Bustanuddin Agus, guru besar Sosiologi Agama Universitas Andalas, Padang.

MEDIA INDONESIA, Jum'at, 05 Agustus 2005

KEKERASAN yang mengatasnamakan agama kembali terjadi. Penyerbuan dan aksi perusakan oleh massa terhadap Kampus Al-Mubarok, Parung, Bogor, beberapa waktu lalu kembali meninggalkan noda. Massa menyerbu markas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), suatu kelompok yang mereka nilai mengajarkan aliran sesat.

Banyak pihak mengecam aksi kekerasan dalam menyelesaikan masalah perbedaan keyakinan. Kecaman itu tidak hanya didasarkan pada pandangan umum tentang cinta dan perdamaian sejati, tetapi juga dari segi ajaran Islam sendiri. Bahkan ditinjau lebih jauh, tampilnya kekerasan dalam menyelesaikan masalah perbedaan keyakinan, bertolak belakang dengan ajaran Nabi Muhammad SAW.

Jika memandang Islam dari beberapa sisi, seperti dari sisi rahman dan rahim (sebagai sifat Allah yang terbanyak diungkap dalam Alquran), sisi hikmah dan pelajaran yang baik (bil hikmah wal mau'izhah hasanah), maupun segi ajaran atau teologisnya, maka tindakan kekerasan terhadap JAI perlu dikritisi. Namun dalam konteks ini, pertanyaan besarnya adalah mengapa kekerasan atas nama agama terus terjadi?

Bagi massa yang menyerbu, penyerangan terhadap jemaat Ahmadiyah sudah menjadi keharusan. Apalagi ada fatwa MUI yang menilai Ahmadiyah aliran sesat dan tidak diakui sebagai ajaran Islam. Dalam pandangan Islam, jika seorang muslim kemudian menganut ajaran sesat atau keluar dari Islam, maka ia menjadi murtad atau bughah (pemberontak). Dalam perspektif fikih, jika tidak bertobat dalam tiga hari, orang murtad tadi harus dihukum bunuh atau diperangi.

Dari pemberitaan media massa terbaca, sejak awal massa telah menuntut kegiatan jemaat Ahmadiyah di Parung dibubarkan. Pembubaran aktivitas Ahmadiyah, menurut mereka, adalah tuntutan yang islami sekali. Apalagi, dari segi fikih klasik dan struktur masyarakat Islam sendiri, pandangan dan tindakan itu dinilai tidak ada salahnya.

Mereka melihat pemerintah tidak tegas terhadap Ahmadiyah, walaupun MUI telah memberi fatwa Ahmadiyah sebagai aliran sesat dan menyesatkan. Tadinya mereka berharap, pemerintah membubarkan kegiatan Ahmadiyah, sebagai tindak lanjut fatwa MUI. Jika tidak, massa dapat mengambil tindakan sendiri.

Tetapi, jika ditinjau lebih dalam lagi, sesungguhnya ada kekeliruan mendasar dalam cara pandang mereka menghadapi realitas perbedaan keyakinan. Aksi kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah, selain kontroversial juga blunder. Walaupun atas nama menegakkan keyakinan, tindakan kekerasan itu bisa tergolong melanggar hukum negara.

Di samping itu, fatwa MUI sendiri, juga menghadapi kendala operasional. Apalagi, fatwa ulama tidak lagi berwibawa seperti dulu. MUI bahkan tidak lagi menjadi institusi sakral. Dalam pandangan publik, MUI pascareformasi sudah berbeda sekali, misalnya dengan MUI semasa dipimpin Buya HAMKA. Ketika kredibilitas ulama merosot, jangankan pemerintah yang bersifat "netral", individu-individu muslim saja banyak yang mengabaikan fatwa para ulama.

Kuatnya tuntutan supaya pemerintah tegas menindak aliran sesat, juga terasa tidak 'pas'. Pemerintah sendiri hanya akan bertindak di bawah koridor aturan-aturan formal kenegaraan, seperti UU atau instruksi presiden. Kalaupun, misalnya, ada instruksi tentang pemberantasan judi (yang juga menjadi tuntutan ajaran agama), prosesnya sangat panjang. Aparat di bawah bahkan kerap menunggu komando dari atasannya untuk menindak praktik maksiat.

Dengan demikian, selama ini sebagian anggota masyarakat melihat prosedur menegakkan amar makruf nahi mungkar dan menegakkan Islam secara kaffah sangat berbelit-belit. Mereka bahkan mendapat kesan, pemerintah tidak punya kemauan, sehingga diperlukan cara-cara "tegas" dari masyarakat. Problemnya, cara-cara tegas sering diaktualisasikan dalam bentuk kekerasan fisik. Selain tidak sabar, mereka juga merasa berwenang untuk menghukum.

Padahal, dalam konteks bernegara, tindak kekerasan atau represi oleh masyarakat tidak dibenarkan. Yang berhak melakukan represi (dalam pengertiannya yang 'netral') hanyalah negara. Masalahnya, dalam pandangan sebagian masyarakat, sekali lagi, logika seperti ini terasa berbelit-belit, sementara penyimpangan ajaran agama terus terjadi.

Dari perspektif ilmu pengetahuan, munculnya kekerasan sebagai solusi masalah sosial dan kemanusiaan, jelas menunjukkan adanya kesenjangan antara cita-cita (das sollen) dengan kenyataan (das sein). Kekerasan atas nama Tuhan, sesungguhnya juga membuktikan adanya kesenjangan antara agama teologis dan agama sosiologis-antropologis.

Meskipun demikian, kesenjangan antara das sollen dan das sein tentu suatu yang umum terjadi. Hegel, misalnya, menyebut hukum dialektika: tesis-antitesis-sintesis. Bahkan perspektif sosiologi dan antropologi agama berangkat dari kesadaran mencoloknya kesenjangan antara cita-cita dan kenyataan ini. Kedua cabang ilmu ini berkembang karena banyaknya 'keanehan' dalam kehidupan beragama. Perhatiannya juga tertuju pada keadaan yang dianggap tidak logis, tidak produktif, serta hal-hal 'aneh tapi nyata' lainnya, seperti kepercayaan kepada spiritual being, sakralitas, dan ragam ritualisme.

Dalam pemahaman umum sering dikatakan, agama berangkat dari keyakinan sedangkan ilmu dan filsafat berangkat dari keragu-raguan terhadap sesuatu. Tapi, dalam perkembangan terakhir, dikotomi agama-ilmu ini dipertanyakan. Orang bahkan telah berpikir tentang integrasi ilmu dan agama. Meskipun demikian, memulai sesuatu dari keyakinan juga tidak ada salahnya, asal tidak gampang menuding pihak lain salah atau sesat.

Auguste Comte (1798-1858), bapak ilmu sosiologi, membedakan kedua perspektif. Menurutnya, cara berpikir religius hendak menemukan jawaban yang absolut. Ini tentu berbeda dengan cara berpikir positif (ilmiah) yang menyadari kerelatifan kemampuan manusia. Orang modern tidak berpikir absolut. Melihat perkembangan peradaban umat manusia dewasa ini, dikotomi ilmu-agama, modern-religius, relatif-absolut seperti ini agaknya tidak relevan lagi menjawab tantangan zaman.

Realitas sosiologis lain menunjukkan, di mana pun agama dipegang orang banyak, jemaah, bahkan massa yang fanatik. Mereka melihat agama sebagai the ultimate concern. Setiap penganut agama meyakini bahwa agamanyalah yang benar. Di sinilah unsur-unsur fanatisme atas nama agama muncul.

Jika dicermati lagi, dalam konteks fenomena sosial, 'agama' yang dimaksud di sini bukan saja agama-agama resmi yang dikenal publik. Ciri fanatik terhadap sesuatu yang dipegang dan diyakini, tidak hanya terdapat dalam konteks agama (resmi), tetapi juga sekte, aliran, mazhab, bahkan kepada partai dan organisasi keagamaan, dan bahkan ideologi-ideologi sekuler. Makin rendah tingkat berpikir dan pemahaman keagamaan seseorang, makin sempit dan makin konkret sesuatu yang difanatikinya dalam kehidupan beragama.

Di samping itu, tindak kekerasan atas nama agama juga disebabkan oleh kecenderungan beragama hanya dari segi tertentu saja, seperti aspek hukum dan keyakinan, kolektivitas atau massanya saja. Segi lain, seperti rasionalitas, penghayatan rohaniah (tasawuf) cenderung terabaikan. Saatnya diperlukan beragama dengan segenap potensi diri yang dianugerahkan Tuhan. Wallahualam.***


Website http://www.rantaunet.org
_____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting
------------------------------------------------------------
Tata Tertib Palanta RantauNet:
http://rantaunet.org/palanta-tatatertib
____________________________________________________

Kirim email ke