Tolong dibaca aturan di footer dibawah --------------------------------------
HAJI AGUS SALIM Politisi Melarat dari Kota Gedang Dia perpaduan antara intelektualitas, kesederhanaan, dan kematangan berpolitik. Pemikir dan politisi Islam yang melampaui zamannya. DALAM sebuah rapat Sarekat Islam, almarhum Haji Agus Salim pernah saling ejek dengan Muso?tokoh SI yang belakangan menjadi orang penting dalam Partai Komunis Indonesia. Ketika Muso berada di podium, ia bertanya kepada hadirin: "Saudara saudara, orang yang berjanggut itu seperti apa?" Hadirin menjawab, "Kambing!" "Lalu, orang yang berkumis itu seperti apa?" "Kucing!" jawab hadirin. Setelah Muso turun podium, giliran Agus Salim yang berpidato. "Saudara-saudara," kata Agus Salim, yang memang memelihara jenggot dan kumis, "orang yang tidak berkumis dan tidak berjanggut itu seperti apa?" Hadirin berteriak riuh, "Anjing!" Agus Salim tersenyum dan meneruskan pidatonya. Cerita nyata itu menggambarkan betapa bagi seorang Haji Agus Salim, politik adalah soal serius yang bisa dihadapi dengan enteng. Ketika menjadi anggota Volksraad di zaman Belanda, ia adalah singa podium. "Ia ahli debat yang lincah dan tajam dalam mengkritik. Jarang ada orang yang berani berdebat dengan Haji Agus Salim," kata Mohamad Roem, politisi yang pernah lama bergaul dengan Agus Salim dalam organisasi Jong Islamieten Bond. Agus Salim lahir di Kota Gedang, Bukittinggi, Sumatra Barat, pada 8 Oktober 1884. Ia adalah anak keempat dari Sutan Moehammad Salim, seorang jaksa di pengadilan negeri. Karena kedudukan ayahnya itulah Agus Salim, yang nama aslinya adalah Mashudul Haq, bisa belajar di sekolah-sekolah Belanda dengan lancar?di samping juga karena kepintarannya yang di atas rata-rata anak seusianya. Ketika lulus HBS (hogere burgerschool) pada usia 19 tahun, ia mendapat predikat lulusan terbaik di tiga kota, yakni Surabaya, Semarang, dan Jakarta. Karena prestasinya itu, Agus Salim muda sangat berharap permohonan beasiswanya untuk melanjutkan sekolah kedokteran ke Belanda dikabulkan pemerintah. Tapi, kenyataan berkata lain. Permohonan itu ditolak. Agus Salim patah arang. Sewaktu Kartini, anak Bupati Jepara, merekomendasikan Salim muda agar menggantikan dirinya berangkat ke Belanda, ia menolak. "Kalau beasiswa itu akan diberikan kepadaku karena desakan Kartini saja, lebih baik tidak kuterima," katanya ketika itu. Belakangan, Agus Salim bahkan memilih berangkat ke Jedah, Arab Saudi, untuk bekerja sebagai pegawai negeri pada konsulat Belanda di kota itu. Karir politik Agus Salim berawal di Sarekat Islam (SI). Di sana, ia bergabung dengan H.O.S. Tjokroaminoto dan Abdul Muis. Ketika kedua tokoh itu mengundurkan diri dari Volksraad sebagai wakil SI akibat kekecewaan mereka terhadap pemerintah Belanda, Agus Salim menggantikan mereka selama empat tahun (1921-1924) di lembaga itu. Tapi, sebagaimana pendahulunya, Agus Salim pun merasa perjuangan "dari dalam" tidak membawa manfaat. Ia pun keluar dari Volksraad dan berkonsentrasi di SI. Pada 1923, benih perpecahan mulai timbul di Sarekat Islam. Semaun dan kawan-kawan menghendaki SI menjadi organisasi yang condong ke kiri, sedangkan Agus Salim dan Tjokroaminoto menolaknya. Buntut perpecahan ini, SI terbelah dua: Semaun membentuk Sarekat Rakyat sedangkan Agus Salim tetap bertahan di SI. Organisasi Semaun itu belakangan berubah menjadi PKI. Selain menjadi tokoh SI, Agus Salim juga merupakan salah satu pendiri Jong Islamieten Bond. Di lembaga inilah Salim pernah dituduh memecah belah pemuda berdasarkan sentimen keagamaan. Tapi Agus Salim menampik tudingan ini. Menurut dia, Jong Islamieten Bond justru mengembalikan harkat orang Indonesia di mata Belanda. Di lembaga itu pulalah Agus Salim melakukan gebrakan-gebrakan untuk menentang doktrin keagamaan yang kaku. Dalam kongres Jong Islamieten Bond di Yogyakarta pada 1925, para perempuan dan laki-laki duduk terpisah dengan dipisahkan tabir. Perempuan di belakang, laki-laki di depan. Dua tahun kemudian, dalam kongres organisasi itu yang kedua di Solo, Agus Salim dengan persetujuan pengurus Jong Islamieten Bond membuka tabir yang memisahkan perempuan dan laki-laki tersebut. "Ajaran dan semangat Islam memelopori emansipasi perempuan," kata Salim berapi-api. Kisah ini belakangan sering diulang-ulang Sukarno dalam pidato politiknya untuk menerangkan perlunya memandang Islam sebagai agama yang terbuka. Ketegasan sikap Agus Salim sebagai politisi ini bersatu dengan sikap kesederhanaan yang mengental dalam dirinya. Selama tinggal di Jakarta, hidupnya berpindah dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan yang lain. Ia pernah tinggal di Gang Tanahtinggi, lalu ke Gang Teopekong, ke Jatinegara, lalu berpindah entah ke mana lagi. Kabarnya, sedikit dari rumah-rumah yang "disinggahi" Haji Agus Salim yang luas dan nyaman. Selebihnya adalah rumah kecil dan terkadang hanya terdiri dari satu kamar. Sebuah tempat yang harus diisi oleh sepasang suami-istri dengan delapan orang anak yang masih kecil-kecil. Tapi, menjadi miskin, toh, tidak membuat keluarga Agus Salim murung. Mohamad Roem, yang sering bertandang ke rumah Agus Salim, bercerita bagaimana cerianya keluarga itu. Anak-anak tumbuh sebagai anak yang ramah dan pandai. "Kegembiraan bersama anak-anak Haji Agus Salim membuat kita lupa betapa melaratnya keluarga ini," kata Roem. Tapi satu hal yang sulit dilupakan dari Agus Salim adalah sikapnya terhadap lembaga pendidikan formal. Dari delapan anaknya, hanya satu, yang paling bungsu, yang disekolahkan Agus Salim secara formal. Sisanya diajarnya sendiri di rumah. Dan yang menarik, Agus Salim, toh, tidak membagi keseharian anaknya dalam jam bermain dan jam sekolah secara kaku. Baginya, dunia anak adalah dunia belajar dan bermain sekaligus. Namun, dengan pendidikan macam itu, Agus Salim justru menghasilkan anak-anak yang cemerlang. Kedelapan anaknya umumnya bisa berbahasa Belanda dalam usia empat tahun. Jusuf Taufik, anaknya yang kedua, telah membaca Mahabarata dalam bahasa Belanda pada usia 13 tahun. Dolly, anaknya yang pertama, menghafal beberapa sajak Belanda dalam usia belasan. "Saya telah melalui jalan berlumpur akibat pendidikan kolonial," kata Agus Salim suatu ketika. Bagi Agus Salim, penolakan terhadap pendidikan formal colonial adalah bentuk pembangkangannya terhadap kekuasaan Belanda di republik ini. Walhasil, Agus Salim adalah manusia yang utuh: intektual yang terbuka, politisi yang ulung, dan pendidik yang berhasil. Ia wafat pada 4 November 1954 dalam usia yang lanjut, 70 tahun. Arif Zulkifli ____________________________________________________________________________________ Cheap talk? Check out Yahoo! Messenger's low PC-to-Phone call rates. http://voice.yahoo.com -------------------------------------------------------------- Website: http://www.rantaunet.org ========================================================= * Berhenti (unsubscribe), berhenti sementara (nomail) dan konfigurasi keanggotaan, silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting * Posting dan membaca email lewat web di http://groups.yahoo.com/group/RantauNet/messages dengan tetap harus terdaftar di sini. -------------------------------------------------------------- UNTUK SELALU DIPERHATIKAN: - Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan reply. - Posting email, DITOLAK atau DIMODERASI oleh system, jika: 1. Email ukuran besar dari >100KB. 2. Email dengan attachment. 3. Email dikirim untuk banyak penerima. ================================================