“Perspektif PEMILU 07 Juni
1999”
Pada tanggal 21 Mei 1998, Presiden
RI ke – 2 , H.M. Soeharto menyerahkan jabatannya sebagai presiden RI
kepada wakil presiden waktu itu, bapak B.J. Habibie. Pengunduran diri
pak Harto dari jabatannya sebagai presiden RI akibat akumulasi krisis
multidimensi, baik krisis ekonomi dan krisis kepercayaan kepada pemerintahan
saat itu, yang dialami oleh bangsa Indonesia yang berkepanjangan dan juga
akinbat desakan rakyat Indonesia supaya beliau mundur ( salah satunya adalah
aksi moral mahasiswa di seluruh Indonesia )
Setelah pengunduran diri pak Harto
dari jabatan presiden RI, maka diadakanlah SI MPR 1998 untuk mengesahkan
Presiden RI sementara yaitu Prof. B.J. Habibie dan juga menyusun agenda
Pemilu secepatnya ( yang ditetapkan pada tanggal 07 Juni 1999).
Walaupun pak Harto mundur dari
jabatannya sebagai presiden RI, dengan alasan bahwa kemundurannya karena
kehendak rakyat, dan diganti oleh pak Habibie, mahasiswa Indonesia tetap
menuntut tegaknya keadilan hukum di Indonesia. Tuntutan moral mahasiswa yang
terutama dan kehendak rakyat Indonesia adalah untuk menegakkan supremasi
hukum dengan pembersihan kasus KKN oleh mantan Presiden RI
Soeharto dan kroni-kroninya, membuat MPR/DPR hasil Pemilu 1997 harus
melakukan reformasi hukum positif di Indonesia. Walaupun keinginan baik dari
MPR/DPR untuk mendengar suara rakyat, kejadian – kejadian yang
mengganggu stabilitas nasional negara Indonesia pada masa pemerintahan
Presiden sementara RI Habibie terus “mengunjungi”
tanah air Indonesia, seperti kerusuhan (isu agama) di Kupang dan Ketapang,
kerusuhan (isu agama) di Ambon, peristiwa Timor timur, kerusuhan (isu
suku dan ras) di Sambas Kalbar, sampai peristiwa berdarah di Aceh baru
– baru ini dan pertikaian antara massa pendukung partai politik yang
ikut serta dalam “Pesta Demokrasi” Pemilu 07 Juni
1999.
Hasil SI MPR 1998 tahun lalu,
menghasilkan keputusan bahwa Pemilu ditetapkan pada tanggal 07 Juni 1999
sebagai salah satu jalan yang terbaik dari yang terburuk dalam pemecahan
masalah krisis yang berkepanjangan di Indonesia sejak Agustus 1997. Pemilu
yang disahkan oleh SI MPR 1998, sebagai keputusan tertinggi di Negara
Indonesia, merupakan perwujudan aspirasi rakyat Indonesia yang menghendaki
pembaruan atau reformasi dalam segala aspek dan proses legitimasi
pemerintahan yang baru di Indonesia untuk mengantar Negara
Indonesia, dengan LUBER dan JURDIL, ke pada tempatnya sebagai negara
yang berdaulat rakyat penuh dan siap kembali merangkak untuk melangkah dalam
persaingan dunia pada Millenium ketiga nanti.
Pada saat itu, rakyat Indonesia ada
yang asyik merayakan Pemilu 07 Juni 1999 dengan mengikuti kampanye
parpol masing – masing di lapangan bola hingga jalan raya
dengan segala atribut partainya yang berwarna - warni, ada juga yang menolak
Pemilu Juni 1999 hanya sebagai ‘bargaining’ mereka kepada
pemerintah dan 48 partai politik yang ada, serta ada yang juga menolak
Pemilu Juni 1999 secara
konseptual ( cukup
radikal menurut Saya ).
Pada wacana ini, Saya mengangkat
isu aksi mahasiswa yang menentang Pemilu 07 Juni 1999 . Alasan mereka
tidak percaya bahwa Pemilu 07 Juni 1999 sebagai solusi atas krisis
multidimensi yang saat ini berlangsung di Indonesia. Menurut pendapat
mereka, pemilu itu sudah pasti tidak akan jujur dan adil karena
diselenggarakan oleh rezim Habibie, yang kelanjutan dari Orde Baru, yang
dihasilkan oleh DPR hasil Pemilu 1997. Pernyataan dari sebagian mahasiswa di
Indonesia menimbulkan pendapat – pendapat dari kalangan masyarakat
lainnya yang bertentangan dengan pernyataan mahasiswa tersebut karena
alasannya “Tolak Pemilu” atau “boikot Pemilu”. Ada
yang berpendapat, “ Bagaimana bisa ganti presiden tanpa
diselenggarakan pemilu?”; “ Aksi mahasiswa tersebut sudah tidak
murni lagi dari hati nurani mahasiswa, tetapi sudah memerankan kepentingan
orang – orang yang tidak menghendaki reformasi.” Artinya, bahwa
pernyataan mahasiswa ini benar – benar menolak pemilu secara
konsep Tetapi, ada juga yang menolak pemilu dengan sikap membiarkan
pemilu berlangsung dengan tidak mengambil sikap menerima atau menolak secara
eksplisit dengan sikap menjadi pemantau Pemilu Juni 1999
Di lain pihak, partai politik yang
ikut dalam Pemilu Juni 1999 juga sedang asyik mengadakan
kampanye akbarnya ke seluruh Indonesia dan “debat caleg” di sana
– sini untuk mengembalikan kepercayaan rakyat selama ini
dengan segala macam program partai tersebut jika memenangkan Pemilu 07
Juni 1999 .
“Pesta Demokrasi”,
hasil SI MPR 1998 yang lalu ,tersebut menjadikan bangsa Indonesia
melupakan sejenak akan kesengsaraan bangsa Indonesia akibat krisis yang
berkepanjangan yang mengakibatkan jumlah kemiskinan meningkat , jumlah
pengangguran yang meningkat, merosotnya moral bangsa Indonesia di mata dunia
, dan puing –puing bisu yang meng-“hitam”-kan keramahan
wajah bangsa Indonesia dengan kekerasan selama ini.
Pemilu 07 Juni 1999 yang
mengikutsertakan 48 partai politik dengan masing – masing asasnya, ada
yang berasaskan Pancasila sampai yang berasaskan agama, dan dengan masing
– masing tujuannya. Perbedaan tersebut menunjukkan sedikit
kemajuan dalam hidup demokrasi dibandingkan pada masa
sebelumnya di Indonesia.
Pemilu 07 Juni 1999 pada
dasarnya memilih wakil rakyat di MPR/DPR, yang memperebutkan 500 minus 38
kursi ( yang diperuntukkan TNI ) atau 462 kursi dari 700 kusri yang
disediakan . Menurut UU No. 4 Tahun 1999 ( tentang Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD ) pasal 1 ayat (4) bahwa utusan daerah dipilih
oleh DPRD I dalam rapat Paripurna untuk menjadi anggota MPR mewakili
daerahnya, pasal 1 ayat (5) bahwa utusan golongan ( bukan bagian dari partai
politik peserta pemilu ) yang terdiri atas golongan ekonomi, agama, sosial,
budaya, ilmuwan, dan badan - badan kolektif lainnya. Pasal 2 ayat (2):
a...,(b) bahwa utusan daerah berjumlah 135
orang ( 5 orang dari tiap - tiap daerah tingkat I ),
(c) bahwa utusan golongan berjumlah 65 orang. Pasal 2 ayat
( 5) menyatakan bahwa DPR menetapkan jenis dan jumlah wakil dari masing
-masing golongan. Pasal 2 ayat (6) bahwa utusan golongan diusulkan oleh
golongannya masing - masing kepada DPR untuk ditetapkan. Pasal 2 ayat (7)
bahwa Tata cara penetapan anggota MPR utusan golongan sebagaimana yang
dimaksud ayat (5) dan ayat (6) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR.
Dimana Peraturan Tata Tertib DPR ini menetapkan kriteria, jenis, dan jumlah
wakil masing - masing golongan secara objektif dan representatif. Dalam UU
No. 4 Tahun 1999 pasal 45 menyatakan bahwa khusus pengisian anggota MPR
hasil Pemilu 1999 dari utusan golongan sebagaimana yang dimaksud Pasal
2 ayat (2) huruf c, ayat (5) dan ayat (6) diatur sebagai berikut:
(a) KPU
menetapkan jenis dan jumlah wakil masing - masing golongan;
(b) Utusan
golongan tersebut diusulkan oleh golongan masing - masing kepada KPU untuk
ditetapkan yang selanjutnya diresmikan secara administrasi dengan Keputusan
Presiden sebagai Kepala Negara.
(c) Tata cara penetapan anggota MPR
dari utusan golongan yang dimaksud (b)
dan
(c) diatur lebih lanjut oleh KPU.
UU No.4 Tahun 1999 yang mengatur
susunan dari MPR/DPR ini menimbulkan pertentangan di berbagai kalangan
masyarakat karena ketidakjelasannya dalam pengisian 200 kursi di
MPR/DPR. Ketidakjelasan pengisian 200 kursi untuk utusan golongan dan
utusan daerah menimbulkan kecurigaan bahwa akan menjadikan
peluang bagi pemerintahan sementara sekarang yang dipimpin oleh
Presiden B.J. Habibie untuk mempertahankan kekuasaan rezimnya pada
masa 1999 – 2004 di Indonesia. Ada pendapat yang menyatakan bahwa 200
kursi itu dapat memenangkan B.J. Habibie sebagai presiden RI
yang akan datang . Akibatnya akan menunjukkan pandangan pesimis bahwa
bangsa Indonesia tidak akan dapat keluar dari krisis yang berkepanjangan
selama ini dan akan menimbulkan keresahan dalam masyarakat yang tidak
lagi percaya akan kepemimpinannya selama masa transisi ( 21 Mei 1998
s/d sebelum SU MPR 1999 ). Benarkah ? Sampai di sini Saya tidak
mengharapkan hal tersebut terjadi seperti yang Saya dan anda
perkirakan. Akibatnya juga bahwa munculnya kesepakatan - kesepakatan
antara partai reformis dalam bentuk komunike bersama untuk menghadang
kekuatan pro status quo.
Aksi mahasiswa di Indonesia ini,
menunjukkan alam demokrasi yang baik. Saya sependapat dengan klaim
sebagian mahasiswa bahwa pemilu bukanlah solusi dalam penyelesaian kemelut
krisis multidimensi di Negara Indonesia. Tetapi, dengan alasan yang berbeda.
Jadi, apa alasannya?
Kejadian kerusuhan di seluruh tanah
air, yang merugikan bangsa Indonesia baik materil maupun moral bangsa
Indonesia, yang berlangsung pada masa pemerintahan Orde Baru dan masa
pemerintahan transisi oleh Presiden B.J. Habibie menunjukkan menurunnya
nilai – nilai kebangsaan yang telah diperjuangkan dalam Sumpah Pemuda
1928. Kekejaman yang ditunjukkan oleh TNI sebagai elemen yang
melindungi bangsa Indonesia pada masa DOM di beberapa daerah dan pada
peristiwa Trisakti dan Semanggi serta tragedi Tanjung Priok. Bukan itu saja,
kekejaman yang dilakukan oleh rakyat Indonesia terhadap sesamanya /
sebangsanya pada peristiwa 12 Mei 1998, peristiwa Kupang dan Ketapang,
peristiwa Ambon, peristiwa Situbondo dan Rengasdengklok, peristiwa di Timor
timur, sampai peristiwa di Sambas Kalbar yang justru timbul akibat isu
– isu SARA. Mengapa bangsa Indonesia yang kelihatan rukun selama ini
dapat dirusak oleh adanya isu –isu SARA? Apakah karena kesalahan
sistem yang dilakukan pemerintah selama ini? Atau karena kesalahan ajaran
– ajaran agama yang resmi menjadi agama di Indonesia?
Tidak
mungkin karena ajaran agama yang ada . Tetapi, karena sistem pemerintahan
selama ini yang tidak memberikan contoh baik kepada rakyat bangsa Indonesia.
Sistem yang bagaimana? Sistem yang tidak menjunjung supremasi hukum , yang
tidak menunjukkan transparansi keadaan yang terjadi di Indonesia atau sikap
yang menutup – nutupi, dan sistem yang menabur budaya
“instan”.
Akibat dari sistem pemerintahan
selama ini, maka Wawasan Kebangsaan rakyat Indonesia semakin pudar.
Jadi, tanpa perbaikan Wawasan Kebangsaan rakyat Indonesia maka Pemilu 07
Juni 1999 bukanlah solusi menyelesaikan kemelut krisis multidimensi selama
ini. Mengapa?
Alasannya, Saya khawatir jika SU
MPR 1999 nanti menghasilkan presiden RI yang bukan berasal dari partai
politik yang disebut sebagai partai reformis sekarang ini (seperti Amien
Rais, dan Megawati Soekarnoputri, dan K.H.Abdulrahman Wahid) ,melainkan dari
partai politik yang disebut sebagai partai pro-status quo, seperti B.J.
Habibie yang akibatnya membangkitkan ketidaksenangan ( dalam arah
negatip daripada hidup demokrasi bukan sikap positip hidup demokrasi )
masyarakat pendukung partai reformis dari berbagai golongan masyarakat
. Saya bukanlah khawatir dengan adanya kesepakatan tandingan oleh
partai yang disebut pro - status quo dengan partai - partai kecil yang ada
atau masih kurangnya kekuatan partai reformis untuk mengahadang kekuatan
pro-status quo. Saya khawatir akibat ketidaksenangan ini malah menimbulkan
cara – cara anarkis yang dilakukan oleh masyarakat secara fisik
terhadap partai yang disebut pro – status quo karena lunturnya wawasan
kebangsaan selama ini. Kekhawatiran Saya ini malah menjadi bumerang bagi
masyarakat pro-partai reformis yang menghendaki iklim demokrasi yang ideal
dan yang menjunjung tinggi supremasi hukum. Akibatnya, bukan saja merugikan
masyarakat ini saja , tetapi merugikan seluruh bangsa Indonesia dan malah
meragukan kredibilitas perjuangan partai – partai reformis di kursi
MPR/DPR hasil Pemilu 07 Juni 1999. Benarkah ? Harapan Saya
adalah bahwa pendapat Saya di atas hanyalah sekedar wacana
belaka.
Jabat
erat