Rekan-Rekan Yth :
------------------------
Dengan ini saya lampirkan sebuah hasil pengkajian saya : "Hemat Waktu
sampai 50 Persen untuk Jadi Insinyur" di bawah ini. Mohon dengan sangat,
agar makalah ini diforwardkan kepada lembaga/PT/badan yang berkepentingan.
Tujuan saya membuat ini antara lain untuk menghadapi era globalisasi di
mana kompetisi teknologi tidak hanya mengandalkan "kualitas teknologi" dan
"re teknologi", juga "speed teknologi" dan "disain teknologi".
Hanya perlu diketahui bahwa makalah di bawah ini sifatnya
"inspirasional", bukan "operasional".
Atas bantuan rekan-rekan, saya mengucapkan banyak terima kasih.
Salam,
Nasrullah Idris
-------------------
Bidang Studi : Reformasi Sains/Matematika/Teknologi
HEMAT WAKTU SAMPAI 50 PERSEN UNTUK JADI INSINYUR
----------------------------------------------------------------------------
Oleh : Nasrullah Idris
PEMBUKAAN
--------------------
ALASAN saya menulis ini berhubung sebentar lagi kita akan memasuki
era perdagangan bebas dalam skop global. Bangsa Indonesia dari
berbagai segmen profesi dan kedisiplinan ilmu mau tidak mau akan
dihadapkan pada persaingan ketat sesuai bidangnya masing-masing.
Secara logika, untuk mengantisipasinya diperlukan antara lain
teknolog yang juga mempunyai daya saing, syukur-syukur berada di atas
rata-rata sesamanya. Ini bila kita nanti masih ingin menjadi tuan rumah di
negeri sendiri.
Rasanya siapa pun akan merasa sedih, perih, malah sakit bila orang
asing sampai berperan lebih besar. Nah ... mumpung belum terlanjur
begitu jauh, siapkanlah segala bentuk antisipasinya sejak dini.
Adanya goncangan krismon yang tidak terduga hendaknya membuat kita
semakin menyadari akan pentingnya persiapan tersebut, yakni teknolog
yang bisa berkompetisi dalam skop internasional. Sekaligus dijadikan
pelajaran untuk mewaspadai berbagai kemungkinan yang bakal terjadi
pada era perdagangan tersebut, terutama yang sampai kini belum
terpantau.
Tentu saja untuk membentuk semacam itu berarti mengajak putra-putra
bangsa ini untuk berkompetisi dengan semua bangsa lain dalam hal
mencari/mendalami ilmu : kualitas, efisiensi, efektivitas, maupun
kuantitasnya.
Berikut ini akan disampaikan sejumlah macam solusinya. Namun akan
saya batasi dengan teknologi. Untuk bidang lainnya saya persilahkan kepada
siapa pun yang berminat untuk mengupasnya.
CARA I
----------
Taroklah standar waktu minimal untuk menjadi insinyur di Indonesia
sekitar 4,5 tahun, walaupun dalam prakteknya sebagian besar baru
menyelesaikannya lebih dari itu.
Sebagaimana teknologi yang selalu mengalami dinamika proses nilai
tambah efisiensi/efektivitas, apa salahnya itu berlaku pula dalam
Peruruan Tinggi, khususnya bidang tehnologi. Misalkan, bagaimana hanya
dalam 2,25 tahun saja, wawasan mahasiswa sudah ekuivalen dengan
wawasan seorang insinyur yang diidealkan berdasarkan kurikulum Peruruan
Tinggi di Indonesia.
Berarti ia telah menghemat waktu sampai 50 persen dalam proses
belajar. Taroklah sisa waktunya dipakai belajar dengan pola yang sama,
maka saat wisuda pada 4,5 tahun kemudian, kualitas insinyurnya menjadi dua
kali lipat.
Apakah bisa? Saya berani mengatakan : "Bisa!"
Esensi pemikiran saya adalah mengajak/memotivasi mahasiswa mempunyai
obsesi untuk berwawasan teknologi dengan substansi lebih dari yang
diidealkan tersebut.
Namun mohon tidak terperangkap dengan istilah 50 persen. Itu hanya
patokan saya saja. Tetapi ya syukur-syukur bisa terwujud. Malah lebih dari
itu.
Mau berapa persen pun silakan saja. Toh setiap mahasiswa
mempunyai kemampuan berlainan dalam menyerap ilmu dalam kurun waktu yang
sama.
Ilustrasinya begini :
Anggaplah masa kuliah dengan "disket 1,4 MB". Sedangkan satuan
ilmunya dengan file "animasi". Bila diisi dengan format *.BMP @ 35 KB,
total yang bisa masuk hanya 40 file. Tetapi kalau dikonversikan ke
format *.JPG @ 17,5 KB menjadi 80 file.
Berarti penghematan 50 persen, bukan?
Kita ambil contoh ilustrasi lainnya dari anak-anak.
Taroklah kita menemukan suatu jenis batu di Amerika Serikat,
yang di Indonesia hampir tidak ditemukan.
Ketika pulang ke tanah air, tanyakanlah kepada bocah kelas I SD,
"Kalau batu ini dilemparkan ke kepalamu, bagaimana rasanya?". "Ya
...sakit, dong!", begitulah jawabannya. Bisa kita perkirakan dengan mudah.
Nah ... apa yang menjadi patokannya, sehingga si anak bisa
menyimpulkan demikian? Padahal melihat batu itu pun belum pernah.
Jawabannya tentu saja berdasarkan sifat batu yang mungkin
pernah ditemuinya di mana ketika menimpa kepala, yang bersangkutan
merasa sakit. Terlebih kalau itu dialaminya sendiri.
Apakah untuk menjawabnya, ia harus menanyakan dulu kepada guru
atau orangtuanya? Jelas tidak perlu.
Malah ia pun akan bisa menjawab pertanyaan, "Bagaimana sifat batu
ini?", dengan jawaban, "Keras!", walaupun tidak dirabanya.
Taroklah kita membawa 100 macam batu langka, ia pun tetap bisa
menjawab untuk pertanyaan yang sama. Berarti kan ia mempunyai tambahan
100 macam ilmu dalam tempo singkat hanya
dengan pengalaman dari beberapa sifat batu yang sering ditemuinya.
Jadi esensin tersebut, bagaimana cerita si anak bisa
ditransformasikan/ diimplementasikan dalam Perguruan Tinggi? Khususnya
dalam upaya penghematan waktu secara maksimal untuk menjadi insinyur.
Amatilah sepuluh atom pertama dalam sistim periodik di bawah ini :
Hidrogen (H), Helium (H), Lithium (Li), Berilium (Be), Boron (B),
Carbon (C), Nitorgen (N), Oksigen (O), Flour (F), dan Neon (Ne)
Nah ... bagaimana dengan hanya mempelajari ini saja, mahasiswa
memahami sifat seluruh jenis atom tentang fenomena fisika tertentu.
Sehingga kalau ditanyai hal serupa untuk atom berikutnya : Natrium
(Na), Magnesium (Mg), sampai Hahnium (Ha), ia bisa menjelaskan dengan
mengacu pada sepuluh jenis atom pertama.
Taroklah waktu mempelajari setiap atom adalah 2 jam. Berarti
semuanya menghabiskan 20 jam.
Tetapi karena dipahami secara tuntas/dalam, maka untuk mempelajari
sifat seratus jenis atom lebih itu tentang fenomena tersebut, cukup dengan
seratus jam saja. Berarti bisa menghemat waktu sampai 50 persen.
Tentu saja harus dijawab dulu pertanyaan : Bagaimana koefisien sifat
pada 10 atom pertama terhadap fenomena tersebut dari aspek
hitungannya? Apakah berirama bak deret bilangan beraturan (1, 4, 7, 11,
15, 19, dst) atau berantakan bak deret bilangan prima (2, 3, 5. 7, 11, dst)
Sedangkan untuk Kimia, ilustrasinya busa kita ambil contoh : Metana
(CH4), Etana (C2H6), dan Propana (C3H8).
Nah ... bagaimana dengan modal mempelajari tiga macam ini saja,
seperti elastisitasnya, sehingga untuk memahami/memperdiksi hidrokarbon
tingkat yang keempat dan seterusnya, mahasiswa tidak perlu lagi terlalu
memeras otak, yang gilirannya bisa menghemat waktu.
CARA II
-----------
Meningkatkan kualitas insinyur pun bisa juga dilakukan dengan
memahami sebagian kecil kurikulum secara tuntas. Misalkan Polan
memperoleh paket pelajaran "A1, A2, A3, A4" sampai "Z1, Z2, Z3, Z4".
Berarti 26 ilmu. Khusus untuk paket "M1, M2, M3, M4" dipelajari secara
mendalam. Selebihnya sepintas saja.
Karena ia memahami "M1, M2, M3, M4" secara tuntas, ia pun
berhasil melakukan hubungan relationis secara interen pada "M1, M2, M3, dan
M4" sehingga menghasilkan "4 faktorial ilmu", yaitu 1 x 2 x 3 x 4 ilmu =
24 ilmu, seperti "M1, M3, M2, M4" dan "M4, M2, M3, M1".
Karena semakin didalami, muncul pula inisiatif mengkombinasikan
antara sejumlah ilmu, seperti "M1, M3, M2, M4" "M1, M2, M3, M4", dan "M4,
M2, M3, M1"
Bisa dibayangkan berapa banyaknya produktivitas ilmu u dari hasil
rekayasa otaknya.
Berarti semakin besarlah peluang untuk menyeleksi, mana saja ilmu
yang sesuai dengan selera manusia, serta bisa bersaing dengan mereka
yang cara belajarnya menggunakan cara yang sama. Rasanya akan
semakin dahsyat lagi produktivitasnya bila ia terkonsentrasi total pada
"M1, M2, M3, M4".
Coba bayangkan. Bagaimana pula jika ia tidak mendalaminya
sedikit pun. Tentu 26 ilmu itu tidak lebih dari sekedar mekanisme simbol
tanpa makna.
Mari kita kembali pada masalah "M1, M2, M3, M4".
Bagaimana ilmu itu merupakan ilustrasi dari "elektron"? Berarti
mahasiswa itu mendalami elektron dalam rangka memahami sifatnya pada
berbagai situasi dan kondisi. Sekaligus akan membuat pemikirannya seputar
elektron semakin fleksibel.
Sehingga mudahlah baginya mengatasi hambatan/membuat terobosan bidang
tehnis pada produk elektronika.
Sosok seperti itu tidak hanya bisa menjawab seputar pertanyaan
seperti :"Bagaimana sifat material a, b, c, atau .... dalam
elektronika?", juga "Bagaimana dengan material yang mempunyai sifat x1,
x2, x3, dst, serta diolah dengan cara y1,y2, y3, dst, dengan sarana z1,
z2, z3, dst, pada situasi u1, u2, u3, dst, bisa menghasilkan produk
elektronika yang ber v1, v2, v3, dst, dengan harga jual w1, w2, w3, atau
...."
Taroklah berakhir dengan jawaban, "Tidak bisa". Mereka pun akan
bisa merangkang, "Mengapa ....?", dengan jawaban, "Karena ...." atau
"Akibat .....", berdasarkan berbagai rumus perhitungan yang terkait.
Akhirnya terciptalah pengertian ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan.
Dampak pemahaman teknologi secara tuntas terhadap ekonomi bisa
kita ilustrasikan dengan "web siter", yaitu mereka yang ahli dalam
pembuatan homepage.
Coba kita renungkan, bagaimana kalau ia tidak memahami tag secara
tuntas. Misalkan fungsi <TABLE BORDER = "a"> tidak masuk dalam otaknya.
Walaupun hanya satu macam tag saja ... tetapi bisa menjadi batu
sandungan dalam pembuatan sebuah web page.
Bagaimana pula kalau web page itu merupakan pesanan di mana pemesan
ingin agar muncul gambar kotak pada layar monitor? Wah peluang bisnis pun
bisa menjadi gagal. Soalnya konsumen tidak mau menerimanya.
Taroklah pesanan itu mempunyai nilai proyek sampai Rp. 1 Milyar.
Sementara tidak ada satu web site di tanah air pun bisa melakukannya?
Jangan heranlah bila diambil alih web siter asing.
Nah ... marilah kita larikan pada insinyur di mana di kampusnya
belajar tentang busi. Apa jadinya bila ia tidak memahami masalah busi
motor secara tuntas. Artinya, ada satu faktor yang tidak masuk dalam
otaknya, yaitu akurasi kelengkungan pada salah satu bagian dari permukaan
onderdil tersebut.
Bukankah ia akan mengalami kendala untuk memproduksinya, walaupun
ilmu tentang busi sudah banyak dikuasainya. Walaupun bisa dipakai juga,
tetapi dari segi kualitas akan kalah bersaing dengan busi yang
tercipta dari rancangan insinyur yang berpikir tuntas.
Celakanya kalau semua insinyur kita seperti itu. Ya ... terpaksalah
busi harus diimpor.
Itu baru satu onderdil. Bagaimana pula kalau hal serupa terjadi
pada onderdil untuk produk lainnya : komputer, kulkas, sampai traktor.
Tentu ya ... harus impor juga kan.
Karena terus impor akhirnya ya ... ikut mempengaruhi mata rupiah.
Jadi kalau mau bersaing di bidang produk, teknolog dituntut harus
bersaing pula dalam pemahaman proses kehadirannya. Termasuk
bagaimana interaksi molekulnya terhadap lingkungan sekitarnya :
tekanan, suhu, gerakan, udara, sampai sentuhan. Malah ketika sudah
berbentuk pun, ia harus pun bisa bersaing dalam hal memahami berbagai
sifatnya di kemudian hari, seperti struktur molekul, karakter tangan
manusia, dan gravitasi bumi. Tiada lain agar bisa diperkirakan akan daya
tahannya sehingga. Bukankah ini gilirannya sangat menentukan
permintaan pasar?
Miriplah dengan web siter saat membuat web page untuk homepage. Ia
sudah bisa membayangkan tentang penulisan source HTML-nya setiap kali
ada pesanan dengan faktor kesulitan dan nilai keindahan bagaimana pun.
CARA III
Meningkatkan kualitas insinyur pun bisa dengan merencanakan pola
belajar sejak dini sehingga setelah menjadi alumnus bisa diterapkan ke
berbagai bidang lapangan pekerjaan. Tentu saja bukan banting setir,
tetapi karena memang ada relevansinya.
Ilustrasinya bisa kita ambil dari materi Matematika kelas I SD.
Misalkan "1 jeruk + 1 jeruk = 2 jeruk", "2 bebek + 3 bebek = 5 bebek", dan
"3 bola + 1 bola = 4 bola".
Sesungguhnya dengan memahami itu saja anak bisa bekerja di mana saja.
Coba saja kita suruh bekerja di IPTN. Saya yakin, kalau sang dirut
menyuruhnya menghitung 3 helikopter + 3 helokopter, ia akan bisa
menjawabnya segera.
Kemudian suruh jugalah bekerja di bank. Saya rasa ia pun akan bisa
menjawab ketika disuruh menghitung 1 US dolar + 1 US dollar.
Pokoknya di lembaga/instansi mana saja, ia akan bisa bekerja untuk
hitungan seperti itu, termasuk di toko swalayan, pabrik kosmetika, kantor
Pemda, sampai industri mobil.
"Apakah diperbolehkan ?" atau "Berapa gajinya?" itu lain
masalahnya. Tergantung kebutuhan.
Yang jelas, hanya dengan bermodalkan hasil belajar itu saja, ia sudah
bisa bekerja di mana saja.
Memang ia bisa saja di sekolahnya tidak pernah disuguhi kata
"helikopter" at
au "dollar". Tetapi karena esensinya sudah tertanam dalam otaknya di mana
ia pun merasakannya sebagai yang terhubungkan realitas kehidupan sehingga
bisa ia terapkan di mana saja.
Demikian seterusnya. Sehingga bila pola belajarnya itu terus berlanjut
sampai duduk di bangku Perguruan Tinggi bidang teknologi, maka besarlah
peluangnya untuk bisa di banyak pekerjaan setelah menjadi alumnus.
Alumnus Tehnik Kimia, misalnya, bisa saja berkiprah di bidang
masakan. Walaupun selama di kampusnya tidak pernah melakukan eksperimen
untuk itu, namun banyak prinsip dasarnya bisa diterapkan.
Malah terkadang terbayang oleh saya, bagaimana bila alumnus Tehnik
Kimia seperti itu membuka konsultan masakan di rumahnya. Ya ...
miriplah dengan dokter.
Misalkan : pagi mengajar di Perguruan Tinggi dan Siang
bekerja di Perusahaan Negara. Barulah Sore harinya di rumah memecahkan
segala problema masakan dari masyarakat : efisiensi, citarasa, sampai
efektivitas.
Bila sampai kini masih ada kesan dikotomis keduanya di kalangan
masyarakat, itu bukan lagi urusan Tehnik Kimia, tetapi sudah
merupakan "tradisi cara pandang".
Taroklah "laboratorium kimia" boleh diartikan sebagai tempat
mengolah sumber daya alam dengan jenis apa saja. Berarti frekwensi
kegiatannya bukan terjadi di lembaga pendidikan, terutama Perguruan
Tinggi, melainkan justru di dapur. Malah mayoritas pelakunya pun adalah
ibu rumah tangga.
Jadi kehadiran sosok alumnus Tehnik Kimia seperti itu sangat penting
dalam upaya memberikan nilai tambah terhadap masakan. Khususnya bagi para
ibu rumah selaku tiang negara dalam penyediaan pangan melalui keluarganya
masing-masing.
Bila dari hasil konsultasi itu saja bisa dihemat minyak tanah
sampai 10 persen per hari, misalnya, berapa besar rupiah anggaran
belanja bisa ditekan dalam satu bulan. Itu baru satu macam. Tentu bisa
ditaksir bila hal serupa pun terjadi pula pada komponen Sembako lainnya.
Mari kita kembali ke masalah pokok.
Singkatnya, alumnus otak insinyur diharapkan seperti pisau multi
fungsi. Walaupun setiap kali selesai diasah hanya dicoba untuk mengupas
mangga, tetapi hendaknya ketika sudah tajam
bisa dipakai untuk beragam jenis buah.
Mahasiswa Telekomunikasi, misalkan, hendaknya jangan hanya mempunyai
target untuk bisa bekerja di TELKOM, Indosat, sampai Satelindo.
Apa salahnya direncanakan juga di lembaga perhubungan darat, walaupun
taroklah selama di kampus atau studinya nya hampir tidak tidak pernah
disuguhi masalah tersebut.
Semua itu akan berjalan jika para mahasiswa menghayati akan arti
teknologi sebagai sarana pemecahan berbagai problema tehnis
kehidupan. Karenanya
diharapkan pada mereka untuk melakukan evaluasi : "Berapa ilmu yang
diperoleh hari ini", "Ilmu apa saja yang belum dipahami", dan "Mana saja
ilmu yang bisa diaplikasikan".
Itu gilirannya akan membuat mereka merasakan kampus sebagai
gudang teknologi berisi kunci emas untuk mengubah atau memperbarui
berbagai sektor kehidupan menjadi "semakin baik, semakin indah, dan
semakin praktis". (Nasrullah Idris, bidang studi :
Reformasi Sains/Matematika/Teknologi)