SUARA PEMBARUAN DAILY


Tawuran Tak Bisa Diatasi Dengan

Pembinaan Individual

Jakarta, Pembaruan

Meluasnya tawuran antarpelajar dan makin seriusnya tindak kekerasan yang
muncul
membuktikan gagalnya program penanggulangan yang dilakukan selama ini.
Penanggulangan tawuran gagal karena pendekatan atau teori yang digunakan,
salah.

Hal itu terungkap dalam "Kajian Penanggulangan Tawuran Siswa Di Daerah
Metropolitan Jakarta" yang dilakukan oleh Kelompok Kerja (Pokja)
Penanggulangan
Tawuran. Laporan diserahkan kepada Mendikbud Juwono Sudarsono di Jakarta,
Rabu (7/4). Acara itu dihadiri pemimpin redaksi media massa.

"Kegagalan cara penanggulangan tersebut disebabkan oleh kecenderungan mencari
akar masalah tawuran pada diri individu siswa yang terlibat. Penanggulangan
seharusnya mempertimbangkan tawuran sebagai gejala perilaku kelompok yang
tidak
memiliki kaitan signifikan dengan perilaku individual anggota kelompok
tersebut," kata
Ketua Pokja Dr M Enoch Markum.

Dijelaskan, program penanggulangan tawuran pelajar telah dilakukan oleh
berbagai
instansi pemerintah yang juga mengikutsertakan pakar dan praktisi. Pada
1995/1996
misalnya, Pemda DKI Jaya melakukan lebih dari 150 kegiatan yang ditujukan
bagi para
siswa, guru dan orangtua siswa. Berbagai pendekatan, baik secara
persuasif maupun
militeristik, sudah pernah dilakukan. Misalnya Penandatanganan Ikrar,
Pembinaan
Pelajar Bermasalah, Pelajar Siaga dan Sekolah Kodim.

Ada anggapan, tawuran dapat diatasi dengan pembinaan siswa secara individual.
Dengan asumsi, bila setiap individu berkarakteristik baik, maka sebagai
anggota
kelompok, mereka akan berperilaku baik.

Padahal, kata Pokja, tawuran adalah bentuk tingkah laku konflik
antarkelompok yang
amat berbeda dinamikanya, dengan tingkat laku konflik antarindividu.
Sehingga usaha
penanggulangan harus mempertimbangkan tawuran sebagai gejala perilaku
kelompok,
yang tidak memiliki signifikan dengan perilaku individual anggota
kelompok tersebut.

Menurut Pokja, perlakuan penanggulangan yang dipusatkan pada individu
yang terlibat
tawuran dan penonjolan ciri negatif siswa merupakan dramatisation of evil
yang justru
akan memperkuat kecenderungan penyimpangan perilaku siswa.

"Program Sekolah Kodim justru dapat meningkatkan reputasi siswa yang terlibat
tawuran di hadapan teman-temannya dan meningkatkan keterlibatan mereka dalam
tawuran," jelas Enoch.

Ditambahkan, tidak efektinya program pencegahan dan penanggulangan tawuran
selama ini adalah karena bersumber pada pendekatan sektoral, individual,
serta
terbatas pada tataran konseptual dan tidak berkesinambungan.

Pokja menyarankan agar dilakukan pendekatan yang komprehensif dari
berbagai sudut
tinjauan keilmuan, sehingga diperoleh pemahaman yang utuh. Usaha
penanggulangan
dapat dirancang lebih terarah dan konsisten dengan dasar pemikiran yang
kuat, serta
secara berkala dapat dilakukan evaluasi program.

Tawuran Basis

Dalam laporannya, Pokja menganalisis permasalahan dari sudut analisa
sosio-psikologis
dan analisa sosio-kriminologis.

Analisa sosio-psikologis menunjukkan, tawuran adalah tingkah laku
antarkelompok,
yang didasari upaya meningkatkan identitas sosial kelompok dan konsep diri
anggotanya. Sehingga muncul pandangan stereotipikal yang merendahkan (ingroup
favouritism) dan prasangka (prejudice) terhadap kelompok lain. Kelompok
di sini
adalah sekolah dan basis.

Basis terbentuk dari beberapa kelompok kecil atau kloter (kelompok siswa
kelas 1, 2
dan 3) yang bertempat tinggal berdekatan dan menggunakan bus yang sama dari
rumah. Di terminal misalnya, kloter-kloter ini bergabung dan membentuk
basis. Dalam
basis, siswa tidak mengakui adanya pemimpin tunggal, tapi memandang siswa
kelas tiga
sebagai pemimpin.

Kegiatan dalam basis sendiri, menurut Pojka, tidak selalu negatif. Basis bisa
mempersatukan siswa di luar tawuran, misalnya dengan melakukan pertandingan
sepakbola, mendaki gunung dan lain-lain. Jadi, basis berpotensi untuk
dikembangkan
ke arah positif.

"Basis hanya berfungsi sebagai kelompok yang 'agresif' apabila berhadapan
dengan
basis sekolah lain yang dianggap sebagai musuh. Di saat tidak kontak
dengan lawan,
basis hanya merupakan kerumunan teman sekolah."

Dari analisa sosio-kriminologis, tawuran adalah tingkah laku kolektif.
Menurut analisa
kolektifa, keterlibatan seseorang dalam tingkah laku kolektif tidak
didasarkan
pertimbangan rasional pelakunya. Dalam kehidupan sehari-hari yang normal,
para
individu anggota kelompok adalah orang-orang yang tunduk hukum.

Namun dalam situasi yang sangat khusus, yaitu berada dalam kolektifa atau
kerumunan,
mereka seakan menghadapi situasi problematis yang harus segera
diantisipasi dengan
suatu tindakan yang nyata. Tindakan nyata yang dipandang paling relevan
dalam situasi
problematis adalah tindakan bersama (kolektifa) yang biasanya merupakan
tingkah laku
kekerasan kolektif.

Untuk itu Pokja mengemukakan sejumlah saran tindak, yang pada dasarnya
didasari
pada dua faktor penyebab gejala tawuran. Yakni faktor utama (basis yang
dibentuk
oleh siswa) dan faktor pendukung (kondisi di luar basis yang kondusif
bagi terjadinya
tawuran). Saran ditujukan pada banyak aspek, termasuk pembenahan seputar
basis,
transportasi umum, Depdikbud dan media massa.

Pokja menyarankan agar dilakukan pelatihan tentang pemahaman dan pengembangan
nilai baru antitawuran; pengembangan pengenalan diri, kematangan emosi,
kontrol diri;
reputasi kelompok yang bernilai positif; bimbingan karir dan pelatihan
motivasi
berprestasi. Juga pelibatan senior dan alumni dalam kegiatan pelatihan,
pengembangan
komunikasi dan kegiatan bersama antarbasis/sekolah, menempatkan aparat
keamanan
pada lokasi rawan tawuran secara berkesinambungan pada jam-jam berangkat dan
pulang sekolah, serta razia senjata tajam, baik di lingkungan sekolah
oleh guru maupun
di luar sekolah oleh aparat keamanan.

Untuk transportasi umum, Pokja menyarankan agar pemerintah menata kembali
jalur-jalur pertemuan bus rawan tawuran tanpa merugikan masyarakat umum dan
sistem transportasi publik. Juga perlu kerjasama swasta dengan pemerintah
atau
sekolah untuk pengadaan transportasi bagi siswa dan mengembangkan sistem
karcis
bagi siswa dengan kartu pelajar sebagai bukti diri.

Media massa diminta mengembangkan model pemberitaan yang antitawuran melalui
lokakarya bagi jurnalis dan mengembangkan media massa untuk kampanye
antitawuran. (M-12)


Last modified: 4/7/99

Kirim email ke