Dari milis MU ...

----Email Diteruskan----
Dari: sultanba...@yahoo.co.id
Kepada: mediau...@yahoogroups.com
Email Keluar: Sab, 14 Agt 2010 13:44 WIB
Judul: [mediaumat] Kecerdasaan Spritual vs Kecerdasan Ideologis (Sekuler vs 
Islam)

Kecerdasaan Spritual vs Kecerdasan Ideologis (Sekuler vs Islam) 
Oleh: Pak Dos 


Dalam bidang pengembangan managemen, SDM, organisasi, bisnis, psikologi 
dan kajian self-help kita mengenal istilah SQ atau kecerdasan spritual. 
Istilah ini muncul melengkapi dua jenis kecerdasan sebelumnya, yaitu 
kecerdasan rasional (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ). Bila IQ berbicara 
tentang 'apa yang saya pikir'dan EQ mengupas 'apa yang saya rasakan', maka 
SQ membahas 'siapa saya'. 

Istilah SQ menjadi populer melalui buku SQ: Spritual Quotient,The Ultimate 
Intelligence (London,2000) karya Danah Zohar dan Ian Marshall (ZM), 
masing-masing dari Harvard University dan Oxford University. SQ diklaim 
memiliki dasar dan bukti ilmiah. Pakar neurosains pada tahun 1990-an 
menemukan adanya "Titik Tuhan" atau God Spot di dalam otak. Titik Tuhan 
ini adalah sekumpulan jaringan saraf yang terletak di daerah lobus 
temporal otak, bagian yang terletak di balik pelipis. Dari eksperimen yang 
menggunakan sensor magnetis ditemukan adanya korelasi antara aktivitas 
berpikir tentang hal sakral seperti kedamaian, cinta, kesatuan, Tuhan 
dengan aktivitas magnet pada lobus temporal otak. Penemuan ini tidak 
sekedar berkontribusi pada bidang saraf dan otak, namun menjadi kajian dan 
perbincangan menarik untuk bidang sosial, psikologi, managemen, bisnis, 
agama dan juga ideologi.

Dalam tulisan ini akan dibahas 3 hal, yaitu SQ tidak bebas nilai (aspek 
ontologi); penerapan SQ untuk kasus korporasi(aksiologi); dan 
mengembangkan kecerdasan alternative untuk perubahan peradaban, kecerdasan 
ideologis berbasis Islam.

SQ Tidak Bebas Nilai
Universalitas fenomena God Spot sebagai akibat aktifitas biologis dan 
psikologis bisa diterima, karena didasarkan pada eksperimen ilmiah. Namun 
tidak berarti rumusan dan pemanfaatan SQ menjadi bebas nilai. ZM 
menyatakan SQ adalah konsep universal yang tidak ada hubungannya dengan 
agama atau sistem keyakinan terorganisasi lainnya. Kecerdasan spritual 
adalah kecerdasan yang dipakai untuk merengkuh makna, nilai, tujuan 
terdalam dan motivasi tertingi manusia. Sehingga, dengan kecerdasan ini 
manusia dapat memutuskan untuk melakukan segala macam kebaikan, kebenaran, 
keindahan dan kasih sayang dalam hidup. Benarkah ?

Untuk itu mari dicermati rilis buku lain ZM, Spritual Capital: We Can Live 
by Using Our Rational, Emotional and Spritual Intelligence to Transform 
Ourselves and Corporate Culture (London,2004). Dalam buku ini ZM mengakui 
keyakinan dan keberpihakannya pada kapitalisme, walau disadari kapitalisme 
telah menjebak manusia dan dunia korporasi pada perburuan keuntungan 
kompetitif yang kejam. Namun, modal spritual (SC) adalah ikhtiar untuk 
menyuntikkan 'ruh kebaikan' pada ideologi kapitalis, yang memiliki prinsip 
the pursuit of profit for its own sake (pencarian keuntungan demi 
keuntungan itu sendiri).

Keberpihakan 'guru' spritual ZM pada kapitalisme menunjukkan posisinya 
sebagai penganut ideologi ini. Ideologi ini menjadi cara pandang ZM 
terhadap kehidupan dunia, yang selanjutnya menentukan cara mempersepsi dan 
cara mensikapi persoalan hidup. Implikasinya, rumusan ZM tentang 
spritualitas juga berdiri di atas cara pandang ini.

Sekarang kita lihat bagaimana definisi spritualitas dalam persfektif 
Islam. Sprituality dalam bahasa Arab disejajarkan dengan istilah 
rúhaniyah. Muhammad Husain Abdullah dalam Mafahim Islamiyah mendefinisikan 
rúhaniyah sebagai idrak shillah billahi (kesadaran hubungannya dengan 
Allah SWT). Hidup dengan spritualitas yang tinggi berarti sebuah kehidupan 
yang berada dalam kondisi iman yang baik (jawwu iman). Perasaan ini 
mendorong seorang muslim mengikatkan diri dengan segala perintah dan 
segala larangan Allah SWT dengan penuh ridho serta ketenangan 
(thumaninah). Singkatnya, muslim dengan tingkat spritualitas tinggi 
memiliki cara hidup Islam yang totalitas. Segala sesuatu diukur dari 
kesesuaian dengan aqidah dan syariat Islam.

Jadi, ada perbedaan jelas antara Islam dan ZM. Dalam Islam, spritualitas 
terkait dengan perintah dan larangan Allah SWT. Sementara dalam konsep ZM 
spritualitas terkait dengan makna dan nilai manusia terdalam yang diklaim 
bersifat universal. Ini berarti rumusan kecerdasan spritual tidak akan 
bebas nilai. 

Titik Konflik dengan Islam: studi kasus Freeport
Bagaimana bila spritualitas menurut ZM dan Islam diaplikasikan pada 
kehidupan nyata? Misalkan saja dunia korporasi dengan contoh kasus PT 
Freeport. Perusahaan ini selama periode 10 tahun telah memproduksi 5,5 
juta ton tembaga, 828 ton perak dan 533 ton emas di Papua. Jadi telah 
meraup keuntungan triliunan dolar dengan sedikit disisihkan untuk negara 
Indonesia. Sementara, perusahaan ini menyisakan problem ekologi dan sosial 
yang parah. Menurut lembaga audit Dames & Moore ada sekitar 3,2 miliar ton 
imbah yang dihasilkan selama beroperasi. Di Timika juga berkembang bisnis 
esek-esek sehingga tercatat sebagai kota dengan penderita HIV/AIDS 
terbanyak di Indonesia. Singkat kata, dengan profile eksistensi seperti 
ini Freeport membutuhkan suntikan spritualitas.

Bila ingin disuntikan spritualitas maka perusahaan ini harus dibimbing 
oleh visi dan nilai (vision and value led). Visi utamanya harus terlihat 
nyata dan mengilhami seluruh policy dan tindakan. Ia harus mengadopsi 
nilai-nilai seperti menyelamatkan kehidupan; meningkatkan kualitas 
kehidupan; memperbaiki taraf kesehatan, pendidikan, komunikasi; memenuhi 
kebutuhan dasar manusia;melestarikan ekologi global, dan memulihkan 
kesadaran akan keunggulan; kebanggaan dalam melayani dan seterusnya 
(Spritual Capital, London, 2004). Ini berarti Freeport harus 'banyak 
berkorban' untuk memenuhi value ini. Pertanyaan yang menggelitik, 
mungkinkah Freeport dengan ikhlas merubah tabiat dan mau mengurangi 
kenikmatan demi nilai luhur spritualitas?

Titik konflik dengan Islam sebenarnya bukan pada nilai-nilai yang 
terdengar universal tadi. No problem with those statements of value. 
Namun, masalahnya terletak pada eksistensi dan posisi korporasi dalam 
pengelolaan SDA yang terkategori sebagai kepemilikan umum (collective 
property). Apakah syariat membolehkan sebuah korporasi menguasai SDA yang 
seharusnya milik rakyat? Apakah korporasi boleh terlibat dalam pengelolaan 
SDA? Bagaimana bentuk keterlibatan yang masih diperbolehkan oleh syariat?

Bila masalah ini ditelusuri berdasar perspektif Islam, maka kontrak karya 
harus dibatalkan. Paradigma pengelolaan SDA milik umum berbasis swasta 
(corporate based management), seperti kasus Freeport, haram secara 
syariah. Terlebih banyak kecurangan dan berdampak pada kerusakan 
kelestarian lingkungan dan sosial. Perusahan yang baik masih bisa 
dilibatkan dalam pengelolaan negara (state based management) yang hasilnya 
diperuntukan sepenuhnya untuk rakyat. Keterlibatan ini sebatas sebagai 
tenaga jasa atau pekerja yang digaji dengan besaran tertentu, bukan 
sebagai pengelola. Lebih detil tentang pengelolaan SDA berdasar syariah 
bisa merujuk kitab Nidzhom Iqtisody karangan Syaikh Taqiyudin An-Nabhani. 

Mengembangkan Kecerdasan Ideologis berbasis Islam
Sebenarnya ada impian besar dibalik gagasan modal spritual (SC). ZM 
menyuntikan spritualitas sebagai 'ruh kebaikan' pada kapitalisme untuk 
Menciptakan Perubahan Dunia. Artinya ZM ingin menjaga eksistensi ideologi 
kapitalis dengan cara menerima, memodifikasi dan menyebarkannya. Menurut 
hemat penulis, bagi seorang muslim impian untuk Menciptakan Perubahan 
Dunia adalah dengan Mengembalikan Kehidupan Islam, bukan dengan 
memodifikasi kapitalisme. Instrumennya bukan dengan menyebarkan SQ model 
ZM, tapi mengembangkan kecerdasan ideologis (ideological intelligence) 
berbasis Islam ke tengah-tengah umat.

Dengan kecerdasan ideologis berbasis Islam umat akan memiliki kecerdasan 
menyerap segala problem kehidupan dan menemukan akar permasalahnya. Akar 
masalah itu terletak pada absennya ideologi Islam dan diterapkannya 
kapitalisme di dunia. Maka dari itu, menciptakan perubahan di dunia 
dimulai dengan mengganti kapitalisme, bukan memodifikasinya, dan 
mengembalikan kehidupan Islam.

Kecerdasan ideologis berbasis Islam juga mendorong semangat menawarkan 
ideologi Islam sebagai alternatif satu-satunya. Konsep yang lahir dari 
ideologi Islam seperti sistem ekonomi dan keuangan, sistem politik dan 
pemerintahan, sistem pidana dan perundangan dan lain sebagainya akan 
dipasarkan secara cerdas ke berbagai kalangan. Kecanggihan konsep Islam 
musti diartikulasikan bersamaan dengan kegagalan kapitalisme. Ini 
dilakukan untuk menambah keyakinan umat akan keunggulan konsep yang mereka 
miliki. Bila dilakukan dengan cerdas maka isu penegakan ideologi Islam, 
sebagai kewajiban Ilahi sekaligus pilihan rasional, akan menjadi opini dan 
kesadaran publik. Untuk meraih ini semua, maka kecerdasan ideologis 
berbasis Islam harus dibumikan secara massif. Proses sosial engineering 
yang canggih harus dimainkan. Model dakwah Rasul dan para sahabat yang 
mengambil jalan intelektual, percaya diri, terorganisir, tanpa keekrasan 
dan menggandeng banyak kalangan merupakan pilihan terbaik dan harus ditiru 
serta dijalankan. Insya Allah bila ini dilakukan dengan amanah dan 
kesungguhan, kecerdasan ideologis berbasis Islam akan menular ke tubuh 
umat, sehingga pergantian ideologi kapitalis dan kembalinya kehidupan 
Islam akan menjadi kenyataan. Semoga Allah SWT memberi pertolongan atas 
cita-cita ini. Wallahu álam.

(source from my blog: 
http://nopriadi.multiply.com/journal/item/5/Kecerdasaan_Spritual_vs_Kecerdasan_Ideologis

Dari milis MU ...

----Email Diteruskan----

Dari: sultanba...@yahoo.co.id
Kepada: mediau...@yahoogroups.com
Kepada: mediau...@yahoogroups.com
Email Keluar: Sab, 14 Agt 2010 13:44 WIB
Judul: [mediaumat] Kecerdasaan Spritual vs Kecerdasan Ideologis (Sekuler vs Islam)

 

Kecerdasaan Spritual vs Kecerdasan Ideologis (Sekuler vs Islam)

Oleh: Pak Dos

Dalam bidang pengembangan managemen, SDM, organisasi, bisnis, psikologi dan kajian self-help kita mengenal istilah SQ atau kecerdasan spritual. Istilah ini muncul melengkapi dua jenis kecerdasan sebelumnya, yaitu kecerdasan rasional (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ). Bila IQ berbicara tentang 'apa yang saya pikir'dan EQ mengupas 'apa yang saya rasakan', maka SQ membahas 'siapa saya'.

Istilah SQ menjadi populer melalui buku SQ: Spritual Quotient,The Ultimate Intelligence (London,2000) karya Danah Zohar dan Ian Marshall (ZM), masing-masing dari Harvard University dan Oxford University. SQ diklaim memiliki dasar dan bukti ilmiah. Pakar neurosains pada tahun 1990-an menemukan adanya "Titik Tuhan" atau God Spot di dalam otak. Titik Tuhan ini adalah sekumpulan jaringan saraf yang terletak di daerah lobus temporal otak, bagian yang terletak di balik pelipis. Dari eksperimen yang menggunakan sensor magnetis ditemukan adanya korelasi antara aktivitas berpikir tentang hal sakral seperti kedamaian, cinta, kesatuan, Tuhan dengan aktivitas magnet pada lobus temporal otak. Penemuan ini tidak sekedar berkontribusi pada bidang saraf dan otak, namun menjadi kajian dan perbincangan menarik untuk bidang sosial, psikologi, managemen, bisnis, agama dan juga ideologi.

Dalam tulisan ini akan dibahas 3 hal, yaitu SQ tidak bebas nilai (aspek ontologi); penerapan SQ untuk kasus korporasi(aksiologi); dan mengembangkan kecerdasan alternative untuk perubahan peradaban, kecerdasan ideologis berbasis Islam.

SQ Tidak Bebas Nilai

Universalitas fenomena God Spot sebagai akibat aktifitas biologis dan psikologis bisa diterima, karena didasarkan pada eksperimen ilmiah. Namun tidak berarti rumusan dan pemanfaatan SQ menjadi bebas nilai. ZM menyatakan SQ adalah konsep universal yang tidak ada hubungannya dengan agama atau sistem keyakinan terorganisasi lainnya. Kecerdasan spritual adalah kecerdasan yang dipakai untuk merengkuh makna, nilai, tujuan terdalam dan motivasi tertingi manusia. Sehingga, dengan kecerdasan ini manusia dapat memutuskan untuk melakukan segala macam kebaikan, kebenaran, keindahan dan kasih sayang dalam hidup. Benarkah ?

Untuk itu mari dicermati rilis buku lain ZM, Spritual Capital: We Can Live by Using Our Rational, Emotional and Spritual Intelligence to Transform Ourselves and Corporate Culture (London,2004). Dalam buku ini ZM mengakui keyakinan dan keberpihakannya pada kapitalisme, walau disadari kapitalisme telah menjebak manusia dan dunia korporasi pada perburuan keuntungan kompetitif yang kejam. Namun, modal spritual (SC) adalah ikhtiar untuk menyuntikkan 'ruh kebaikan' pada ideologi kapitalis, yang memiliki prinsip the pursuit of profit for its own sake (pencarian keuntungan demi keuntungan itu sendiri).

Keberpihakan 'guru' spritual ZM pada kapitalisme menunjukkan posisinya sebagai penganut ideologi ini. Ideologi ini menjadi cara pandang ZM terhadap kehidupan dunia, yang selanjutnya menentukan cara mempersepsi dan cara mensikapi persoalan hidup. Implikasinya, rumusan ZM tentang spritualitas juga berdiri di atas cara pandang ini.

Sekarang kita lihat bagaimana definisi spritualitas dalam persfektif Islam. Sprituality dalam bahasa Arab disejajarkan dengan istilah rúhaniyah. Muhammad Husain Abdullah dalam Mafahim Islamiyah mendefinisikan rúhaniyah sebagai idrak shillah billahi (kesadaran hubungannya dengan Allah SWT). Hidup dengan spritualitas yang tinggi berarti sebuah kehidupan yang berada dalam kondisi iman yang baik (jawwu iman). Perasaan ini mendorong seorang muslim mengikatkan diri dengan segala perintah dan segala larangan Allah SWT dengan penuh ridho serta ketenangan (thumaninah). Singkatnya, muslim dengan tingkat spritualitas tinggi memiliki cara hidup Islam yang totalitas. Segala sesuatu diukur dari kesesuaian dengan aqidah dan syariat Islam.

Jadi, ada perbedaan jelas antara Islam dan ZM. Dalam Islam, spritualitas terkait dengan perintah dan larangan Allah SWT. Sementara dalam konsep ZM spritualitas terkait dengan makna dan nilai manusia terdalam yang diklaim bersifat universal. Ini berarti rumusan kecerdasan spritual tidak akan bebas nilai.

Titik Konflik dengan Islam: studi kasus Freeport

Bagaimana bila spritualitas menurut ZM dan Islam diaplikasikan pada kehidupan nyata? Misalkan saja dunia korporasi dengan contoh kasus PT Freeport. Perusahaan ini selama periode 10 tahun telah memproduksi 5,5 juta ton tembaga, 828 ton perak dan 533 ton emas di Papua. Jadi telah meraup keuntungan triliunan dolar dengan sedikit disisihkan untuk negara Indonesia. Sementara, perusahaan ini menyisakan problem ekologi dan sosial yang parah. Menurut lembaga audit Dames & Moore ada sekitar 3,2 miliar ton imbah yang dihasilkan selama beroperasi. Di Timika juga berkembang bisnis esek-esek sehingga tercatat sebagai kota dengan penderita HIV/AIDS terbanyak di Indonesia. Singkat kata, dengan profile eksistensi seperti ini Freeport membutuhkan suntikan spritualitas.

Bila ingin disuntikan spritualitas maka perusahaan ini harus dibimbing oleh visi dan nilai (vision and value led). Visi utamanya harus terlihat nyata dan mengilhami seluruh policy dan tindakan. Ia harus mengadopsi nilai-nilai seperti menyelamatkan kehidupan; meningkatkan kualitas kehidupan; memperbaiki taraf kesehatan, pendidikan, komunikasi; memenuhi kebutuhan dasar manusia;melestarikan ekologi global, dan memulihkan kesadaran akan keunggulan; kebanggaan dalam melayani dan seterusnya (Spritual Capital, London, 2004). Ini berarti Freeport harus 'banyak berkorban' untuk memenuhi value ini. Pertanyaan yang menggelitik, mungkinkah Freeport dengan ikhlas merubah tabiat dan mau mengurangi kenikmatan demi nilai luhur spritualitas?

Titik konflik dengan Islam sebenarnya bukan pada nilai-nilai yang terdengar universal tadi. No problem with those statements of value. Namun, masalahnya terletak pada eksistensi dan posisi korporasi dalam pengelolaan SDA yang terkategori sebagai kepemilikan umum (collective property). Apakah syariat membolehkan sebuah korporasi menguasai SDA yang seharusnya milik rakyat? Apakah korporasi boleh terlibat dalam pengelolaan SDA? Bagaimana bentuk keterlibatan yang masih diperbolehkan oleh syariat?

Bila masalah ini ditelusuri berdasar perspektif Islam, maka kontrak karya harus dibatalkan. Paradigma pengelolaan SDA milik umum berbasis swasta (corporate based management), seperti kasus Freeport, haram secara syariah. Terlebih banyak kecurangan dan berdampak pada kerusakan kelestarian lingkungan dan sosial. Perusahan yang baik masih bisa dilibatkan dalam pengelolaan negara (state based management) yang hasilnya diperuntukan sepenuhnya untuk rakyat. Keterlibatan ini sebatas sebagai tenaga jasa atau pekerja yang digaji dengan besaran tertentu, bukan sebagai pengelola. Lebih detil tentang pengelolaan SDA berdasar syariah bisa merujuk kitab Nidzhom Iqtisody karangan Syaikh Taqiyudin An-Nabhani.

Mengembangkan Kecerdasan Ideologis berbasis Islam

Sebenarnya ada impian besar dibalik gagasan modal spritual (SC). ZM menyuntikan spritualitas sebagai 'ruh kebaikan' pada kapitalisme untuk Menciptakan Perubahan Dunia. Artinya ZM ingin menjaga eksistensi ideologi kapitalis dengan cara menerima, memodifikasi dan menyebarkannya. Menurut hemat penulis, bagi seorang muslim impian untuk Menciptakan Perubahan Dunia adalah dengan Mengembalikan Kehidupan Islam, bukan dengan memodifikasi kapitalisme. Instrumennya bukan dengan menyebarkan SQ model ZM, tapi mengembangkan kecerdasan ideologis (ideological intelligence) berbasis Islam ke tengah-tengah umat.

Dengan kecerdasan ideologis berbasis Islam umat akan memiliki kecerdasan menyerap segala problem kehidupan dan menemukan akar permasalahnya. Akar masalah itu terletak pada absennya ideologi Islam dan diterapkannya kapitalisme di dunia. Maka dari itu, menciptakan perubahan di dunia dimulai dengan mengganti kapitalisme, bukan memodifikasinya, dan mengembalikan kehidupan Islam.

Kecerdasan ideologis berbasis Islam juga mendorong semangat menawarkan ideologi Islam sebagai alternatif satu-satunya. Konsep yang lahir dari ideologi Islam seperti sistem ekonomi dan keuangan, sistem politik dan pemerintahan, sistem pidana dan perundangan dan lain sebagainya akan dipasarkan secara cerdas ke berbagai kalangan. Kecanggihan konsep Islam musti diartikulasikan bersamaan dengan kegagalan kapitalisme. Ini dilakukan untuk menambah keyakinan umat akan keunggulan konsep yang mereka miliki. Bila dilakukan dengan cerdas maka isu penegakan ideologi Islam, sebagai kewajiban Ilahi sekaligus pilihan rasional, akan menjadi opini dan kesadaran publik. Untuk meraih ini semua, maka kecerdasan ideologis berbasis Islam harus dibumikan secara massif. Proses sosial engineering yang canggih harus dimainkan. Model dakwah Rasul dan para sahabat yang mengambil jalan intelektual, percaya diri, terorganisir, tanpa keekrasan dan menggandeng banyak kalangan merupakan pilihan terbaik dan harus ditiru serta dijalankan. Insya Allah bila ini dilakukan dengan amanah dan kesungguhan, kecerdasan ideologis berbasis Islam akan menular ke tubuh umat, sehingga pergantian ideologi kapitalis dan kembalinya kehidupan Islam akan menjadi kenyataan. Semoga Allah SWT memberi pertolongan atas cita-cita ini. Wallahu álam.

(source from my blog: http://nopriadi.multiply.com/journal/item/5/Kecerdasaan_Spritual_vs_Kecerdasan_Ideologis

Kirim email ke