Minggu, 08 Mei 2005 Jawapost.
APA yang tidak bisa terjadi di negeri ini? Presiden ditipu raja gadungan atau dukun, bisa. Melihat gerhana matahari diharamkan, bisa. Mengimpor sampah, bisa. Mati tertimbun sampah, bisa. Mengekspor TKI, bisa. Ibu membunuh anak, bisa. Ayah atau guru mencabuli anak atau muridnya, bisa. Ustad jadi polisi, bisa. Preman menjadi hakim atau ustad, bisa. Polisi mendekengi bandar judi, bisa. Copet beberapa rupiah dibakar hidup-hidup, bisa. Koruptor miliaran rupiah bebas merdeka, bisa. Majelis ulama berjualan label dan ngurusi logo kaset, bisa. Pelawak jadi dai atau anggota DPR, bisa. Dai atau anggota DPR jadi pelawak, bisa. Wakil rakyat yang terhormat mewakili tawuran, bisa. Musyawarah untuk perpecahan, bisa. Politisi minta bantuan Tuhan untuk memenangkan partainya dalam pemilu, bisa. Jamaah yang hendak berpuasa Ramadan, minta bantuan pedagang-pedagang warung agar menutup warungnya di siang hari, bisa. Kiai berkelahi dengan politisi, bisa. Ustad bertengkar dengan pemusik, bisa. Alumni pesantren mendirikan sasana tinju, bisa. Mantan petinju mendirikan pesantren, bisa. Puluhan ribu orang meninggal dalam sekejap, bisa. Apalagi? Anda bisa memperpanjang daftar hal-hal ganjil, bahkan musykil, yang mungkin dan sudah pernah terjadi di negeri ini. Jadi masih herankah Anda jika ada yang punya odo-odo bersembahyang menggunakan bahasa negeri ini, negeri ganjil ini? Bangsa negeri ini agaknya memang perlu diruwat (baca: tobat). Banyak orang di negeri ini yang tak tahu diri, lupa diri, dan atau tidak tahu mengukur diri sendiri, umumnya gara-gara kepentingan sendiri yang terlalu tinggi. Ada yang tak punya ijazah sekolah, ingin menjadi pejabat formal. Ada yang hanya bermodalkan ingin dan dukungan kawan-kawan, mencalonkan diri menjadi kepala pemerintahan. Ada yang belum tamat ibtidaiyah sudah mengustadkan diri. Ada yang punya hafalan satu-dua ayat dan satu-dua hadis, sudah memubaligkan diri. Ada yang mengerti sedikit ilmu klenik, sudah mewalikan diri. Dan sebagainya, dan seterusnya. Boleh jadi ini merupakan sumber, paling tidak salah satu sumber kekacauan dalam pergaulan hidup kita bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Supaya tidak ngombro-ngombro, berlarut-larut, dan bertele-tele, kita ambil saja beberapa contoh, yaitu beberapa kasus yang lagi hangat dibicarakan. Pertama, kericuhan hampir di setiap kongres atau muktamar. Di sini jelas sekali kepentingan -masing-masing yang bertikai- terlalu tinggi dibanding penguasaan mereka terhadap makna demokrasi, politik, dan tujuan mulia berdemokrasi dan berpolitik. Kepentingan sesaat membuat mereka lupa akan kepentingan yang lebih besar dan kekal. Contoh lain yang sepele dan dibesar-besarkan adalah soal logo grup musik Dewa yang melibatkan beberapa ustad, bahkan majelis ulama. Di sini tampak sekali masing-masing terlalu tinggi menghargai diri mereka. Masing-masing merasa sudah -dan mungkin paling- dekat dengan Allah karena merasa memiliki kelebihan: seni dan ilmu fikih. Yang paling lucu mungkin orang Malang yang malang itu. Orang ’nasionalis’ yang mengimami sembahyang dengan diterjemahkan ke dalam bahasa nasional. Imam ini terlalu tinggi mengukur dirinya, gara-gara dipanggil ustad dan ada yang mau menjadi makmumnya. Reaksi terhadap perilakunya ini pun melebihi ukuran. Dengan semangat membela agama, orang-orang pun ’menyerbu’ tempat tinggalnya. Padahal, dia -paling tidak menurut saya- seperti banyak orang yang lain, hanyalah orang awam yang kemaruk, terlalu bersemangat, untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya. Seandainya dia -dan banyak pemeluk agama lainnya di negeri ini- mau agak berendah diri, terus belajar tentang Allah dan aturan-aturannya, tentu ceritanya akan lain. Ada dhawuh: "Seseorang akan tetap pintar selama masih mau terus belajar. Sekali orang berhenti belajar karena merasa sudah pintar, mulailah dia bodoh." Kata Rasulullah: Maa halaka umru-un ’arafa qadarahu, tidak akan celaka orang yang tahu ukuran dirinya. Dan ternyata, orang yang tidak tahu mengukur diri -apalagi yang tak tahu diri atau lupa diri- tidak hanya merugikan dirinya sendiri, tapi lebih dari itu dapat merepotkan orang lain. Kalau orang lain itu banyak dan kerepotan itu mengganggu pergaulan hidup bermasyarakat, lalu bagaimana mengatasinya? Setiap masyarakat - kecuali mungkin masyarakat hutan- tentu mempunyai aturan-aturan yang disepakati dan dipercayai untuk mengatur ketertiban hidup dan pergaulan hidup mereka. Dalam kaitan berbangsa dan bernegara, ada undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya. Dalam kaitan berorganisasi ada AD/ART. Dalam hubungan antara hamba dengan Tuhan, ada kitab suci dan sunah nabi. Nah, tinggal masyarakat itu sendiri; mau tidak mengikuti, mematuhi, dan menegakkan aturan-aturan tersebut dan tidak mendahulukan nafsu maupun kepentingan sendiri? *** (Esai yang tersebut diatas ditulis oleh KH Mustopa Bisri Pengaruh Pondok Pesantren Roudathul Tholibin Rembang ) --------------------------------- Yahoo! Mail Mobile Take Yahoo! Mail with you! Check email on your mobile phone. _____________________________________________________ Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting ------------------------------------------------------------ Tata Tertib Palanta RantauNet: http://rantaunet.org/palanta-tatatertib ____________________________________________________