Bagaimana ya?

Golongan Muda ikut andil dalam menentukan jalannya pemerintahan
dan mempertahankan dan memperjuangkan kepentingan rakyat banyak di
DPR, mengawasi jalannya pemerintahan dan menjaga jalur pembangunan
agar tidak melenceng di MPR.

Perlukah kita Menteri Pemuda yang benar-benar dari Golongan Pemudanya?

Atau Menteri Pendidikan yang benar-benar dari bidang pendidikan, bukan dari
bekas pensiunan jendral yang sudah kehabisan jabatan di Mabes ABRI?

Akankah setiap 5 tahun sekali materi kurikulum berubah dengan bergantinya
menteri?

Kampus-kampus, sekolah-sekolah, madrasah-madrasah dapat menjadi tempat
ajang pendidikan dan penyadaran thd politik nasional.

Akankah Gerakan Pemuda ditunggangi atau dikendalikan lagi seperti jaman
Orde Lama dan Orde Baru?

Terakhir, Mahasiswa dan Pelajar telah mengendorkan perjuangannya setelah
jatuhnya Orde Lama, membiarkan Orde Baru mengkebiri hak-hak politik rakyat
banyak. Revolusi oleh Mahasiswa dan pelajar yang akhirnya diakui oleh
Soeharto sebagai hasil jerih payahnya. Generasi '66.

Haruskah kita jatuh lagi seperti masa-masa yang sebelumnya?
Reformasi dimulai oleh Mahasiswa, pelajar, Rakyat dan harus juga diisi oleh
Rakyat, pelajar, Mahasiswa.

Atau mebiarkan badut-badut politik yang dahulu diam saja ketika kalian
berdemonstrasi, ditembakin peluru, dipukul rotan, bermandikan panas terik
dan hujan, atau "TIDUR" saat kalian bermandikan darah di Trisakti ?

Mahasiswa dan Pelajar Untuk Kesadaran Berpolitik Langsung.

Daripada yang TUA-nya berkelakuan Ke-KANAK-KANAKAN, sekalian
yang MUDA berkelakuan Ke-DEWASAAN.


Andrew Pattiwael

On Tue, 16 Feb 1999, Indi Soemardjan wrote:

> Date: Mon, 15 Feb 1999 08:34:27 -0500
> To: [EMAIL PROTECTED]
> From: Ben Abel <[EMAIL PROTECTED]>
> Subject: IND: Wawancara GM ttg sikon terkini (2/3)
>
> Agenda gerakan mahasiswa dan partai-partai.
> Wawancara Goenawan Mohamad (2/3)
>
> Anarki dan Gerakan Sosial
>
> T: Sesaat sebelum Soeharto jatuh, kita mengharapkan bahwa akan ada
> gerakan yang bisa mengorganisir diri, melakukan perubahan tahap demi
> tahap dan menyeluruh. Namun searah dengan itu juga muncul kegamangan,
> apakah kita mampu? Bagaimana mengorganisir sekian ratus ribu orang tanpa
> pertumpahan darah? Belum lagi kita berhadapan dengan provokasi,
> kekerasan, dan lain sebagainya. Semuanya ini membuat gamang terutama
> dalam menghadapi apa yang akan terjadi selanjutnya. Bagaimana Anda
> melihat semua ini?
> GM: Memang ada ketakutan pada anarki yang meluas. Ketakutan itu
> sesungguhnya lahir karena oposisi di Indonesia tidak terorganisir.
> Kembali saya memberi contoh, bandingkan saja dengan Afrika Selatan. ANC
> itu
> sangat terorganisir. Bahkan mereka punya gerakan clandestine, sayap
> militer, dan pemimpin-pemimpin yang sangat ahli dalam berpolitik. Di
> Indonesia semua hal itu tidak ada. Sehingga tiap kali ada gerakan pasti
> juga akan terjadi chaos dan anarki. Ini saya bandingkan juga dengan Orde
> Lama. Dulu ada pembakaran yang diorganisir oleh Pemuda Rakyat dan PKI
> terhadap Perpustakaan USIS dan Kedutaan Besar Inggris. Begitu selesai
> membakar, mereka langsung pulang. Bahkan tahun 1966, ketika giliran PKI
> yang jadi sasaran, cuma Gedung PKI saja yang dihancurkan. Ini karena
> massa yang melakukan terorganisir dan karena tidak ada ide
> floating-mass.
> Contoh terbaik ketika ide floating-mass sudah diterapkan adalah ketika
> terjadi Peristiwa Malari di tahun 1974. Mahasiswa bergerak, kemudian
> masuk unsur-unsur yang tidak dikenal, akhirnya keadaan tidak bisa
> dikendalikan. Sekali lagi, semua ini terjadi karena tidak ada organisasi
> di
> tingkat massa. Floating mass itu menyebabkan kampung-kampung itu tidak
> mempunyai cabang-cabang organisasi dari sebuah kekuatan politik. Nah,
> jadi
> memang sangat rentan. Apalagi pada bulan Mei itu terjadi suatu hal yang
> menakutkan. Orang mengatakan bahwa peristiwa Mei itu digerakkan dari
> belakang. Itu tidak sepenuhnya bisa dipercaya. Memang ada yang
> digerakkan
> oleh militer atau dalam arti mereka yang mau mendapatkan keuntungan dari
> protection money. Akan tetapi ada yang memang iseng terutama mereka yang
> dari kampung-kampung. Saya kan keliling waktu itu.
>
> Aksi Pemuda dan Mahasiswa: Pasukan Pendobrak dan Pendudukan
>
> T: Ya bisa jadi karena memang tidak ada organisasi. Selama 32 tahun kita
> diapungkan sehingga masyarakat tidak terbiasa untuk berorganisasi, tidak
> biasa untuk bicara atau omong dengan orang lain. Sehingga kalau itu
> semua
> meluap terjadilah chaos ...
> GM: Kalau di Philippines kan ada gereja yang cukup punya kaitan dengan
> lapisan yang paling bawah. Di Korea Selatan industrialisasi berlangsung
> cukup luas sehingga buruh terbiasa untuk berorganisasi. Di Indonesia kan
> hanya ada informal sector dan kaum miskin di kampung-kampung. Ini yang
> memang sangat memungkinkan kalau terjadi anarki yang meluas. Di lain
> pihak para pemimpin sebagaimana biasa lebih takut. Bung Karno kan tidak
> berani memproklamasikan kemerdekaan kalau tidak diculik oleh para
> pemuda.
> Nah, kita harus melihat sejarah Indonesia jangan dari para pemimpinya
> tetapi dari pemudanya. Kalau kita mengemukakan kok pemimpinnya tidak
> begini atau tidak begitu, dari dulu juga para pemimpin itu tidak begini
> atau tidak begitu. Tetapi pemudanya kan kualitasnya harus lain. Dari
> sejarah yang dibuat oleh pemuda seharusnya mereka mengambil peran,
> jangan
> menggantungkan atau menyalahkan para pemimpin.
> T: Jadi pemuda harus militan?
> GM: Bukan hanya militan tapi juga memikirkan secara baik strategi
> perjuangan. Kalau di satu pihak mereka harus mempunyai strategi
> perjuangan, di lain pihak mereka juga jangan hanya terjebak pada
> aktivisme. Hanya terjebak pada aksi-aksi belaka tanpa berpikir untuk
> kemana dan setelah itu mau apa. Kalau mereka hanya menyalahkan para
> pemimpinnya memang hasilnya akan selalu ragu-ragu. Ya, artinya salahlah
> mereka itu. Memang sekarang ini kita tidak boleh hanya menyalahkan para
> mahasiswa. Namun faktanya, mereka adalah juga korban dari suatu keadaan
> yang tidak memungkinkan untuk memperjuangkan sesuatu secara terorganisir
> sehingga tidak bertahan lama, tidak sistematis, dan tidak konsisten.Dan
> mereka tidak terbiasa untuk membikin basis yang luas. Gerakan mahasiswa
> sekarang ini kan terfragmentasi. Ini sebenarnya tidak apa-apa. Itu biasa
> dan terjadi dimana-mana. Akan tetapi ada kecenderungan untuk menutup
> diri.
> Hubungan mereka satu sama lain selalu diliputi oleh
> kecurigaan. Jadi, karena represi di jaman Orde Baru maka orang harus
> berahasia. Saya kalau bergerak saya akan berahasia. Saya belum tentu
> akan
> percaya pada satu orang sebelum saya cek berkali-kali. Jadi sistem sel
> dan
> sejenisnya menjadi penting. Sistem tertutup menjadi penting dan
> kecurigaan menjadi umum. Ini juga yang terjadi di Rusia pada jaman Tsar
> sehingga Partai Komunis masih meneruskan gerakan-gerakan konspiratorrial
> yang dilakukan pada masa sebelum partai Komunis muncul. Akibatnya,
> terjadi
> suatu sentralisme yang akibatnya kelak akan menjadi kediktatroran
> central
> committee dan politburo. Di Indonesia juga begitu. Karena biasa
> konspirasi
> dan curiga maka hubungan satu sama lain menjadi saling curiga dan sangat
> hati-hati. Akibatnya, tidak punya basis yang luas. Apalagi ada anggapan
> bahwa Orde Baru itu lahir dari suatu kekuatan mahasiswa yang digunakan
> atau
> diitunggangi tentara. Sehingga mereka menutup diri sepenuhnya dari
> pengaruh
> luar. Dari satu sisi, ini memang bagus. Mei itu suatu revolusi bagi
> saya.
> Apa yang bagus dari Mei ini adalah kita bisa membuktikan bahwa tanpa
> tentara toh terjadi juga perubahan. Hanya setelah itu memang harus
> dipikirkan bisa terus menerus apakah mahasiswa hanya mengambil peran
> seperti ini. Arief Budiman menulis bagus sekali di Tempo. Ketika
> mahasiswa
> ditembaki di Semanggi ia mencoba menemui Megawati. Sialnya, Mega saat
> itu
> sedang tidur dan tidak bisa dibangunkan. Ini yang membuat Arief marah
> sekali. Dia menggambarkan bahwa para pemimpin-pemimpin ini memang tidak
> biasa diajak untuk berpolitik secara straight politics. Sebaliknya
> mahasiswa sesungguhnya tidak menyadari bahwa peran mereka sebetulnya
> hanyalah pendobrak. Mereka pasukan pendobrak tetapi masih juga ingin
> berperan sebagai pasukan pendudukan. Ya jelas tidak akan mampu. Pasukan
> pendudukan memerlukan logistik yang luas, sumber daya yang cukup banyak,
> dan bisa bertahan katakanlah bila perlu selama 10 tahun di satu tempat.
> Jelas mereka tidak punya kapasitas ini. Bahwa mahasiswa berpersepsi
> dirinya
> sebagai pendobrak, ini sudah benar. Akan tetapi kalau pendobrak
> sekaligus
> sebagai tentara pendudukan, itu salah.
>
> Aksi dan Aliansi Mahasiswa - Rakyat
>
> T: Dalam sejarah Indonesia, sepanjang pengetahuan Anda, apakah ada
> aksi-aksi damai yang bertujuan politis tapi kemudian sukses?
> GM: Yang disebut damai itu apa? Saya kira kebanyakan demonstrasi di masa
> Orde Baru kan damai karena tidak pernah bersenjata. Yang bersenjata kan
> hanya tentara? Jadi, kan sebenarnya itu damai? Kalau itu menghasilkan,
> itu
> berarti bahwa gerakan yang damai berhasil melakukan sesuatu. Contoh yang
> paling bagus adalah di Yogya (tanggal 21 Mei 1998, red.) ketika seluruh
> kota bergerak tanpa ada satu kacapun pecah dan tanpa ada satu tentara
> pun
> yang menjaga. Itu menurut saya suatu aksi non-violence yang paling besar
> dalam sejarah Indonesia, dan mungkin dalam sejarah Asia atau Asia
> Tenggara.
> T: Kekerasan memang menjadi momok di balik aksi-aksi yang melibatkan
> massa-rakyat dan mahasiswa. Apakah anda melihat kemungkinan terjadinya
> aksi-aksi yang melibatkan rakyat dan sekaligus menghindarkan kekerasan?
> GM: Saya melihat itu mungkin. Hanya saja, justru itu yang belum
> dilakukan. Dan memang sayang bahwa itu belum dilakukan. Mahasiswa juga
> tidak mencoba melakukan itu. Misalnya, mereka tidak mencoba
> menggabungkan
> aksi mereka dengan massa PDI atau massa PKB yang secara faktual memang
> kuat. Ya, karena itu tadi, mahasiswa mencoba untuk bergerak secara murni
> dan ada kecenderungan untuk tidak percaya pada partai-partai atau orang
> yang ada diluar mereka. Dilain pihak, partai-partai ini juga belum punya
> suatu tekad untuk melakukan hal itu. Mereka masih sibuk melakukan
> konsolidasi. Saya harapkan mahasiswa dan partai-partai ini mampu
> mendesak
> parlemen untuk membikin suatu undang-undang Pemilu dan kepartaian yang
> demokratis. Ini yang belum terjadi.
> T: Ada anggapan bahwa perjuangan mahasiswa sekarang ini tidak jelas.
> Apakah ini karena mereka tidak merumuskan tuntutan-tuntutan mereka
> dengan
> jelas atau karena program mereka sendiri juga tidak jelas?
> GM: Saya kira tuntutan mereka sangat jelas misalnya mita Soeharto
> diadili, Dwifungsi tidak diteruskan, dan sebagainya. Itu kan jelas.
> Problemnya adalah menjadi seperti tidak jelas karena tidak ada
> representasi dari mahasiswa yang memperhatikan keinginan mahasiswa. Itu
> disampaikan di jalan bukan dalam suatu konferensi pers atau dalam suatu
> negosiasi politik.
> T: Karena hal-hal tersebut sesungguhnya mengandaikan adanya suatu
> kepemimpinan yang agak jelas. Sekarang ini seakan-akan di-justified
> bahwa
> perbedaan antara gerakan mahasiswa sekarang ini dengan yang di tahun
> 1965
> karena tidak ada pemimpinnya. Dengan demikian, mereka tidak mudah
> dipukul.
> Apakah ini merupakan consolation (hiburan?) dari suatu yang ...
> GM: Saya kira dalam setiap suasana revolusioner itu ada
> kecenderungan-kecenderungan anarki. Saya pribadi lebih cenderung ke
> anarkis daripada menjadi seorang revolusioner. Jadi, saya suka pada
> keadaan dimana tidak ada pemimpin. Tapi, untuk perjuangan yang cukup
> lama
> hal ini tidak bisa. Untuk menggebug suatu kantor itu mungkin bisa tanpa
> pemimpin. Tapi untuk mengartikulasikan tujuan-tujuan sambil mengajak
> rakyat
> untuk mendukung itu yang memerlukan representasi, representant. Who will
> represent these students? Nah sekarang itu tidak ada kelihatan. Ada
> suatu
> representative sehingga semacam bagian propaganda atau public relations
> yang mengatakan: "Ini tujuan kami, mari ikut!"
>
> T: Soal mengajak rakyat, entah itu dari kelompok kelas lain seperti
> misalnya kelas buruh. Ini bagaimana?
> GM: Ini juga belum berhasil. Kalau buruh memang sudah diusahakan dan
> pernah dicoba oleh teman-teman di PRD. Masalahnya adalah buruh dalam
> keadaan yang tidak stabil juga. Didalam suatu masyarakat yang ekonominya
> surplus labor maka kekuatan buruhnya kan lemah. Kalau kaum miskin kota,
> ya,
> kembali ke masalah organisasi. Itu yang belum sempat dibina. Sehingga
> sekarang, akan lebih bagus kalau ada cukup kerja propaganda ke kalangan
> masyarakat dari kalangan mahasiswa. Nampaknya ini yang setahu saya belum
> dikerjakan. Mungkin karena tidak ada persepsi bahwa ini penting.Didalam
> sejarah gerakan mahasiswa ada yang disebut gerakan moral. Pelopornya
> adalah
> Arief Budiman. Dalam hal ini, Arief Budiman memang punya konsepsi yang
> jelas tentang apa itu gerakan moral. Pertama gerakan moral itu harus
> kecil
> karena hanya dengan demikian kemurnian betul-betul bisa dijaga. Yang
> ikut
> adalah mereka yang benar-benar tidak memiliki kepentingan politik
> kecuali
> untuk menghimbau hati nurani. Nah kalau banyak kan susah untuk
> mengontrolnya. Kedua, setelah selesai gerakan ini bubar. Arief Budiman
> memakai metafor film Sheine, sebuah film koboi dimana pahlawannya
> setelah
> menolong lalu pergi. Menurut dia gerakan moral harus begitu.
> Kekuatan dari gerakan ini adalah pada kemurniannya. Dalam hal ini the
> ethos of purity memang bisa dipelihara. Namun kelemahannya adalah bahwa
> ini
> gerakan ini bukan self-sustaining movement. Karena untuk jangka waktu
> panjang dan untuk menggoncang suatu kekuasaan perlu banyak orang kan?
> Nah
> kalau banyak orang bagaimana harus mengontrol apakah ini murni atau atau
> tidak. Jadi kalau melibatkan begitu banyak orang, menurut saya, format
> gerakannya haruslah menjadi gerakan politik. Kalau gerakan politik perlu
> ada platform, propaganda, dan lain sebagainya. Mungkin tidak begitu
> memerlukan pemimpin tetapi platform dan propaganda merupakan suatu
> keharusan. Gerakan politik itu memerlukan banyak pendukung kan? Ini yang
> tidak dikerjakan karena menurut saya ada suatu kekacauan antara gerakan
> politik dan gerakan moral. Sekarang gerakan mahasiswa menamakan dirinya
> gerakan moral. Akan tetapi, kalau mau menjadi gerakan moral, saya kira
> metode Arief Budiman yang paling tepat. Hanya dengan satu asumsi bahwa
> pemerintah mau mendengarkan gerakan moral itu, kalau hati nurani mereka
> masih bisa diketuk. Kalau pemerintah hatinuraninya tidak bisa diketuk ya
> mau tidak mau harus dijatuhkan lewat gerakan politik.
>
> T: Ada nggak contoh di negara lain dimana represi politiknya tinggi dan
> gabungan antara gerakan mahasiswa dan gerakan buruh dalam satu kesatuan
> gerakan menjadi efektif?
> GM: Ada. Di Polandia, di Czekoslovakia, serta di gerakan hak-hak sipil
> di
> Amerika ini. Gerakan Martin Luther King bisa jadi satu contoh.
>
> T: Ya seperti dikatakan tadi organisasi mutlak perlu ...
> GM: Ya benar. Karena bisa luas. Nanggap wayang saja perlu organisasi.
> Bikin pesta perlu organisasi. Memang orgnaisasi itu tidak menarik,
> terutama
> bagi orang seperti saya. Tapi, kalau bukan bukan evil, organisasi itu
> merupakan unpleasant necessity.
>
> T: Mengenai gerakan mahasiswa itu sendiri. Tadi anda bilang bahwa mereka
> itu tertutup karena takut satu sama lain. Sekarang kita ada kesan bahwa
> yang turun ke jalan itu adalah mahasiswa-mahasiswa dari
> universitas-universitas yang tidak terkenal. Sebelumnya yang aktif
> adalah
> mahasiswa dari UI, ITB, Gama, dan sebagainya. Sekarang kelihatannya
> mereka
> ini justru loyo dan tidak ada suaranya. Yang turun itu justru dari
> Atmajaya, UKI, Trisakti, atau kampus-kampus yang tidak pernah kedengaran
> namanya. Padahal dulunya kampus-kampus dianggap sangat apolitis.
> Bagaimana
> Anda melihat hal ini?
> GM: Ini ada beberapa faktor. Pertama, mungkin faktor persaingan
> antar-kampus. Namun sebenarnya hal ini sudah sangat berkurang. Seperti
> terlihat kemarin di Semanggi, UI dan berbagai universitas lain ikut
> masuk
> juga. Kedua, masalah musim ujian. Kan mereka harus ikut ujian juga.
> Ketiga, kembali kepada masalah organisasi. Misalnya, waktu pendudukan
> parlemen. Seandainya pendudukan itu berlangsung lebih lama pasti akan
> muncul problem. Pasti mereka akan kecapaian. Sementara tentara memiliki
> organisasi yang solid. Mereka bisa mengatur adanya pasukan baru, pasukan
> cadangan. Kalau ada organisasi suatu pasukan yang sama besarnya bisa
> disiapkan diluar untuk menggantikan yang didalam. Organisasi inilah yang
> belum terbentuk saat itu karena buru-buru Soeharto jatuh. Sebetulnya
> sudah
> mulai terbentuk secara embrional. Sebenarnya pada waktu itu kami juga
> sudah
> menyiapkan radio untuk dibawa ke Senayan. Ini untuk menantang radio yang
> resmi. Kan kalau ada dua
> center, kan bagus. Tapi belum apa-apa Soeharto sudah jatuh. Kalau ada
> radio kan bisa propaganda, ada penyiaran, dan ada penyebaran ide-ide
> sehingga semua program bisa disatukan. Satu hal yang memang penting
> dalam
> gerakan politik adalah apa yang disebut di kalangan Partai Komunis
> sebagai "kerja propaganda", winning the hearts of other people. Nama
> propaganda memang jelek, tetapi itulah politik. Kalau nggak begitu ya
> jadi penyair saja!
>
> T: Kalau sekarang ini rakyat yang lain itu bagaimana? Apakah mereka
> hanya
> menonton saja atau bagaimana? Apakah mahasiswa merasa bahwa belum mampu
> menjangkau mereka ataukah karena ada faktor lain?
> GM: Pada hakekatnya massa itu masih menonton. Saya kira ada juga
> ketakutan bahwa akan diprovokasi dan dimasukin unsur lain. Perasaan ini
> kuat sekali. Ada gunanya juga mahasiswa menjaga diri. Misalnya kemarin,
> mahasiswa berhasil untuk tidak mengulangi Peristiwa Mei. Sehingga begitu
> ada penyerangan terhadap Markas Polisi di Jatinegara mahasiswa ikut
> melerai. Sebab begitu markas polisi diserang bisa merembet kemana-mana,
> ke toko-toko, dan siapa tahu? Jadi dalam hal itu, baguslah. Dilemanya
> adalah bagaimana mengajak rakyat banyak. Problemnya lagi-lagi karena
> rakyat banyak tidak terorganisir juga. Nah disini sebetulnya pentingnya
> partai yang sudah mapan kayak PDI misalnya. Kerjasama dan bikin gerakan.
> Kalau partai yang lain seperti PAN dan PKB, itu kan baru. Daftar
> anggotanya pun belum ada barangkali, belum sempat bikin.
>
> T: Sekarang kita melihat sejarah. Tadi Anda katakan bahwa kalau mau
> melihat sejarah tidak usah melihat sejarah para pemimpin tetapi lihatlah
> sejarah pemuda. Dalam disertasinya, Ben Anderson mengamati bahwa
> Pemudalah motor penggerak revolusi. Tapi, sekarang ini mahasiswa yang
> bergerak bukan pemuda. Pemuda dalam pengertian sosiologis dan demografis
> kan ada juga. Kemana mereka? Dan apa peranannya? Apakah Anda melihat
> bahwa
> mereka berperanan?
> GM: Tidak banyak. Dalam arti, karena mereka selama ini juga
> didepolitisasi. Namun mereka mendukung partai. Dukungan terhadap
> Megawati
> kan berasal dari kalangan bawah dan generasi muda. Makin lama akan
> kembali
> ke politisasi dan ini gejala yang baik. Asal kemudian dengan
> organisasi yang baik sehingga efektif, tidak anarkis, dan dengan
> kesadaran.
> Kalau mau memperbaiki Indonesia kan harus dengan sedikit pemikiran kan?
> Agenda Bersama: Pemilu!
>
> T: Kalau saya memperhatikan sesungguhnya sudah ada pilar-pilar untuk
> itu. Ada mahasiswa, ada partai-partai. Namun kok ya tidak bergabung?
> GM: Ya inilah problem bagi kita. Sebelum saya berangkat ke Amerika ini,
> di Tempo juga akan ditulis bahwa seharusnya sekarang inilah waktunya
> bagi
> partai-partai untuk bergerak. Jangan membiarkan mahasiswa sendirian.
> Problemnya adalah partai ini kan masih konsolidasi. Kedua, ada yang
> memikirkan Pemilu. Sialnya lagi, mahasiswa itu agendanya bukan Pemilu.
> Mahasiswa agendanya menjatuhkan Habibie. Nah sekaranglah saatnya
> menyatukan agenda: Pemilu! - Pemilu bisa menjatuhkan Habibie dengan
> mudah.
> Namun masalahnya, demikian argumen para mahasiswa, bagaimana bisa
> menjatuhkan Habibie kalau Undang-undang Pemilunya menguntungkan Habibie?
> Jadi Habibie dan DPR-nya harus dijatuhkan dulu. Itu memang argumentasi
> yang
> benar dan cukup kuat. Akan tetapi alternatifnya, untuk membubarkan MPR,
> DPR
> dan Pemerintah dibutuhkan kekuatan raksasa. Ini yang tidak dimiliki
> organisasi mahasiswa sekarang. Mereka memang melakukan tekanan yang
> cukup
> efektif ke Parlemen yang ada dan dengan segala cacatnya.
>
> T: Tadi Anda bilang bahwa mahasiswa terfragmentasi. Kita juga melihat
> bahwa di sisi yang lain ada kualitas yang menonjol. Mereka mulai
> bergerak
> ke arah yang sama. Sebetulnya apakah benar bahwa network mereka sudah
> kuat,
> daya analisis mereka sudah semakin tajam, kemampuan berorganisasi
> semakin
> solid. Apakah memang benar semua ini?
> GM: Berangsur-angsur saya kira itu akan terjadi. Tentu nantinya akan ada
> kritik, otokritik, dan belajar dari kesalahan-kesalahan. Saya percaya
> bahwa itu akan terjadi. Nanti akan sampai pada suatu bentuk yang lebih
> efektif untuk menjadi daya pendobrak.
>
> (Bersambung ke 3/3)
>

Kirim email ke