Diambil dari:
http://www.indopubs.com/archives/0971.html

**********************************************************************
From: "Satu Maluku" <[EMAIL PROTECTED]>
To: [EMAIL PROTECTED]
Date: Sat, 20 Mar 1999 13:28:11 PST
Subject: [Ambon] Hendropriyono vs RMS

Menteri Hendropriyono masih bersikukuh bahwa RMS ada dibelakang perang
saudara di Maluku (Harian Merdeka, 14 Maret 1999). Sinyalemen ini
didukung oleh Ketua PBB (Partai Bulan Bintang) dan KISDI Ahmad
Soemargono SE, dan terakhir oleh Jendral Feisal Tanjung dan Gus Dur.
Saya kembali mau membantah sinyalemen ini - bukan karena saya pendukung
RMS - tetapi karena saya pikir para pejabat pemerintahan dan tokoh
masyarakat di Indonesia harus belajar bertanggung jawab dengan ucapannya
dan tidak dengan mudah saja menyalahkan orang lain.

Coba kita simak apa motivasi RMS untuk memecah belah bangsa Maluku?
Dalam perang saudara ini ratusan bahkan mungkin ribuan jiwa telah
melayang, ratusan atau ribuan korban terbaring dirumah sakit, ribuan
rumah, kebun, tempat peribadahan terbakar dan rusak. Ini tentu saja akan
membuat luka yang dalam dihati masyarakat Maluku. Luka ini mungkin akan
mulai terhapus dalam beberapa generasi. Kalau RMS memang mentargetkan
kemerdekaan pada tahun 2000, dan untuk menciptakan kemerdekaan itu
mereka mengorbankan rakyatnya sendiri dengan menciptakan perang saudara,
ini adalah suatu pemerintahan yang bodoh luar biasa. Saya belum tahu
dimana ada pemerintah yang ingin memerintah rakyat yang terpecah belah,
saling curiga dan tidak ada rasa persatuan untuk mendukung perjuangan
separatisme republik barunya. Ini adalah suatu langkah (atau kalau kita
lihat kebalikannya sinyalemen tokoh pemerintah Indonesia) yang tidak ada
landasan logikanya.

Perlu juga diketahui bahwa gerakan RMS di Belandapun sudah tidak militan
lagi (mungkin ini karena masyarakat asal Maluku di Belanda sudah
diperbolehkan pulang liburan ke Indonesia). Aksi bersenjata RMS terakhir
adalah pada tahun 1977. Demonstrasi show of force RMS pada tanggal 6
dan 7 Maret saja hanya dilakukan oleh 750 orang dari 50.000 orang lebih
masyarakat asal Maluku di Negeri Belanda. Bagaimana mungkin gerakan yang
di pusatnya saja tidak begitu solid dukungannya dapat melakukan aksi
kerusuhan luar biasa di Maluku?

Bukankah lebih masuk akal kalau peperangan di Ambon ini dihubungkan
dengan proses rekayasa disintegrasi bangsa Indonesia yang bermulai
dengan kerusuhan di Sidotopo, Situbondo, Tasikmalaya, Rengasdengklok,
Jakarta Mei 1998, Banyuwangi, Pontianak, Ketapang, Kupang, Karawang,
Ujung Pandang, Poso, Luwu, Ambon dan terakhir di Sambas? Atau mungkin
pejabat pemerintah Indonesia mau menyalahkan RMS untuk semua kerusuhan
itu? Kalau itu yang dimaksud Jendral Hendropriyono dan Jendral Feisal
Tanjung, berarti mereka harus mengakui bahwa intellegen ABRI jauh
mutunya dibawah provokator RMS. Bukankah itu merupakan penghinaan
terhadap ABRI? Atau mungkin Menteri Hendropriyono mau mengisolir perang
saudara di Maluku dan tidak menghubungkan kasus ini dengan kerusuhan
lain di Indonesia? Kalau ini yang dimaksud, tentu ini perlu penjelasan
yang lengkap karena ini adalah teori baru terutama mengingat banyaknya
sinyalemen bahwa ada provokator eks-Ketapang yang masuk ke Ambon.

Menteri Hendorpriyono juga membuat pernyataan bahwa para gembong RMS
belajar dari Portugal yang telah lebih dulu sukses mengangkat kasus
Timor Timur ke kalangan internasional. Melalui siaran televisi para
kader RMS juga mendesak Pemerintah Belanda agar peduli terhadap kasus
Ambon. Menyamakan situasi Timor Timur dengan perang saudara di Ambon
adalah sama dengan menyamakan kopi dengan cengkeh. Sejarah kedua daerah
itu berbeda (Portugal tetap mengakui Timor Timur sebagai jajahannya,
sedangkan Belanda melepas Maluku kepada Republik Indonesia Serikat pada
Konferensi Meja Bundar), demografis kedua daerah berbeda (hampir seluruh
penduduk Timor Timur beragama Roma Katolik, sedangkan di Maluku ada tiga
agama besar Islam, Kristen Protestan dan Roma Katolik), konflik di kedua
daerah itu berbeda (di Timor Timur ABRI berperang dengan Fretilin,
sedang di Maluku ini adalah perang saudara antar rakyat), dan mungkin
paling penting untuk diingat bahwa dukungan separatisme di Timor Timur
jauh lebih besar daripada di Maluku (perang gerilya RMS berakhir pada
tahun 1966, sejak itu saya belum pernah mendengar demonstrasi atau unjuk
rasa besar-besaran untuk RMS di Indonesia; sedangkan di Timor Timur
Fretilin masih terus bertempur pada saat ini dan dukungan masyarakat
Timor Timur untuk kemerdekaan negerinya selalu ada banyak termasuk pada
zaman Orde Baru). Menurut saya seruan masyarakat asal Maluku di Belanda
untuk peduli kasus Ambon adalah suatu hal yang baik, agar penderitaan
saudara-saudara sebangsa dan setanah air kita dapat disorot oleh dunia
internasional. Mungkin dengan demikian dunia internasional dapat memberi
pertolongan humaniter dan memberi tekanan kepada pemerintah dan elit
politik Indonesia untuk meredam, atau bahkan menghentikan semua
kerusuhan di Indonesia.

Untuk para pejabat menyalahkan gerakan RMS di negeri Belanda adalah
sangat gampang. Pemimpin RMS di Belanda sudah dicap pemberontak dimata
pemerintah Indonesia, jadi apapun yang mereka katakan tidak akan bisa
dijadikan alat untuk argumentasi. Sampai saat ini gerakan RMS di Belanda
berhasil tidak mempolitisir perang saudara di Maluku. Mereka bisa saja
mengajukan kasusnya - untuk menjadikan Maluku merdeka - ke dunia
internasional dengan alasan bahwa pemerintah Indonesia dan ABRI sudah
tidak mampu lagi menanggulangi perang saudara sektarian di Maluku.
Tetapi hal ini tidak atau belum dilakukan RMS. Banyak pemuka masyarakat
Indonesia yang dengan jelas membeberkan bahwa perang saudara di Maluku
ini adalah hasil rekayasa yang merupakan manifestasi dari konflik elit
politik Indonesia. Ini merupakan argumen kuat bagi RMS untuk menjadikan
Maluku merdeka, agar rakyat Maluku tidak lagi diperalat oleh elit
politik Indonesia Tetapi RMS di Belanda tidak melakukan hal ini!!
Mungkin pemerintahan RMS sadar bahwa dengan mempolitisir perang saudara
di Maluku, mereka akan kehilangan support di Maluku (saya hanya bisa
menebak, karena saya bukan anggota RMS). Kalau ini memang sikap
pemerintah RMS, saya pikir pejabat Indonesia bisa belajar dari mereka
untuk TIDAK MEMPOLITISIR TRAGEDI NASIONAL di Maluku yang telah memakan
ratusan atau mungkin ribuan korban.

Pasti ada masyarakat di Maluku yang pro-RMS; sama saja dengan ada
masyarakat di Bali, di Sulawesi atau di Riau yang ingin daerahnya lepas
dari Indonesia, atau masyarakat Indonesia yang ingin Indonesia menjadi
Negara Islam. Tetapi untuk menarik konklusi bahwa RMS ada dibelakang
perang saudara di Maluku berdasarkan aksi demonstrasi masyarakat asal
Maluku di Belanda adalah suatu loncatan logika yang luar biasa.
Menyalahkan RMS karena ada orang yang mengibarkan bendera RMS pada waktu
kerusuhan di Ambon pecah, adalah sama dengan menyalahkan Partai Bulan
Bintang atau Partai Persatuan Pembangunan sebagai dalang Kerusuhan
Ketapang karena pada saat itu ada bendera partai-partai tersebut yang
dikibarkan perusuh. Tanpa ada bukti yang bisa dicek oleh badan
independen, sinyalemen-sinyalemen seperti ini hanya akan memperkeruh
suasana dan malahan mungkin bisa tuduh sebagai disinformasi yang dibuat
kaum provokator!

Kalau sinyalemen RMS itu dilemparkan untuk menggugah rasa nasionalistik
masyarakat Maluku, saya harap agar para pejabat Indonesia berani menarik
kembali sinyalemen (betapapun baik tujuannya) yang tidak berlandasan dan
dapat memicu kembali perpecah di Maluku. Saya pikir masyarakat Maluku
sudah jemu dengan campur tangan orang yang memperkeruh suasana. Saya
juga kira bahwa rakyat Maluku tidak sedemikian bodohnya hingga
memerlukan kambing hitam RMS untuk menyelesaikan konflik agama dan
konflik etnis didaerahnya.

Kirim email ke