MAJALAH TEMPO, Edisi. 20/XXXIV/11 - 17 Juli 2005
Wawancara
Muhammadiyah itu Tenda Besar
Di bawah kepemimpinan Ahmad Syafi'i Ma'arif, "warna" Muhammadiyah
sebagai gerakan Islam puritan yang kaku mulai pudar. Organisasi Islam
yang disebut punya 30 juta pengikut itu kini aktif dalam gerakan
nasional memerangi penyakit sosial dan moral bersama Nahdlatul Ulama,
kelompok ulama yang kerap berbeda paham dalam soal cara beribadah dengan
Muhammadiyah. Pasangan Syafi'i Ma'arif bersama Hasyim Muzadi malah
tampak kompak sekali dalam menggelorakan kampanye nasional antikorupsi.
Ia juga keras membersihkan tubuh organisasi yang dipimpinnya dari
penyakit moral itu. Pimpinan Muhammadiyah, kata dia, harus berkarakter
kuat dan tidak mudah goyah oleh godaan ekonomi dan politik.
Godaan ekonomi memang menguat setelah Muhammadiyah berhasil mendirikan
belasan ribu sekolah dari TK sampai SMU serta ratusan universitas dan
ratusan rumah sakit, panti asuhan, dan tempat ibadah yang tersebar di
penjuru Nusantara. Memang, dalam kondisi pengembangan aset luar biasa
seperti itulah Ahmad Syafi'i Ma'arif memimpin organisasi Islam yang
didirikan oleh KH Ahmad Dahlan ini.
Mungkin karena kesibukan tersebut, Muhammadiyah lantas ditengarai kurang
berbunyi dalam pengembangan khazanah pemikiran keislaman. Ditambah lagi,
nuansa keberpihakan terhadap partai politik tertentu pada masa reformasi
membuat Muhammadiyah dituding telah bergeser menjadi wahana kegiatan
politik praktis.
Tudingan-tudingan itu dibantah Syafi'i Ma'arif. Ia merujuk pada fakta
bahwa organisasi yang hampir berumur setengah abad itu tidak sepi
pertentangan pemikiran. Terutama antara sejumlah aktivis Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah, Ikatan Remaja Muhammadiyah, dan Pemuda
Muhammadiyah yang dituduh mulai "berdamai" dengan paham Islam liberal,
melawan kelompok Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus Muhammadiyah, yang
dikenal lebih berpihak pada paham Islam fundamentalis. Perdebatan antara
kelompok liberal dalam JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah) dan
PSAP (Pusat Studi Agama dan Peradaban) dengan para penganut mazhab
Tabligh yang kerap berkumpul di lantai 3 markas Muhammadiyah ini memang
kerap seru.
Apakah pergulatan pemikiran ini akan terus berlangsung setelah Ahmad
Syafi'i Ma'arif resmi menyerahkan tongkat kepemimpinan kepada Din
Syamsuddin dalam Muktamar ke-45 di Malang, Jawa Timur, pekan lalu?
Intelektual muslim yang pernah diundang Presiden Amerika George Walker
Bush berdialog itu berharap demikian. Setidaknya kesan itu yang muncul
ketika Syaiful Amin dan Heru C. Nugroho dari Tempo mewawancarai Syafi'i
Ma'arif di kediamannya di Yogyakarta, sebelum berangkat ke Malang
menghadiri Muktamar Muhammadiyah, dua pekan lalu. Perbincangan yang
kemudian dilanjutkan oleh Bibin Bintariadi, wartawan Tempo di Malang, di
sela-sela acara muktamar.
Berikut petikannya:
Apa perbedaan muktamar ke-45 kali ini dengan sebelumnya?
Muktamar dulu tidak ada perubahan AD/ART, sekarang ada. Kali ini program
disesuaikan dengan perubahan zaman. Intinya, Muhammadiyah ingin
revitalisasi di semua sektor, termasuk soal pemikiran. Hal itu tidak mudah.
Selama ini Muhammadiyah agak sedikit inward looking. Jadi, (urusan)
keluar itu kurang. Sejak Amien Rais memimpin Muhammadiyah, organisasi
ini sudah masuk arus besar bangsa. Itu jasa Amien, kemudian saya
teruskan. Amien ke politik sedangkan saya mencoba lebih banyak ke
kultural, tapi juga ke tengah-tengah arus bangsa.
Dalam muktamar yang lalu, kami juga menjawab kritik soal Muhammadiyah
mundur secara intelektual dengan menampung Majelis Tarjih. Majelis yang
semula hanya Majelis Tarjih diganti nama menjadi Majelis Tarjih dan
Pemikiran Islam.
Akhir-akhir ini Muhammadiyah kurang laku dijual, padahal dikenal sebagai
organisasi pembaruan. Mengapa?
Ya, mungkin tidak laku keras seperti ketika dia pertama kali muncul.
Sebab sudah banyak orang yang meniru Muhammadiyah.
Karena muncul kelompok Islam progresif yang mengusung perubahan?
Itu relatif. Apa parameter progresif itu? Muhammadi-yah punya Jaringan
Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM). Dan aktivitas anak-anak muda itu
luar biasa walaupun banyak pertentangan dari dalam. Mahasiswa
Muhammadiyah memang pernah mandul lama sekali, sekitar 20 tahun. Bahkan
pernah terjadi dualisme Ketua Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM).
Sekarang sudah mulai dibenahi dan diatasi.
Soal tudingan khazanah keislaman di Muhammadiyah tidak berkembang?
Itu jelas terbantahkan. Khazanah keislaman itu sudah berjalan dengan
kebangkitan anak-anak muda yang kreatif. Tiap minggu nama mereka muncul
di berbagai media. Dari sisi pemikiran, juga muncul potensi yang menurut
saya punya masa depan yang bagus sekali. Walaupun oleh sebagian orang di
dalam dinilai terlalu jauh, terlalu liberal, bagi saya, biar sajalah.
Kalau memang ada persoalan begitu, mari kita ajak duduk, mari
berdiskusi. Kalau perlu mari kita tukar bacaan, supaya kita itu jangan
sempit (pandangan).
Posisi Pengurus Pusat Muhammadiyah terhadap perbedaan pemikiran itu?
Ya, melindungi mereka semua. PP Muhammadiyah itu kan tenda besar. Jadi
selama mereka masih beriman kepada Allah, agama, dan Rasul, masih salat
dan puasa, kita lindungi. Sederhana kok parameternya. Bagi saya itu
enggak ada masalah. Dari segi itu, Muhammadiyah itu sangat liberal,
tidak cepat menghukum walaupun ada sebagian orang Muhammadiyah yang suka
menghukum (Syafi'i tergelak).
Biar saja mereka berkembang. Hanya mereka memang perlu meningkatkan
komunikasi terhadap perbedaan. Duduk bersama didiskusikan. Kalau perlu,
bertukar bacaan saja supaya enak. Gitu lho. Itu yang barangkali kurang
dilakukan.
Pertentangan itu bukannya bisa menjadi ancaman bagi Muhammadiyah?
Kami punya kitab suci, kok. Selama kitab suci itu tidak dilangkahi,
tidak ditolak, nggak ada masalah. Bahkan itu menambah dinamika kita.
Ada kesan Muhammadiyah hanya berkutat di sektor pendidikan dan kesehatan
dalam kurun terakhir ini....
Sepintas lalu memang begitu, tapi sesungguhnya tidak. Soal perkembangan
pemikiran kan juga sudah saya sampaikan. Munculnya kebangkitan anak-anak
muda di Muhammadiyah bisa menjadi tanda. Betul, soal pendidikan,
kesehatan, santunan sosial kemanusiaan, memang menjadi trade mark kami
sejak dulu. Ekonomi juga, meskipun belum berhasil.
Koreksi Anda terhadap Muhammadiyah?
Muhammadiyah ini bergerak lambat. Sudah kabotan sungu (keberatan
tanduk). Sekolahnya saja 14 ribu buah, belum lagi perguruan tinggi dan
rumah sakit. Itu bukan tanpa ada masalah. Dari sisi SDM, ada peningkatan
kualitas. Hanya, orang Muhammadiyah kalau sudah masuk politik menjadi
bingung karena merasa bukan dunianya. Ini kekurangan Muhammadiyah,
sekaligus menjadi kekuatan.
Dalam acuan berpolitik, Muhammadiyah dinilai menjadi onderbouw Partai
Amanat Nasional, apa benar?
Muhammadiyah tak bisa menjadi onderbouw PAN. Itu kan tafsiran masyarakat
saja. Acuan pokoknya adalah hasil muktamar tahun 1971 di Ujung Pandang,
yang menyatakan muhammadiyah menjaga jarak yang sama dengan semua partai
politik. Dulu memang (pernah) menjadi anggota Masyumi, tapi menjadi
anggota istimewa.
Kasus PAN memang agak istimewa karena dibentuk melalui tanwir di
Semarang dan tokohnya Amien Rais, mantan Ketua PP Muhammadiyah. Tapi
Muhammadiyah, dan pengambilan keputusan di dalamnya, tetap berjarak
dengan semua kekuatan politik. Soal aspirasi politik kami bebaskan,
asalkan jangan mengacau dengan membawa misi Muhammadiyah. Mereka harus
tetap membawa misi moral, misi akhlak. Itu pesan utama kami, walaupun
kadang ada yang melanggar juga.
Walau prakteknya banyak warga Muhammadiyah menjadi kader PAN?
Itu karena figur Amien Rais. Di Muhammadiyah, Amien Rais kan berakar
dalam. Jadi memang tak bisa dipisahkan. Tapi secara organisatoris formal
tetap tegas-tegas harus dibedakan.
Dalam pemilu presiden lalu, Muhammadiyah resmi mendukung Amien?
Itu kasus khusus. Dan itu melalui musyawarah, melalui rapat pengurus
pusat yang diperluas dengan para ketua wilayah Muhammadiyah. Memang
banyak kritik, Muhammadiyah dinilai mencampuri urusan politik praktis.
Ada benarnya. Tapi itu kasus khusus dan harus disikapi secara khusus
karena tokohnya Amien Rais sesuai dengan keputusan tanwir di Denpasar.
Ini memang betul-betul pengalaman pahit sekalipun berharga.
Pahit maksudnya?
Pahit karena Amien kalah.
Tapi masih bisa ditebus pada tahun 2009?
Kita lihat nanti. Soal beginian tidak bisa dikatakan sekarang. Politik
itu kan bergulir terus, perubahan terus terjadi.
Ada desakan internal agar Muhammadiyah menjadi partai, pendapat Anda?
Ah, itu desakan ingusan saja. Sudah kami tanggapi sewaktu ada acara di
Bali, beberapa waktu lalu. Jika membuat Partai Muhammadiyah dipastikan
tidak akan laku.
Anda merasa berhasil memimpin Muhammadiyah?
Biarlah orang lain yang menilai. Jangan saya yang menilai. Tapi saya
rasa dalam hal kerja sama lintas agama, lintas kultural, lintas etnis,
banyak kemajuan. Begitu juga hubungan dengan dunia luar yang sudah
dirintis oleh Amien Rais.
Apa yang masih menjadi ganjalan Anda selama memimpin Muhammadiyah?
Gerakan antikorupsi yang kami galang baru sampai tahap mendorong aparat
bertindak. Kami tak bisa berbuat apa-apa, paling-paling mendirikan pos
komando di daerah dan melaporkan ke aparat. Tapi, kalau aparatnya tak
bertindak, kami tak bisa berbuat apa-apa, kecuali berteriak. Sekarang
ini baru kasus korupsi kelas teri saja yang ditangani, tapi skandal BLBI
yang triliunan rupiah belum tersentuh. Aparat kurang tegas.
Koruptor memang harus terus diburu. Namun, repotnya, yang memburu dan
yang diburu justru bekerja sama. Ini masalah mental. Soal korupsi di
Departemen Agama, misalnya, saya sudah lama berteriak. Ini kan berat
karena Departemen (Agama) yang seharusnya menjadi penga-wal moral
bangsa. Harusnya memberi suluh dan bukan jadi bagian dari kerusakan
bangsa ini. Jadi, biar saja usut yang sekarang ini sampai tuntas. Nanti
kita lihat. Menurut saya, Menteri Agama Saudara Basyuni cukup berani
mengizinkan penyidik mengusut kasus itu. Saya salut.
Bagaimana dengan soal Bank Persyarikatan?
Sekarang sedang dalam proses penyelesaian. Bantuan Wakil Presiden Jusuf
Kalla memang besar sekali terhadap Bank Persyarikatan. Jam-jam
terakhir ini saya belum tahu perkembangannya. Tapi dua minggu lalu, kami
sudah bertemu lagi agar komitmen investor itu lebih nyata. Mudah-mudahan
cepat selesai.
Ini memang sebuah kesalahan. Saya kan tidak mengerti soal bank, jadi
saya percayakan kepada orang yang mengerti. Di situ kelemahan saya, kok
bisa percaya begitu saja. Ini juga kebahlulan (kebodohan) kami juga.
Bahlul itu lebih dari bodoh. Jadi kepalanya (orang-orang) bahlul itu
saya, karena saya komandannya.
Soal Bank Persyarikatan itu, apa materi pertanggungjawaban Anda dalam
muktamar?
Ya. Kita jelaskan saja faktanya. Semuanya akan saya sampaikan.
Bagaimana Anda melihat hubungan NU-Muhammadiyah saat ini?
Masih manis meskipun saat pemilu lalu, ketika Hasyim Muzadi menjadi
calon wakil presiden, agak sedikit terganggu. Terutama soal hubungan
lintas agama itu, karena tokohnya kan Hasyim Muzadi yang dari kalangan
NU. Tapi hubungan pribadi tetap bagus. Sekarang mulai rekat
kembali. Menurut saya, kalau ini dipandang baik oleh pemimpin
Muhammadiyah yang akan datang, teruskan itu.
Menurut Anda, seperti apa idealnya pemimpin Muhammadiyah mendatang?
Jelas yang bisa membawa misi Muhammadiyah ini menjadi tenda bangsa.
Ibaratnya, musuh satu terlalu banyak, kawan seribu terlalu sedikit. Dari
segi dakwah, teman itu harus diperbanyak dan pendekatan yang dilakukan
adalah lebih banyak merangkul dan mempersatukan, bukan memecah. Karena
itu, wawasan kebangsaannya harus kuat, di samping punya radius pergaulan
yang luas dengan semua kelompok. Soal intelektual dan ilmu agama juga
tetap perlu dipertimbangkan. Namun, karena sifat kepemimpinan di
Muhammadiyah itu kolektif, itu bisa didukung satu dengan lainnya.
Idealnya, Muhammadiyah dipimpin seorang intelektual tapi juga seorang kiai.
Siapa kira-kira yang memenuhi semua kriteria tadi?
Bisa dicari. Tapi, karena posisi saya masih Ketua PP, saya tak akan
menyebut nama (wawancara dilakukan sebelum Ketua PP Muhammadiyah
terpilih—Red.). Dari segi etika saya tidak boleh menyebut nama. Nanti
dikira memihak.
Berbagai kalangan masih mencalonkan Anda. Mengapa ditolak?
Sebagai orang yang mengkritik Pak Harto karena berkuasa terlalu lama,
saya harus konsisten. Saya sudah lama di PP Muhammadiyah, sudah 15
tahun. Selain itu, umur saya juga sudah 70 tahun 28 hari. Karena itu,
sebaiknya peluang itu diberikan kepada yang lainnya.
Banyak kalangan berharap Muhammadiyah dipimpin tokoh moderat dan
independen seperti Anda. Kalau Anda menolak, siapa paling tepat?
Janganlah pesimistis. Muktamar bukan memilih figur seseorang, tapi
memilih 13 orang. Meski dari 13 orang itu ada yang mendapat suara
terbanyak, tidak mutlak harus menjadi ketua. Yang akan menentukan adalah
rapat 13 orang itu. Kalau mengalami kesulitan, mungkin akan melakukan
pemungutan suara. Dan itu sah di Muhammadiyah. Untuk menentukan tempat
muktamar sekarang ini pun melalui voting. Demokrasi di Muhammadiyah itu
sudah hidup sekali.
Setelah tidak duduk sebagai Ketua PP Muhammadiyah?
Terserah putusan muktamar. Sekarang ada lembaga penasihat. Kalau 13
orang terpilih nanti mau menempatkan saya di posisi penasihat, mungkin
saja. Yang jelas saya tidak akan melamar. Tapi, kalau diminta, dan saya
anggap perlu, mungkin saya pertimbangkan (Ketua PP
Muhammadiyah terpilih, Din Syamsuddin, sudah menyatakan meminta Syafi'i
Ma'arif duduk di dewan penasihat Muhammadiyah.—Red).
Sejak kapan ada lembaga penasihat?
Baru diputuskan dalam perubahan anggaran rumah tangga sekarang ini.
Mudah-mudahan diterima muktamirin. Dulu, periode sebelum A.R. Fakhruddin
memang ada. Tapi mati lagi. Nah, kita lihat saja nanti. Apakah saya juga
perlu masuk ke lembaga penasihat atau tidak. Kalau pengurus terpilih
nanti, kira-kira bisa dinasihati, mungkin saya masuk. Tapi, kalau
kira-kira orang ini tidak bisa dinasihati, untuk apa saya masuk?
Sebagai tokoh Islam, Anda sering didekati pihak Amerika Serikat.
Bagaimana dunia Barat memandang wajah Islam dikaitkan dengan munculnya
kasus terorisme?
Mereka hanya melihat kelompok kecil yang radikal, sedangkan yang
mayoritas tidak dilihat. Mereka yang radikal, menurut saya, adalah
kelompok yang tak mampu berurusan dengan realitas. Mereka gerakan putus
asa karena tak mampu berhadapan dengan realitas. Modernitas yang serba
sekuler dan ateistik bagi mereka bisa menjadi ancaman besar. Mereka
enggak bisa menghadapi kecuali dengan cara seperti itu
(dengan teror bom). Jadi, membajak dalil Tuhan untuk kepentingan mereka.
Ini sangat politis. Dan itu tak pernah efektif dan malah bunuh diri.
Dengan bom-bom seperti itu apa bisa mengalahkan Amerika meskipun negara
ini sebenarnya kurang ajar? Musuh pakai bazoka kok dilawan dengan pistol
air, bagaimana bisa menang? Karena itu, orang Islam harus cerdas. Jadi,
faktor pendidikan sangat menentukan hari depan umat Islam.
Apa yang harus dilakukan terhadap kelompok ini?
Berdialog saja dengan mereka, meskipun sulit, soalnya mereka punya
parameter sendiri. Tapi itu tetap harus dilakukan dan harus rutin.
Mereka yang terbukti melakukan aksi kekerasan harus dihadapi secara hukum.
Apa yang harus dilakukan Muhammadiyah ke depan?
Memperbaiki moral bangsa ini. Perbaikan menyeluruh terhadap semua
dimensi kehidupan bangsa ini. Kadang-kadang kita memang harus memilih,
tapi sikap formal kita harus tetap di atas semua golongan. n
Ahmad Syafi'i Ma'arif
Lahir: 31 Mei 1935
Tempat: Sampurkudus, Kabupaten Sawahlunto, Sijunjung, Sumatera Barat
Jabatan: Ketua PP Muhammadiyah 2000-2005
Pendidikan:
Sekolah Rakyat Ibtidaiyah, Sumpurkudus l
Sekolah Mualimin di Lintau, Sumatera Barat l
Madrasah Mualimin di Yogyakarta l
Fakultas Hukum Universitas Cokroaminoto, Yogyakarta l
Jurusan Sejarah IKIP Yogyakartal Master Ohio State University, Amerika
Serikat
Doktor Chicago University, Amerika Serikat
Website http://www.rantaunet.org
_____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke:
http://rantaunet.org/palanta-setting
------------------------------------------------------------
Tata Tertib Palanta RantauNet:
http://rantaunet.org/palanta-tatatertib
____________________________________________________