > 
> > 
> > Selanjutnya tanggapan saya dibawa.
> 
> > Komen Anda: "Masa gara-gara RRC mendukung PKI, lalu WNI turunan Cina 
> > boleh didiskriminasi?", nampak sekali ingin memaksakan isu
diskriminasi.
> > Sampai nekat menyepelekan dukungan RRC kepada PKI, hanya untuk
> > membenarkan masalah diskriminasi, ini visi yang lebih membahayakan!
> > 
> > Tolong jangan sebut "dengan kata lain" untuk memlintir suatu
> > kesimpulan, saya tidak pernah menganggap, menyetujui atau menyatakan
> > bahwa etnis Cina boleh didiskriminasi.
> > 
> > Yang saya katakan bahwa, kebijakan pemerintah Orba bukan untuk
> > mendiskriminir warga Cina, tetapi dalam rangka pemulihan keamanan dan
> > mempercepat proses integrasi bangsa.
> > 
> > Pada hakekatnya membawa-bawa contoh peristiwa/kasus di LN, sangat
> > tidaklah relevan, tapi kali ini akan saya tanggapi.
> > 
> > Hal-hal yang terjadi terhadap warga etnis Jepang di AS, bukan
> > bermotifkan race discrimination, tetapi murni didasari pada
> > kepentingan keamanan negara.
> > Quote: "Civilian and military officials had concerns about the loyalty
> > of the ethnic Japanese on the west coast and considered them to be
> > security risks"---End quote.
> 
> > Memakai parameter saat sekarang; sambil ngopi-ngopi di Coffee Bean,
> > untuk menilai dan menyimpulkan suatu kebijakan dalam situasi perang
> > (atau paska kudeta), adalah sangat absurd.
>  
> > Rupanya Anda gemar sekali membawa-bawa Nazi Auswich, untuk
> > mendramatisir argumentasi Anda yah?
> > 
> > Setahun pasca G30S/PKI, Kopkamtib dan jajaran militer dalam keadaan
> > high alert, membersihkan sisa-sisa anggota PKI didalam pemerintahan
> > maupun didalam tubuh Angkatan Bersenjata sendiri, serta jaringan
> > klandestin didaerah; pembrontakan bersenjata di Blitar Selatan
> > (1966-68) dan di Jawa Tegah (1967-68).  Belum lagi mengimbangi
> > Presiden Sukarno dengan Kabinet Dwikora, dimana masih bercokol
> > Waperdam I Dr. Subandrio, dan Nyoto (Anggota Polit Biro CC PKI)
> > sebagai Menteri Negara diperbantukan pada Presidium Kabinet, yang
> > dengan berbagai upaya berusaha menyelamatkan PKI (baru dibubarkan 12 
> > Maret 1966).
> > Apakah Anda mengira bahwa Pak Harto dan jajarannya masih punya waktu
> > untuk memikirkan untuk mendiskriminasi etnis Cina?
> > 
> > Dalam dunia bisnis dimanapun selalu ada bagi-baginya, jangan tanya
> > kalau minta fasilitas khusus, seperti monopoli, yang "aspal", dan yang
> > ilegal, dll.
> > 
> > Di LN, untuk bisnis halal saja sudah lama berlaku program CSR, tapi
> > kita disini baru membahasnya untuk diundangkan.
> > 
> > Persoalannya disini, banyak pengusaha Cina (dalam hal bagi-bagi)
pakai 
> > Calculator Made in Israel*.
> > (*) = cuma ada tombol (x) dan (+),  sedangkan tombol (:) dan (-) tidak
> > ada 
> > 
> > Kalau kurang percaya, lihat saja hasil akhir keuntungan para konglo
> > hitam, koq bisa ya?
> > Nah, cara hitung-hitungan seperti ini saya perlu kuliah dari Anda ...
> > he he he....
> 
> > Pointnya bukan soal kwantitas; berapa banyak etnis yang kaya dan
> > berapa yang miskin miskin.
> > Inti persoalannya adalah, Pemerintah memberikan kesempatan kepada
> > masyarakat etnis Tionghoa untuk mengendalikan dan menguasai bisnis dan
> > industri.
> > 
> > Asia Times, Oct 14, 2006
> > Trials and travails of Indonesia's richest man
> > Quote:
> > Wealthy minority
> > Although it accounts for only 3% or 4% of Indonesia's 238 million
> > population, the mostly urban-based ethnic-Chinese community dominates
> > retail business and controls many of the country's major industrial 
> > conglomerates.
> > Upon achieving independence, Indonesia's ruling pribumi military
> > leaders, including Suharto, preferred to outsource development of the
> > country's natural resources to ethnic-Chinese businessmen.---- End
quote.
> 
> > ASTAGAA.... setelah seminggu lebih berdiskusi akhirnya Anda
mengakui juga!
> > 
> > Terima kasih Anda sudah mendukung statement saya di posting (#59129),
> > tertanggal 29 Sep 2007, yang berbunyi:
> > >Ditambah lagi, kalau Suharto Inc. dibongkar maka akan banyak
> > >saudara-saudara etnis sendiri yang kena tersangkut, seperti yang
> > >ditulis "International Commission on Soeharto Inc. Buster", yang
> > >dipublikasikan GLOBE ASIA VERSION (Volume 1 Number 7- August 2007);
> > >"Soeharto Inc., and Cronies: 150 The Richest in Indonesia 2007"
> 
> > Terbalik Bung Manneke! Silahkan baca kembali tulisan saya.
> > Yang saya katakan adalah: "Kalau benar tuduhan bahwa selama 32 tahun 
> > Pemerintah Orde Baru menerapkan politik diskriminasi, maka: 
> > ............  karena yang kaya sudah mabur semua!"
> > 
> > Yang kabur cuma yang tersangkut kasus pidana BLBI, itu namanya buron.
> > 
> > Para pengusaha dan konglomerat masih tinggal dan berusaha disini
> > semua, dan semakin mantap!
> > 
> > Memang, kadang kebenaran itu suka menyakitkan, tapi semua itu harus
> > bisa dihadapi dengan jiwa yang besar. 
> > 
> > Wassalam, yhg.
> > ------------------
>


Kirim email ke