Komentar: Dari Bisnis Indonesia hari ini, ada ulasan panjang ttg KSO, yg agak distortif (menurut saya). Warning: tulisan ini panjang. Bisnis Indonesia: Target SST tak tercapai Teruskan KSO atau pilih patungan Pemerintah sedang melakukan evaluasi keberadaan pola KSO Telkom, menyusul banyaknya desakan untuk menghentikan kerja sama tersebut. Pola joint venture company (JVC) sudah ditawarkan, kendati belum final. JAKARTA (Bisnis): Banyak kalangan melihat pola kerja sama operasi (KSO) Telkom hanya dari sudut pandang target pembangunan satuan sambungan telepon (SST), kendati gagasan awal KSO memang bermula dari persoalan target itu. Komentar: Di paragraf pertama saja sudah ada kontradiksi. Bila gagasan awal KSO memang soal target sst, terus banyak kalangan melihatnya dari aspek itu, bukankah itu wajar? Kalo wajar-wajar saja, buat apa diomongin? Maksudnya apa?!!! Masalah target ini pula yang sempat memicu pandangan sementara kalangan yang menginginkan pola KSO dihentikan. Alasannya, tidak tercapainya target pembangunan SST seperti yang disepakati dengan pemerintah sebelumnya, walau pada perkembangannya target itu direvisi. Sebetulnya masalah KSO Telkom sudah melebar, tak lagi pada persoalan target semata. Adalah menarik menganalisis porsi keberadaan KSO dengan konteks kekinian, di mana terjadi perubahan prediksi permintaan dari yang diperkirakan sebelumnya. Bagi PT Telkom, perubahan permintaan itu-diakui atau tidak-menjadi blessing in disguise dengan keberadaan mitra KSO. Artinya, seandainya pada saat itu PT Telkom ngotot melakukan investasi sendiri dengan pinjaman yang dijamin pemerintah, sulit membayangkan kondisi yang dialami BUMN itu. Komentar: Kalo Telkom yg di posisi baik, dibilang: blessing in disguise.... Jadi bukan karena Telkom jago memprediksikan perkembangan, tapi emang lagi mujur, aje... ;-) Telkom sekarang ini di posisi baik, karena dulu itu kita bergerak dg ekstra hati-hati... Ini suatu fakta. Yg di atas itu plesetannya. Kalo dulu Telkom ngotot melakukan investasi sendiri, ya imposibel! Ngapain ngotot-ngototan segala? Nyari celaka?! Bila mengacu pada rencana pemerintah, untuk mencapai 50 juta SST baru selama PJP II, dibutuhkan investasi sekitar US$75 miliar. Berarti investasi yang dibutuhkan mencapai US$3 miliar per tahun. Komentar: Ini mengkonfirmasi imposibel di atas. Kalo yg punya target pemerintah, ngapain Telkom (ie. public company) yg ngotot? Kan imposibel. Untuk perbandingan Sebagai perbandingan sebetulnya bisa dilihat pada satu Divre sebelum KSO dan setelah adanya KSO. Seperti Divre I Sumatra, yang digarap bersama PT Pramindo Ikat Nusantara (PIN). Berdasarkan laporan kinerja keuangan PT Telkom Divre I Sumatera, sebelum adanya pola KSO pada 1995, total laba operasi (pendapatan dikurangi biaya) baru mencapai Rp 349 miliar. Pada 1996, pada periode transisi awal mulainya KSO, laba operasi menjadi Rp 487 miliar. Komentar: Ini sesuai target atau di bawah target? Kalo lebih dari target kenapa nggak disebutkan? Nggak mungkin, kan? Kalo sesuai target, ya nggak usah dibanggain. Memang seharusnya begitu. Kalo di bawah target... Lha, wong di bawah target kok bangga... (Mbanggain sama orang yg nggak tahu). Menipu dg kata 'milyar', kayaknya bukan jamannya lagi... Kemudian pada 1997, laba operasi itu meningkat lagi menjadi Rp 515,8 miliar. Tahun lalu, kendati krisis sudah mulai terjadi, PT Telkom Divre I Sumatera masih bisa membukukan laba operasi sekitar Rp 504,8 miliar. Komentar: Idem ditto. Wong laba ditargetkan tdk pernah turun, tiba-tiba terus turun, kok dibanggain... Perlu dicatat bahwa, selama tiga tahun terakhir, investasi yang banyak dikeluarkan dalam pembangunan SST justru dilakukan mitra KSO-nya, yakni PT PIN. Komentar: Ini juga tidak perlu dibanggain, apalagi capek-capek dicatet segala... karena memang harusnya begitu sesuai agreement yg ditandatangani oleh mereka sendiri. Kalo emang agreement dianggap nggak fair, kenapa diteken at the first place? Katanya ngakunya worldclasss... masak bikin agreement aja terus dijelek-jelekin sendiri... Bikin sendiri, dijelek-jelekin sendiri, apakah itu bukan cermin sikap kampungan? Terus mencari kambing hitam pula (menyalahkan krismon). Dengan demikian, dalam tiga tahun berlangsungnya kerja sama KSO, PT Telkom Divre I memperoleh laba operasi sekitar Rp 1,5 triliun atau 47% dari total revenue-nya. Komentar: Kenapa kok dihilite sekali seolah-olah Telkom enak-enakan doang? Telkom itu udah invest gede di seluruh Indonesia sejak puluhan tahun dg segala resikonya, long before KSO. Sementara PT PIN sebagai mitra KSO yang sudah mengeluarkan investasi sekitar US$295 juta (Rp 2,3 triliun bila kurs dipatok Rp 8.000 per US$), baru memperoleh pendapatan operasi sekitar Rp 544 miliar (17% dari total revenue). Komentar: Andaikan KSO mengeluarkan US$295 juta, terus kerja sendirian tidak memanfaatkan aset existing Telkom, apakah mungkin mereka bisa dapat Rp. 544 dari bisnis telephony di Indonesia? Dalam tiga tahun? Imposibel lagi. Bahkan kalo tidak kerjasama dg Telkom, mendapatkan modal investasi (hutangan) yg US$295 itu pun imposibel juga. Tolong dikoreksi bila salah. KSO yang dilakukan di Divre I hanya menjadi satu contoh keuntungan yang diraih PT Telkom setelah ada KSO. Boleh jadi tidak jauh berbeda dengan Divre lainnya. Yang buntung justru mitra KSO-nya sendiri. Komentar: Bila kata 'keuntungan' diganti 'pemasukan', mungkin lebih netral. Wong pada prinsipnya Telkom itu menyewakan aset (yg luar biasa besar), terus dapet pemasukan, jadi wajar saja (although some said: a bit underprice). Kalo mitra KSO buntung, ya sorry about that, lah. Itu kan karena mereka sendiri salah perhitungan. Emangnya dulu teken agreement dipaksa oleh Telkom atau pemerintah? Kan enggak? By definition: Agreement itu dibikin bersama. Ternyata perhitungan Telkom tepat, perhitungan mereka (yg ngakunya worldclass) mlisit... Berarti ya salah sendiri. Jangan terus sekelompok konglomerat (di bawah payung KSO) nadanya memojokkan perusahaan milik rakyat begini. Bila melihat data yang dikeluarkan mitra KSO, selama tiga tahun beroperasi (hingga Maret 1999), pendapatan yang diterima PT Telkom sudah mencapai US$105 juta yang diperoleh dari setoran awal (initial payment) ditambah lagi Rp 4.554,46 miliar dalam bentuk minimum Telkom revenue (MTR) dan Rp 473,81 miliar dalam bentuk distributable Telkom revenue (DTR). Komentar: Kenapa tidak dijelaskan bahwa pemasukan segitu itu diperoleh berkat menyewakan/memberi-konsesi yg luar biasa besar kepada KSO?! Apa maksudnya?!! Kalo dapet $73bil atau $15bil dg modal dengkul (terus dimuat di majalah Time), itu perlu diungkit... Tapi kalo punya aset produktif gede banget, terus dapet segitu, apa maksudnya diungkit-ungkit? Bukankah itu suatu kewajaran? Sedangkan penghasilan yang diraih mitra KSO Telkom hanya sekitar Rp 2,23 triliun dalam tiga tahun beroperasi (sekitar 20% dari total pendapatan unit KSO yang diperkirakan mencapai Rp 10,5 triliun). Komentar: Ini juga wajar. Kenapa diungkit?! Ini belum dihitung biaya yang telah dikeluarkan mitra KSO, termasuk pembayaran suku bunga pinjaman yang sebagian besar tidak di-hedge. Komentar: Lha? Katanya worldclass... Kok prinsip hedgingnya aja masih kampungan begitu? Total investasi Sebagai catatan, hingga Maret 1999, untuk merealisasikan pembangunan 1.371.548 SST, total investasi yang sudah dikeluarkan lima mitra KSO Telkom mencapai US$1,561 miliar, yang terdiri dari pinjaman US$993,7 juta dan modal pemegang saham sekitar US$567,59 miliar. Komentar: Jelasnya: Mereka berat di-hutang! Hutangan sebesar itu, harus digarisbawahi, tidak mungkin bisa mereka peroleh kalo perusahaan milik rakyat (Telkom) tdk 'berbaik hati' memberi mereka konsesi. Bila kurs dipatok rata-rata Rp 8.000 per US$, maka total investasi yang sudah dikeluarkan lima mitra KSO mencapai Rp 12 triliun. Beberapa vendor dan lender dikabarkan sudah men-default mitra KSO karena ketidakmampuan membayar utang. Padahal kalau dibandingkan dengan pendapatan yang hanya sekitar Rp 2,23 triliun, sulit bagi mitra KSO untuk sedikit lincah memperbaiki cash flow, apalagi mencapai payback period dalam kurun waktu 10 tahun. Komentar: Ya ini namanya nasib. Akibat salah perhitungan mereka sendiri. Gitu aja, nggak perlu menjelek-jelekkan perusahaan milik rakyat. Masalah perubahan prediksi demand ini jarang dipandang berbagai kalangan yang menyoal keberadaan KSO Telkom, termasuk DPR yang awalnya mempersoalkan mengapa target pembangunan dua juta SST tidak tercapai. Komentar: Memang jarang. Karena harusnya yg (ngakunya) worldclass sudah dari semula bisa memperkirakan skenario ini; dan tahan banting di segala situasi... Dalam pemahaman perusahaan swasta manapun, efisiensi selalu menjadi pertimbangan dari setiap investasi yang telah dikeluarkan. Bila rasio return terhadap investasi menunjukkan ketidakefisienan atau payback period tidak menguntungkan, tidak ada manfaatnya mengejar target. Komentar: Ya, kalo target tdk terkejar... padahal ada ancaman penalti di agreement, ya konsekuenlah dg agreement yg sudah diteken dihadapan rakyat... Jangan terus menciptakan intrik-intrik politik. Pemikiran rasional ini yang dijadikan alasan mitra KSO ketika meminta perubahan target SST dari dua juta menjadi 1,2 juta hingga Maret 1999. Sebab, penambahan SST itu tidak diikuti dengan peningkatan jumlah pelanggan yang signifikan. Komentar: Kalo merugikan rakyat (agreement tdk dipenuhi), apa benar pemikiran itu rasional? Dari sekitar 3,3 juta SST yang telah dibangun PT Telkom hingga Maret 1999 lalu (termasuk 1,2 dari mitra KSO), jumlah pelanggannya hanya mencapai 2,5 juta SST, yang menunjukkan tingginya kapasitas sambungan terpasang yang belum terjual. Komentar: See... 3,3 juta sst, yg KSO cuma 1,2 sst... Artinya yg ditanggung Telkom lebih banyak. Ini udah resiko karena ada krisis. Tapi ya, Telkom konsekuen,... sementara yg ngakunya worldclass malah malu-maluin begini... Berdasarkan data mitra KSO, jumlah SST yang belum terjual mencapai 800.000 SST. Bila biaya investasi untuk pembangunan satu SST mencapai US$1.200, maka dalam tiga tahun mendatang investasi yang bisa 'dihemat' mencapai US$9,6 miliar. Namun 'penghematan' ini juga menunjukkan tingginya cost of money yang harus ditanggung mitra KSO karena mengejar target tadi. Bisa dibayangkan berapa cost of money yang harus ditanggung bila mereka diwajibkan membangun dua juta SST. Bila suku bunga pinjaman dolar AS sekitar 7% per tahun, maka pendapatan yang diraih mitra KSO belum menutupi beban pembayaran cicilan utang, termasuk bunganya. Komentar: Ya mungkin utk kesulitan itu, silakan menyalahkan pihak-pihak yg menyebabkan krismon. (kalo bisa ;-). Jelas penyebab krismon bukan perusahaan rakyat yg bernama Telkom (kalo yg ditulis di majalah Time itu,... nah... mungkin aja). Alasan ini juga yang mendasari perubahan persentase pembagian DTR yang tadinya 30% untuk PT Telkom menjadi 10%. Sisanya untuk mitra KSO. DTR tersebut adalah pendapatan bersih KSO setelah dikurangi MTR (rata-rata Rp 1,5 triliun per tahun) dan biaya operasi. Ada yang menduga perubahan persentase penghasilan DTR ini mengandung unsur KKN. Terlepas dari persoalan adanya KKN atau tidak, yang jelas keputusan yang telah diambil tersebut perlu juga dilihat dari kacamata makro. Komentar: Paragraf di atas ini perlu dibaca lebih jeli. Tapi ya,... maklumlah, dulu jaman pra-reformasi... Dalam pandangan Dephub, perubahan DTR itu merupakan sharing pain. Kendati krisis tidak diumumkan sebagai force majeur, kedua belah pihak harus menanggung bersama beban kesulitan yang dialami. Komentar: Wait! Ada yg salah di sini: 'Kedua pihak HARUS menanggung bersama...' Ha, ha, ha... plesetan juga, nih. Harus? Kok bisa harus? Dasarnya apa? Siapa yg mengharuskan? Kalo logikanya nggak bengkok: Kedua pihak HARUS memenuhi kewajibannya sesuai dg agreement yg telah diteken bersama di hadapan rakyat! Mitra diuntungkan Memang ada pertanyaan, bila payback period tidak bisa dicapai dalam 10 atau bahkan 15 tahun dan KSO diputuskan, bukankah sebetulnya lebih 'menguntungkan' mitra KSO. Sebab, PT Telkom akan mengembalikan biaya investasi termasuk bunga pinjamannya. Dalam pemikiran jangka pendek, mungkin bisa saja. Namun, kalau mempertimbangkan aspek investasi jangka panjang, pemutusan KSO tersebut justru menjadi bumerang yang bakal merugikan mitra KSO. Selain faktor gengsi-semua mitra KSO merupakan world class operator-ada pemikiran lain yang berkembang, khususnya menyangkut penghapusan hak eksklusivitas PT Telkom untuk SLJJ pada 2005. Komentar: Bener, nih... worldclass operator? Skenario dari kebijakan ini adalah penghapusan hak eksklusivitas tersebut justru kemungkinan akan dilanjutkan dengan pemberian hak prioritas kepada perusahaan mitra KSO untuk mengembangkan SLJJ di daerah Divre yang digarapnya. Sebab, boleh jadi nanti setelah 2005, perusahaan-perusahaan swasta yang siap tersebut adalah mitra KSO, yang selama ini sudah berpengalaman. Komentar: Berpengalaman tekor, maksudnya? (Karena salah perhitungan sendiri?) ... dst. Ditulis oleh Supriyadi ©COPYRIGHT 1998 BISNIS INDONESIA PT Jurnalindo Aksara Grafika Komentar: Sdr. Supriyadi, it's okay for you utk pro KSO, tapi ya tulisannya jangan distortif, lah.