Berbagai isu telah digelontorkan. Mulai dari politik lokal sampai ke ABS-SBK 
dan KKM. Salah satu yang menarik perhatian kami adalah dikotomi antara Ranah 
dan Rantau. Kebetulan kami juga mengelola forum SurauNet. Yang terbayang oleh 
kami adalah dikotomi dalam hal orientasi.

Ketika SurauNet boleh jadi berorientasi 'Dari Minangkabau untuk Nusantara' 
(atau mancanegara) maka RantauNet barangkali sebaliknya, "Dari Nusantara (atau 
mancanegara) untuk Minangkabau."

Konsep Adat Basandi Syarak dan Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) mulai ramai 
disorot. Baik dalam konteks kepentingan politik setempat, local wisdom, 
individual interest maupun kelompok hingga ke percaturan nasional. Terakhir, 
kekhawatiran itu juga muncul dalam rencana Kongres Kebudayaan Minangkabau (KKM) 
yang diwarnai pro dan kontra.

Sebagai Urang Minang yang mengelola sebuah forum yang outward looking, orang 
boleh berasumsi SurauNet acuh tak acuh dengan seabrek persoalan local di 
Sumatera Barat. Ini adalah salah satu dari beberapa alasan lain yang mendorong 
kami untuk bergabung kembali di forum RantauNet setelah `rehat' hampir 15 tahun 
lalu.

Apa yang terjadi di Ranah Minang saat ini persis seperti Bosnia Herzegovina 
sebelum perang saudara meletus pada 1993 yang diwarnai ethnic cleansing. Saat 
itu, seperti diakui juga oleh tokoh2 ulama di sana, warga Bosnia yang mayoritas 
Muslim ternyata tidak mencerminkan keseharian yang islami sama sekali.

Hubungan kekerabatan merenggang, Prinsip bertetangga `siapa lu siapa gue.' 
Koruptor yang kaya raya dihormati. Rohaniwan dan spiritualis yang hendak 
berlaku lurus dipandang rendah serta dipinggirkan. Kawan disikat, famili 
dimakan. Aurat terbuka di mana-mana. Sulit membedakan mana orang Bosnia dan 
mana etnis Rusia atau Serbia.

Tapi apa yang terjadi kemudian, hari-hari belakangan ini, musibah telah 
menyatukan hati mereka. Lembaga-lembaga kerohanian kembali mendapat dukungan. 
Ulama berbakat dipanggil pulang ke kampung halaman, bahkan ada yang dijadikan 
Grand Mufti, meski waktu itu sibuk mengajar di Malaysia.

Para ulama Bosnia hari ini adalah mereka yang dulu sempat mengecap pendidikan 
di Al Azhar, Malaysia. Inilah salah satu alasan kami merangkul adik-adik kita 
dari Minangkabau yang kini tengah menuntut ilmu di Al Azhar untuk bergabung di 
SurauNet.

"Pokoknya Anda ajaklah teman-teman di Al Azhar, terutama yang dari Sumatera 
Barat alias Urang Minang. Nanti setelah balik ke Tanah Air, silakan kalian 
kelola SurauNet rame-rame. Kami cukup mengawasi dari balik kelambu," kata kami 
kepada salah seorang generasi muda Minang yang tengah mengecap pendidikan di Al 
Azhar, yang kebetulan tengah mendalami ilmu tafsir.

Merekalah nantinya yang akan diharapkan mampu memberi wajah islami di Ranah 
Minang yang kini tengah dinodai oleh penyakit perilaku akut seperti paganistik 
materialistis, umbar aurat untuk seperak dua perak rupiah bertopengkan hajatan 
perkawinan serta judi dan mabuk-mabukan di lahan terbuka.

Sejak gempa 2009, kami di SurauNet sibuk mengkaji akar persoalan kenapa `Rahmat 
dan Perlindungan Allah SWT' telah tercabut dari akar tanah Minangkabau, kampung 
halaman kita bersama. Bahkan ada surau yang lumat ditelan Bumi dan hanya 
menyisakan pucuk atapnya saja. Usut punya usut, ternyata surau tersebut dipakai 
sebagai tempat judi.

Secara umum, kami menemukan bahwa pada dasarnya perilaku paganistik 
materialistis itu berakar dari `keputusasaan dalam urusan ekonomi di rumah 
tangga.' Sehingga banyak sanak saudara kita yang mulai menghalalkan segara cara 
untuk memenuhinya.

Alhasil, kami mulai mengumpulkan bahan tentang asal-usul bangsa dan kebudayaan 
Minangkabau itu sendiri.

Selama berabad-abad, telah terjadi pergulatan tiada henti antara kaum ulama 
dengan kaum pagan yang condong mempertahankan pola tingkah laku jahiliyah 
seperti berjudi di bulan Ramadhan, perzinahan terselubung, miras, kriminalitas 
dan berbagai penyimpangan akidah lainnya.

Tadinya kami hendak menuangkan semua rumusaan tersebut, berbekal 
pengalaman-pengalaman pribadi kami dalam beberapa tahun terakhir, ke dalam free 
ebook berjudul, "Kiat rumah tangga Muslim menahan badai krisis ekonomi rumah 
tangga."

Tapi kemudian, konsep itu kami rasa masih perlu disempurnakan lagi, sehingga 
digagaslah sebuah program terbuka bernama "Perang Paderi Abad-21' (PPA-21)

Ini bukanlah perang dalam arti sesungguhnya. Melainkan, sebuah program yang 
berisi kampanye-kampanye terbuka untuk kembali ke Kultur Surau, akar budaya 
asli orang Minangkabau. Kultur yang juga merupakan akar budaya islami berbagai 
kelompok masyarakat di negeri-negeri Nusantara dan mancanegara.

Karena itu, kami saat ini juga minta pengertian dunsanak bahwa istilah Rang 
Surau tidak lagi menjadi monopoli Urang Minang. Sama seperti pemberian gelar 
datuk kepada Sultan Yogya dll, maka kamipun memberi gelar Rang Surau kepada 
orang Jawa dll yang jelas-jelas dan terbukti concern dengan hal-hal yang 
bersifat edukasi dan kebudayaan Islam dalam satu kerangka besar bernama 
`koreksi peradaban.'

Selain itu, kami juga mengambil istilah Perang Paderi semata-mata mengingatkan 
bahwa dakwah dan tarbiyah islamiyah di Ranah Minang sebetulnya belumlah tuntas 
dan masih jauh dari harapan, sama seperti tempat-tempat lainnya di Nusantara 
pada umumnya.

Langkah-langkah awal pelaksanaan program tersebut sangat sederhana, yakni 
menyiapkan bahan-bahan yang akan dibagi-bagikan dan dipublikasikan ke berbagai 
lapisan masyarakat baik melalui lembaga formal maupun non-formal termasuk 
kader-kader partai (PKS, PAN, dll), LSM, pengurus surau dan masjid.

Informasi-informasi yang akan kami sebarkan barangkali bukan 100% solusi atas 
persoalan yang dihadapai masyarakat Sumbar saat ini, tapi setidaknya membuka 
wawasan akan peluang-peluang baru di depan mata, baik dari sudut ekonomi makro, 
investasi, perdagangan, agronomi dan industri.

Tapi yang paling berat dari kesemua itu adalah transformasi dari sistem 
pembagian harta warisan (pusako tinggi) matrilienal ke patrilineal sesuai 
ajaran Islam. Apakah sistem matrilineal tersebut masih relevan di masa sekarang 
saat dunia sudah sesak dihuni oleh manusia dan tujuan perantauanpun semakin 
terbatas bagi lelaki Minang.

Apapun jawabnya, kami yakin wacana ini sedikit banyak akan menimbulkan 
resistensi di Sumatera Barat terutama dari kalangan adat. Tapi kalau tidak 
dimulai, tidak akan membawa dampak perubahan apapun sama sekali.

Banyak suara-suara `ketidakpuasan' dari kaum intelek Minangkabau di Rantau yang 
mengeluh dan `taibo hati' karena merasa telah `kehilangan hak warisnya' di 
kampung-kampung di mana pranata ulayat masih terbilang kuat.

Karena PPA-21 ini merupakan program terbuka dan melibatkan orang banyak, maka 
kamipun membuka diri bagi dunsanak2 di RantauNet khususnya, dan Urang Minang 
secara umumnya untuk ikut terlibat baik secara materil maupun spirituil.

Tanpa perlu menunggu musibah yang lebih besar lagi agar hati kita baru bisa 
bersatu. "Tak akan berubah nasib kaum kalau tidak dari dalam diri mereka 
sendiri."

Komentar dan tanggapan silakan dilayangkan ke:
http://groups.google.com/group/suraunet



Kirim email ke