Dapat Dibaca di: http://www.transparansi.or.id/majalah/edisi4/4berita_3.html ************************************************************************* Dampak Sosial Politik dari Korupsi Jika korupsi menyebabkan nilai mata utang turun seperti saat ini, hal itu bisa dipulihkan dalam lima hingga 10 tahun. Tetapi jika nilai-nilai kemasyarakatan yang terpuruk bisa membutuhkan satu generasi untuk memulihkannya. Peringatan ini disampaikan Ketua Masyarakat Transparansi Indonesia Marie Muhammad, tatkala membedah buku Membasmi Korupsi, karya Robert Klitgaard (17 Sept.1998). Menurut Mantan Menteri Keuangan pada Kabinet Pembangunan VI ini, korupsi, selain menimbulkan dampak ekonomi yang besar, juga membuat nilai-nilai masyarakat terpuruk karena, ""Orang tidak dapat lagi membedakan mana yang benar dan tidak benar, mana yang adil dan tidak adil." Demoralisasi Akibat praktek korupsi yang berkepanjangan, akibatnya lama kelamaan rakyat tidak lagi mempercayai kredibilitas aparat dan lembaga pemerintahan. Dalam pandangan ahli politik Asia dari City University of New York Sun Yan said, sifat korupsi yang tidak demokratis dan merusak menimbulkan demoralisasi, keresahan sosial dan keterasingan politik. Hal yang serupa diperingatkan oleh Bank Dunia. Dalam pertemuan tahunannya pada tahun 1997, Bank Dunia menegaskan korupsi menggerogoti pembangunan dengan mengabaikan aturan hukum dan melemahkan landasan kelembagaan tempat pertumbuhan ekonomi bertumpu. Dampak jelek korupsi terutama diderita oleh kaum miskin, yang paling terpukul dengan menurunnya perekonomian, yang paling tergantung dengan layanan-layanan publik, dan yang paling tidak mampu untuk membayar biaya ekstra yang berkaitan dengan suap, pemerasan, dan berbagai penyalahgunaan keuntungan ekonomi. Korupsi juga memukul kaum miskin dengan berbagai cara yang lain. Persepsi tentang meluasnya korupsi di negara-negara sedang berkembang benar-benar mengurangi dukungan masyarakat negara-negara donor yang akan memberikan bantuan pembangunan serta menggoyahkan kepercayaan pemilik modal asing, sehingga mengalihkan modal yang sebenarnya sangat dibutuhkan dan demikian melemahkan pertumbuhan ekonomi. Merusak Birokrasi Sipil Lebih jauh lagi, korupsi merusak birokrasi sebagai tulang punggung pemerintahan negara. "Korupsi dalam rezim yang lalu diciptakan untuk membantu kerja kekuasaan dengan mensistematiskan korupsi yang melembaga," tandas Eep Saefulloh Fatah, Wakil Kepala Laboratorium Politik FISIP-UI, "Rezim kemudian memiliki cukup kekuatan untuk melanggengkan kekuasaannya. Dengan korupsi birokratis ini, birokrasi kemudian jadi membesar sehingga ia menjadi penting dilihat dari kacamata publik." Birokrasi, baik sipil maupun militer, memang merupakan kelompok yang paling rawan terhadap korupsi. Sebab, di tangan mereka terdapat kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan, yang menjadi kebutuhan semua warga negara. Oleh karena itu, Transparency International, lembaga internasional yang bergerak dalam upaya anti korupsi, secara sederhana mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi. Lebih jauh lagi, TI membagi kegiatan korupsi di sektor publik ini dalam dua jenis, yaitu korupsi administratif dan korupsi politik. Secara administratif, korupsi bisa dilakukan sesuai dengan hukum, yaitu meminta imbalan atas pekerjaan yang seharusnya memang dilakukan, serta korupsi yang bertentangan dengan hukum yaitu meminta imbalan uang untuk melakukan pekerjaan yang sebenarnya dilarang untuk dilakukan. Pada kasus Indonesia, jenis korupsi pertama terwujud antara lain dalam bentuk uang pelicin dalam mengurus berbagai surat-surat, seperti Kartu Tanda Penduduk, Surat Izin Mengemudi, Akta Lahir atau Paspor agar prosesnya lebih cepat. Padahal seharusnya, tanpa uang pelicin surat-surat ini memang harus diproses dengan cepat. Sementara jenis korupsi yang kedua, muncul antara lain dalam bentuk uang damai dalam kasus pelanggaran lalu lintas, agar si pelanggar terhindar dari jerat hukum. Penyalahgunaan Kekuatan Militer Sementara pada birokrasi militer, peluang korupsi, baik uang maupun kekuasaan, muncul akibat tidak adanya transparansi dalam pengambilan keputusan di tubuh angkatan bersenjata serta nyaris tidak berdayanya hukum saat harus berhadapan dengan oknum militer yang seringkali berlindung di balik institusi militer. Tim peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang dipimpin oleh Dr. Indria Samego mencatat empat kerusakan yang terjadi di tubuh ABRI akibat korupsi: 1.Secara formal material anggaran pemerintah untuk menopang kebutuhan angkatan bersenjata amatlah kecil karena ABRI lebih mementingkan pembangunan ekonomi nasional. Ini untuk mendapatkan legitimasi kekuasaan dari rakyat bahwa ABRI memang sangat peduli pada pembangunan ekonomi. Padahal, pada kenyataannya ABRI memiliki sumber dana lain di luar APBN 2.Perilaku bisnis perwira militer dan kolusi yang mereka lakukan dengan para pengusaha keturunan Cina dan asing ini menimbulkan ekonomi biaya tinggi yang lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat dan prajurit secara keseluruhan. 3.Orientasi komersial pada sebagian perwira militer ini pada gilirannya juga menimbulkan rasa iri hati perwira militer lain yang tidak memiliki kesempatan yang sama. Karena itu, demi menjaga hubungan kesetiakawanan di kalangan militer, mereka yang mendapatkan jabatan di perusahaan negara atau milik ABRI memberikan sumbangsihnya pada mereka yang ada di lapangan. 4.Suka atau tidak suka, orientasi komersial akan semakin melunturkan semanagat profesionalisme militer pada sebagaian perwira militer yang mengenyam kenikmatan berbisnis baik atas nama angkatan bersenjata maupun atas nama pribadi. Selain itu, sifat dan nasionalisme dan janji ABRI, khususnya Angkatan Darat, sebagai pengawal kepentingan nasional dan untuk mengadakan pembangunan ekonomi bagi seluruh bangsa Indonesia lambat laun akan luntur dan ABRI dinilai masyarakat telah beralih menjadi pengawal bagi kepentingan golongan elite birokrat sipil, perwira menengah ke atas, dan kelompok bisnis besar (baca: keturunan Cina). Bila ini terjadi, akan terjadi pula dikotomi, tidak saja antara masyarakat sipil dan militer, tetapi juga antara perwira yang profesional dan Saptamargais dengan para perwira yang berorientasi komersial. Berdasarkan penelitiannya, ahli ekonomi dari Jepang Yoshihara Kunio berpendapat pembagian kekuasaan di antara para pemimpin militer di Indonesia, "memungkinkan para pemimpin militer menggunakan kekuatan politik untuk berbagai macam kepentingan dan dalam lapangan ekonomi, menciptakan kroni, serta sejumlah besar pemburu keuntungan." Toh, tidak semata-mata terjadi di Indonesia. Setelah meneliti pola kapitalisme di negara-negara anggota ASEAN, Kunio menyimpulkan, "Kediktatoran merupakan lahan yang subur bagi para pemburu keuntungan di Asia Tenggara, karena tidak ada mekanisme untuk mengawasi penggunaan kekuatan politik di bawah sistem tersebut, pemerintah dapat membagikan sumber daya ekonomi yang berada di bawah kendalinya atau melakukan intervensi ekonomi tanpa dapat digugat." Ini juga dapat dibaca di: http://www.indopubs.com/archives/0977.html Japanese scholar barred by military: reports JAKARTA, March 20 (AFP) - Japanese scholar Yoshihara Kunio was banned from Indonesia on the orders of the military, but it was unclear why he remained on a blacklist after the fall of former president Suharto, newspapers said Saturday. "Kunio is banned at the request of the ABRI (armed forces) chief for national security reasons," Director General of Immigration Muhammad Mudakir was quoted by the Jakarta Post as telling reporters Friday. Mudakir said the ban, which he believed was first imposed in 1995, was extended for another year in September 1998, four months after Suharto's resignation. Kunio, author of "The rise of Ersatz Capitalism in Southeast Asia," a work banned here in 1991 as "undermining the credibility of the president," was turned back Sunday at Jakarta's Sukarno-Hatta airport. He told friends here by phone that he was given no explanation by immigration officials who told him to catch a plane to Bangkok. The Kunio ban has shocked journalists and academics here as the blacklist, operated during the Suharto years against critics including scores of journalists, was believed to be a thing of the past. Since Suharto's resignation in May of last year under mounting protests, scores of formerly-blacklisted western and Indonesian scholars have returned to the country, and Information Minister Yunus Yosfiah has said the blacklist should be scrapped. Noted Indonesian academic Onghokham, a friend of Kunio's, has suggested the Japanese scholar may have been turned back because of red tape or plain "stupidity," and the Post conceded in an editorial Saturday that it could have been "a simple instance of bureaucratic deficiency." If so, the Post said: "the government and the immigration department in particular would be well advised to improve its management and update its files." But it said the other possibility "that the government still regards anyone who is (or was) critical as dangerous to the country -- is even less palatable since it only helps to show that all the official assurances about reform are just so much poppycock." "Fortunately this is likely to be the lesser possibility. Still the authorities would do well to educate the entire bureaucracy under their control to make real and immediate adjustments to the demands of this new era of reform," the editorial said. The Jakarta Post and the mass-circulation daily Kompas quoted immigration ministry sources as saying that as of March there were 201 people banned from entering Indonesia on the request of the military for "national security reasons." "A number of embassies have asked the government to reconsider these travel bans," Mudakir was quoted as saying without elaborating. A Japanese embassy official told AFP on Friday that the embassy had "not yet" made any representation in the Kunio case. It was up to the host government of a country to determine who would enter the country, the diplomat said, adding that there had been no request so far from Kyoto University to take up the case. Kyoto University has a branch office in Jakarta.