Very interesting reading.!!! Banyak yang bisa dipelajari dari sikap hidup Pak 
Boediono.

Bangsa ini akan sungguh beruntung jika memiliki lebih banyak Pemimpin seperti 
Boediono.

Di bawah ini cuplikan yang diambil dari tulisan Faisal Basri.

Regards, Jacob 


Adalah Pak Boed pula yang memulai tradisi tak memberikan “amplop” kalau 
berurusan dengan DPR. Tentang ini, saya dengar sendiri perintahnya kepada Mas 
Anggito.
 
Banyak lagi cerita lain yang saya dapatkan dari berbagai kalangan. Kemarin di 
bandara Soekarno Hatta setidaknya dua orang (pramugara dan staf ruang tunggu) 
bercerita pada saya pengalaman mengesankan mereka ketika bertemu Pak Boed. 
Seperti kebanyakan yang lain, kesan paling mendalam keduanya adalah sikap 
rendah hati dan kesederhanaannya.
 
Dua hari lalu saya dapat cerita lain dari pensiunan pejabat tinggi BI. Ia 
mengalami sendiri bagaimana Pak Boed memangkas berbagai fasilitas yang memang 
terkesan serba “wah.” Dengan tak banyak cingcong, ia mencoret banyak item di 
senarai fasilitas. Kalau tak salah, Pak Boed juga menolak mobil dinas baru BI 
sesuai standar yang berlaku sebelumnya. Entah apa yang terjadi, jangan-jangan 
mobil para deputi dan deputi senior lebh mewah dari mobil dinas gubernur.
 
Kalau mau tahu rumah pribadi Pak Boed di Jakarta, datang saja ke kawasan 
Mampang Prapatan, dekat Hotel Citra II. Kebetulan kantor kami, Pergerakan 
Indonesia, persis berbelakangan dengan rumah Pak Boed. Rumah itu tergolong 
sederhana. Bung Ikhsan pernah bercerita pada saya, ia menyaksikan sendiri kursi 
di rumah itu sudah banyak yang bolong dan lusuh




________________________________
From: Muttaqien yk <muttaqien...@gmail.com>
To: obrolan-bandar@yahoogroups.com
Sent: Thursday, May 14, 2009 8:23:27 PM
Subject: [ob] Tulisan Faisal Basri tentang Boediono, bener ga ya ?





Sisi lain Pak Boed yang saya kenal 
Oleh Faisal Basri - 14 Mei 2009 - Dibaca 93 Kali - 
Saya pertama kali mengenal Pak Boed pada akhir 1970-an lewat buku-bukunya yang 
enak dibaca, ringkas, dan padat. Pada akhir 1970-an. Kalau tak salah, 
judul-judul bukunya selalu dialawali dengan kata ”sinopsis,” ada Sinopsis 
Makroekonomi, Sinopsis Mikroekonomi, Sinopsis Ekonomi Moneter, dan Sinopsis 
Ekonomi Internasional.  Kita mendapatkan saripati ilmu ekonomi dari 
buku-bukunya yang mudah dicerna.
Pada suatu kesempatan, Pak Boed mengutarakan pada saya niatnya untuk merevisi 
buku-bukunya itu. Mungkin ia berniat untuk menulis lebih serius sehingga bisa 
menghasilkan buku teks yang lebih utuh. Kala itu saya menangkap keinginan kuat 
Pak Boed untuk kembali ke kampus dan menyisihkan waktu lebih banyak menulis 
buku. Karena itu, ia tak lagi berminat untuk kembali masuk ke pemerintahan 
setelah masa tugasnya selesai sebagai Menteri Keuangan di bawah pemerintihan 
Ibu Megawati.
Pak Boed dan Pak Djatun (Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Menko Perekonomian) bekerja 
keras memulihkan stabilitas ekonomi yang “gonjang-ganjing” di bawah 
pemerintahan Gus Dur. Hasilnya cukup mengesankan. Pertumbuhan ekonomi mengalami 
peningkatan terus menerus. Di tengah hingar bingar masa kampanye seperti dewasa 
ini, Ibu Mega ditinggalkan oleh wapresnya, dua menko, dan seorang menteri (Agum 
Gumelar). Ternyata perekonomian tak mengalami gangguan berarti. Kedua ekonom 
senior ini bekerja keras mengawal perekonomian. Hasilnya cukup menakjubkan, 
pertumbuhan ekonomi pada triwulan keempat 2004 mencapai 6,65 persen, tertinggi 
sejak krisis hingga sekarang.
Selama dua tahun pertama pemerintahan SBY-JK, perekonomian Indonesia mengalami 
kemunduran. Tatkala muncul gelagat Pak SBY hendak merombak kabinet, sejumlah 
kawan mengajak Pak Boed bertemu. Niat para kolega ini adalah membujuk Pak Boed 
agar mau kembali masuk ke pemerintahan seandainya Pak SBY memintanya. Agar 
lebih afdhol, kolega-kolega saya ini juga mengajak Ibu Boed. Mungkin di benak 
mereka, Ibu bisa turut luluh dengan pengharapan mereka. Akhirnya, Pak Boed 
menduduki jabatan Menko Perekonomian. Mungkin sahabat-sahabat saya itu masih 
terngiang-ngiang sinyal penolakan Pak Boed dengan selalu mengatakan bahwa ia 
sudah cukup tua dan sekarang giliran yang muda-muda untuk tampil. Memang, Pak 
Boed selalu memilih ekonom muda untuk mendampinginya: Mas Anggito, Bung Ikhsan, 
Bung Chatib Basri, Mas Bambang Susantono, dan banyak lagi. Semua mereka lebih 
atau jauh lebih muda dari saya.
Interaksi langsung  terjadi ketika Pak Boed menjadi salah seorang anggota Dewan 
Ekonomi Nasional (DEN). Saya ketika itu anggota Tim Asistensi Ekonomi Presiden 
(anggota lainnya adalah Pak Widjojo Nitisastro, Pak Alim Markus, dan Ibu Sri 
Mulyani Indrawati). Ibu Sri Mulyani memiliki jabatan rangkap (jadi bukan 
sekarang saja), selain sebagai anggota Tim Asistensi juga menjadi sekretaris 
DEN. Pak BOed tak pernah mau menonjolkan diri, walau ia sempat jadi menteri 
pada masa transisi.
Sikap rendah hati itulah yang paling membekas pada saya. Lebih banyak mendengar 
ketimbang bicara. Kalau ditanya yang “nyerempet-nyerempet ,” jawabannya cuma 
dengan tersenyum. Saya tak pernah dengar Pak Boed menjelek-jelekkan orang lain, 
bahkan sekedar mengkritik sekalipun.
Tak berarti bahwa Pak Boed tidak tegas. Seorang sahabat yang membantunya di 
kantor Menko Perekonomian bercerita pada saya ketegasan Pak Boed ketika hendak 
memutuskan nasib proyek monorel di Jakarta yang sampai sekarang 
terkatung-katung. Suatu waktu menjelang lebaran, Pak Boed dan sejumlah staf 
serta, kalau tak salah, Menteri Keuangan dipanggil Wapres. Sebelum meluncur 
bertemu Wapres, Pak Boed wanti-wanti kepada seluruh stafnya agar kukuh pada 
pendirian berdasarkan hasil kajian yang mereka telah buat. Pak Boed sempat 
bertanya kepada jajarannya, kira-kira begini: “Tak ada yang konflik 
kepentingan, kan? Ayo kita jalan, Bismillah …  Keesokan harinya, saya membaca 
di media massa bahwa sekeluarnya dari ruang pertemuan dengan Wapres, semua 
mereka berwajah “cemberut” tanpa komentar satu kata pun kepada wartawan.
Adalah Pak Boed pula yang memulai tradisi tak memberikan “amplop” kalau 
berurusan dengan DPR. Tentang ini, saya dengar sendiri perintahnya kepada Mas 
Anggito.
Ada dua lagi, setidaknya, pengalaman langsung saya berjumpa dengan Pak Boed. 
Pertama, satu pesawat dari Jakarta ke Yogyakarta tatkala Pak Boed masih Menteri 
Keuangan. Berbeda dengan pejabat pada umumnya, Pak Boed dijemput oleh Ibu. Dari 
kejauhan saya melihat Ibu menyetir sendiri mobil tua mereka.
Kedua, saya dan isteri sekali waktu bertemu Pak Boed dan Ibu di Supermarket 
dekat kediaman kami. Dengan santai, Pak Boed mendorong keranjang belanja. 
Rasanya, hampir semua orang di sana tak sadar bahwa si pendorong keranjang itu 
adalah seorang Menko.
Banyak lagi cerita lain yang saya dapatkan dari berbagai kalangan. Kemarin di 
bandara Soekarno Hatta setidaknya dua orang (pramugara dan staf ruang tunggu) 
bercerita pada saya pengalaman mengesankan mereka ketika bertemu Pak Boed. 
Seperti kebanyakan yang lain, kesan paling mendalam keduanya adalah sikap 
rendah hati dan kesederhanaannya.
Dua hari lalu saya dapat cerita lain dari pensiunan pejabat tinggi BI. Ia 
mengalami sendiri bagaimana Pak Boed memangkas berbagai fasilitas yang memang 
terkesan serba “wah.” Dengan tak banyak cingcong, ia mencoret banyak item di 
senarai fasilitas. Kalau tak salah, Pak Boed juga menolak mobil dinas baru BI 
sesuai standar yang berlaku sebelumnya. Entah apa yang terjadi, jangan-jangan 
mobil para deputi dan deputi senior lebh mewah dari mobil dinas gubernur.
Kalau mau tahu rumah pribadi Pak Boed di Jakarta, datang saja ke kawasan 
Mampang Prapatan, dekat Hotel Citra II. Kebetulan kantor kami, Pergerakan 
Indonesia, persis berbelakangan dengan rumah Pak Boed. Rumah itu tergolong 
sederhana. Bung Ikhsan pernah bercerita pada saya, ia menyaksikan sendiri kursi 
di rumah itu sudah banyak yang bolong dan lusuh.
Bagaimana sosok seperti itu dituduh sebagai antek-antek IMF, 
simbol Neoliberalism e yang bakal merugikan bangsa, dan segala tuduhan miring 
lainnya. Lain kesempatan kita bahas tentang sikap dan falsafah ekonomi Pak 
Boed. Kali ini saya hanya sanggup bercerita sisi lain dari sosok Pak Boed yang 
kian terasa langka di negeri ini.
Maju terus Pak Boed.



      

Kirim email ke