Resensi Buku:
Agar Agama Tak Lagi Jadi Sumber Bencana

Penulis: Damanhuri
Dimuat di Media Indonesia, tanggal 2004-01-11 00:00:00.0

SAMPAI hari ini barangkali tak ada seorang pun yang secara meyakinkan bisa mengingkari peran besar agama dalam perjalanan panjang sejarah kemanusiaan. Studi ekstensif yang dilakukan Karen Armstrong dalam The History of God-nya ihwal perjalanan berliku dan tanpa letih umat manusia selama empat milenium 'mencari' Tuhan, sekaligus --secara sengaja atau tidak-- saling bertukar perspektif dan tafsir antariman dalam upaya merajut pelbagai jalan menuju hadirat-Nya; setidaknya kian menegaskan betapa manusia pada dasarnya memang homo religious. Maka hampir sebuah upaya sia-sia belaka bila kita mencari acuan historis untuk merobohkan argumen bahwa agama merupakan sumber kekuatan paling dahsyat dan berpengaruh di muka bumi ini. Meskipun dalam satu tarikan napas yang sama kita pun mesti segera mengafirmasi kenyataan yang hampir tak terbantah: potensi mahadahsyat yang dikandungnya itu acap bertabrakan dengan misi luhur dan autentik agama yang didengungkan para pembawanya.

Pada satu sisi, kita menyaksikan kerja-kerja luhur kemanusiaan yang diinspirasikan dan bahkan ditopang sepenuhnya oleh tradisi keagamaan. Kisah perjuangan para nabi dalam membebaskan kaum tertindas (mustadha'fin), sebagaimana dinarasikan teks-teks suci keagamaan, maupun aktivitas kemanusiaan yang didedikasikan para tokoh keagamaan legendaris seperti Mahathma Ghandi dan Bunda Theresa, kian mengukuhkan kesaksian kita ihwal tampang konstruktif-transformatif agama. Namun, dalam waktu yang sama, kita pun dengan begitu gampang memergoki deretan kekejian atas nama agama: baku tikam antarumat Hindu-Islam di Kashmir, Kristen-Islam di Ambon, atau aksi-aksi kekerasan lainnya yang semakin merenggut ketenangan berskala global.

Dengan meluruskan telunjuk pada tragendi 11 September 2001 sebagai puncak dari eskalasi kekerasan bertopengkan agama itu, banyak orang yang kian dicekam fesimisme tentang peran agama di awal fajar milenium baru ini. Dan seolah mewakili kecemasan umat manusia akan potensi penyalahgunaan agama tersebut, buku karya Charles Kimball berjudul Kala Agama Jadi Bencana, ini memetakan secara apik beragam potensi dan asal-usul kekerasan yang dimiliki setiap agama, sembari tak lupa mengguratkan pelbagai kemungkinan perbaikan yang mendukung kembalinya khittah agama sebagai penebar cinta, kasih sayang dan perdamaian antarsesama.

***

Menurut Charles Kimball, untuk melihat tanda-tanda penyelewengan manusia atas agama yang menyebabkan bencana kemanusiaan itu, klaim kebenaran agama (truth claim) secara berlebihan yang diteriakkan pemeluk agama harus ditempatkan sebagai penyebab utama dan jadi titik awal kajian tentang praktik pengingkaran manusia atas kesucian agama.

Sebagai tanda pertama dari lima tanda penting penyimpangan atas agama, pemutlakan kebenaran tersebut disangga oleh pendekatan harfiah-literalis dalam memahami teks-teks kitab suci yang membuka celah bagi penyalahgunaannya. Literalisme itu pula yang mendorong kian menyeruaknya tafsir monoponik yang memonopoli kebenaran dan ujung-ujungnya jadi sarana justifikasi teologis bagi praktik pengafiran (takfir) serta penyingkiran siapa pun yang memiliki tafsir keagamaan yang berbeda.

Kalimat Shakespeare bahwa 'Bahkan iblis pun dapat mengutip ayat demi mencapai segala tujuannya' yang dirujuk Kimball dalam buku ini terasa begitu mengena. Padahal, seperti dinyatakan Robert Alter, pakar kajian Yahudi dan sastra perbandingan, dalam tradisi keagamaan Yahudi, misalnya, 'makna bukanlah milik teks, melainkan sesuatu yang harus selalu dikaji dan terus-menerus dicari dan didefinisikan ulang'.

Tanda kedua dari penyimpangan manusia atas agama adalah kepatuhan dan taklid buta kepada pemimpin agama dengan konsekuensi diringkusnya kebebasan intelektual serta absennya integritas individu menjadi sekadar pengabdian total pada otoritas pemimpin karismatik. Sekte-sekte dan kultus keagamaan ala "Aum Shinrikyo" (Jepang) atau "People Temple" (AS) menyodorkan manifestasinya yang paling tegas.

Kerinduan akan zaman ideal yang benar-benar tanpa cacat dan berbeda dari zaman yang tengah dilalui---sembari berupaya keras untuk merealisasikannya sepersis mungkin seperti apa yang dikabarkan kitab suci, kini dan di sini---adalah tanda selanjutnya bahwa agama telah didistorsi pemeluknya. Cita-cita tentang zaman ideal tersebut, menurut Kimball, biasanya bermetamorfosis dalam keinginan yang menggebu untuk menegakkan negara-agama (teokrasi).

Tanda keempat, agama bisa dianggap menyimpang dari misi awalnya bila melestarikan praktik 'tujuan menghalalkan segala cara'. Machiavelisme keagamaan ini di antaranya mewujud ketika upaya memancangkan identitas kelompok sendiri harus diikuti cara-cara yang mendehumanisasikan siapa pun yang berada di luar komunitasnya---peristiwa Holocaust yang memusnahkan sekitar enam juta Yahudi, misalnya. Dan diteriakkannya seruan perang suci sebagai tugas mulia yang wajib dilakukan adalah tanda kelima yang bisa kita rujuk tentang agama yang diselewengkan.

***

Dengan mendedah dan memetakan lima bentuk patologi keagamaan di atas, menurut Kimball, tak harus dimaknai telah habisnya unsur-unsur korektif dalam agama. Sebab, menurut Guru Besar Studi Agama di Universitas Wake Forest, AS tersebut, bila ditelusuri dengan jernih antidot bagi kekerasan dan ekstremisme keagamaan itu sebenarnya telah tersedia dalam semua tradisi keagamaan.

Maka dengan mengamini ajakan Kimball dalam buku ini untuk kembali kepada agama autentik yang merayakan iman plural, menampik terpenjara dalam kerangkeng doktrin skriptural yang statis; alih-alih dicekam rasa cemas tentang agama yang jadi sumber petaka, kita pun sebenarnya masih bisa berharap akan munculnya agama yang mengibarkan panji kemanusiaan universal.

Untuk menghalau tendensi koruptif dalam beragama dan melempangkan upaya terciptanya kedamaian serta persaudaraan antariman itu, kita jelas membutuhkan paradigma baru: 'cara menjalani kehidupan partikular di tengah pluralisme'. Sebab, seperti diungkapkan secara akurat dalam judul tulisan Abraham Heschel, 'No Religion is an Island', atau sepenggal kalimat Edward W Said, 'none is purely one thing today', saat ini rasa-rasanya hampir mendekati mustahil untuk bisa menolak kesalingtergantungan antaragama. Sama tak masuk akalnya mengangankan untuk bisa hidup dalam atribut identitas sosial-budaya yang monolitik.

Sumber: Mizan Online ____________________________________________________

Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting
------------------------------------------------------------
Tata Tertib Palanta RantauNet:
http://rantaunet.org/palanta-tatatertib
____________________________________________________

Kirim email ke