Republika: Korupsi Pertamina dari Masa ke Masa (1)

Ada ungkapan menarik yang pernah beredar dan sangat dipercayai masyarakat,
''Jika ingin cepat kaya, bekerjalah di Pertamina.''

Ungkapan yang muncul sejak 1970-an itu bukan saja karena ketika itu sedang
terjadi booming minyak yang mendatangkan devisa berlimpah-limpah. Tetapi,
dan ini yang lebih pas, bekerja di Pertamina, apalagi di posisi penting,
sangat terbuka peluang untuk melakukan kolusi dan korupsi.

Memang sudah bukan rahasia lagi bahwa dari didirikannya 10 Desember 1957
sampai sekarang, Pertamina menjadi sarang korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN). Ia bukan saja menjadi sapi perah keluarga Cendana dan kroninya, tapi
juga sarat 'lubang' yang menyebabkan kebocoran. Keuntungan yang semestinya
melimpah, akhirnya hanya didapati ampas-ampasnya saja. Bahkan tekor.

Saking buruknya BUMN ini sampai-sampai ada yang mengusulkan agar Pertamina
dibubarkan saja. Usul ini, kemarin, diulang lagi oleh Fuad. ''Selain tidak
efisien, Pertamina tidak memiliki kinerja yang bagus. Karena itu,
dibubarkan saja,'' katanya. Selama ini, lanjut Fuad, satu-satunya kebaikan
Pertamina hanyalah menyediakan BBM dengan harga yang sama di seluruh tanah
air. Kebaikan yang lain, tidak ada.

Bubar? Dulu Pertamina memang sempat hampir bubar karena bangkrut.
Gara-garanya, BUMN terkaya itu pada 1970-an terlibat utang yang maha besar:
10,5 miliar dolar AS. Pertamina saat itu tidak sanggup lagi membayar utang
sebesar itu hingga akhirnya pemerintah turun tangan sendiri. sekalipun saat
itu sebetulnya Pertamina sedang mandi uang karena booming minyak.

Saat itu Pertamina dipimpin oleh orang kepercayaan Soeharto, yakni Ibnu
Sutowo. Jenderal purnawirawan itu dipilih sebagai Direktur Utama Pertamina
yang pertama itu sembarangan dalam menentukan proyek. Sampai saat ini tidak
begitu jelas tujuan proyek-proyek raksasa yang dibikin Ibnu.

Pada awal 1970-an itu Ibnu punya gagasan yang ambisius. Gagasan itu
kemudian dituangkan dalam membangun proyek-proyek yang sebetulnya tak
berhubungan dengan Pertamina seperti proyek Krakatau Steel, pembelian kapal
dalam jumlah besar, proyek telekomunikasi, dan pertanian. Akhirnya semuanya
gagal. Amblaslah miliaran dolar yang notabene diperoleh dari utang.

Apakah Ibnu melakukan korupsi dari berbagai proyek itu? Tidak ada bukti
yang menyatakannya. Tapi seperti dikatakan Kartika Thahir (istri mendiang A
Thahir yang berebut harta haram di Singapura) komisi di pertamina adalah
hal yang biasa. Thahir adalah orang kepercayaan Ibnu yang dipercayakan
sebagai Direktur Keuangan Pertamina pada awal 1970-an.

Dan seperti ditulis Tempo edisi 17 Agustus 1991, Ibnu Sutowo kata Kartika
ikut juga kebagian komisi pada proyek yang dilaksanakan Pertamina pada
dekade 1970-an. Komisi itu diperoleh dari perusahaan Jerman dalam proyek
Krakatau Steel. Menurut Kartika, komisi yang masuk ke rekening Ibnu senilai
8 juta dolar AS.

Thahir sendiri hidup bergelimang uang. Dari komisi yang diperoleh, dia bisa
mempunyai tabungan 80 juta dolar AS (suatu jumlah yang sangat besar untuk
kondisi saat itu) di perbankan Singapura. Sayang 45 juta dolar sudah dibawa
kabur istri keduanya --yang tak lain adalah kartika-- tiga hari setelah
Thahir meninggal dunia pada 23 Juli 1976.

Sisanya yang 35 juta dolar berhasil ditarik pemerintah Indonesia pada 1992
setelah melalui peradilan sengit di Singapura. Peradilan yang makan waktu
sekitar 15 tahun --tepatnya sejak 6 Mei 1977-- itu memakan biaya tak
kurangd ari satu juta dolar. Karena saking lamanya peradilan, dana itu pun
sudah bunga berbunga menjadi 76 juta dolar.

Saat kasus Thahir itu banyak dibicarakan dan ditulis di berbagai media,
muncul bisik-bisik: kalau direktur keuangannya saja bisa 80 juta dolar,
berapa yang masuk ke kantong direktur utama?

Hanya saja yang pasti, sejak kasus kebangkrutan Pertamina itu terkuak, Ibnu
dipecat. ''Setelah langkah penertiban di Pertamina, Bapak Presiden
mengambil keputusan untuk mengganti direktur utama Pertamina. Pak Ibnu
Sutowo diganti Pak Piet haryono,'' kata mantan Wapres Sudharmono dalam
memoarnya yang berjudul Pengalaman Masa Pengabdian.

Dugaan ketika itu, Ibnu dipecat karena melakukan mismanajemen di
Pertaminan, serta karena ambisi politiknya. Namun, belakangan, kepada Time,
Ibnu mengaku ia dipecat bukan karena kedua alasan itu. ''Saya dipecat
karena tidak mau diajak 'bermain' oleh Soeharto,'' akunya.

Ketika itu, katanya, Soeharto memerintahkan Ibnu membangun trading company
kedua yang menangani pengiriman minyak mentah Indonesia ke Jepang. ''Saya
ingin kamu ambil 10 sen dolar dari tiap barel minyak yang diperdagangkan di
perusahaan yang baru itu,'' tutur Ibnu menirukan kata-kata Soeharto. Tapi,
ia menolak keinginan Soeharto. ''Saya kira dia sangat terkejut,'' kenang Ibnu.

Ibnu Sutowo yang kini berusia 84 tahun sudah hidup enak. Hotel Hilton
adalah salah satu jerih payahnya. Keluarga Ibnu juga pernah berkiprah di
perbankan dengan mendirikan Bank Pacific. tapi bank itu kemudian bangkrut
karena ulah anaknya sendiri, Endang Utari Mokodampit yang utang kesana
kemari dengan jaminan bank tersebut.

Akan halnya dengan Thahir. Sejak dirinya meninggal ahli warinya berebut
uang haram yang diterima saat dia menjadi orang Pertamina. Istri
pertamanya, Rukiah --yang diwakili anak mereka Ibrahim Thahir--
bertahun-tahun rebutan tabungan Thahir di Singapura. Mungkin sampai saat
ini masih bertarung karena ada sekitar 5,76 juta dolar yang masih tersimpan
di perbankan Singapura.

Sampai saat ini Ibnu Sutowo dan Thahir tetap menjadi legenda jika kita
membicarakan tentang korupsi di Pertamina. Dan harapan bahwa setelah kasus
kebangkrutan Pertamina pada pertengahan 1970-an, badan usaha itu kemudian
akan bersih dari segala macam KKN, ternyata hanya tinggal mimpi. Bahkan
nilai korupsi dan kolusinya jauh lebih dahsyat dari dua legenda tadi.

;-)

Kirim email ke